Unggulan

KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (25 - CHAPTER TERAKHIR)



Dua Masa Satu Pilihan  

Suara burung menyelinap lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Cuitannya berkicau riang di kejauhan, seperti bisikan lembut dari dunia yang lama ku tinggalkan, memanggilku kembali dengan hangat. Aku membuka mata perlahan. Bukan halaman istana yang sunyi penuh reruntuhan dan sisa pertempuran, bukan langit kelabu Goryeo yang muram. Yang ku lihat pertama kali adalah langit-langit kamarku, terbuat dari panel kayu berwarna cokelat madu dengan ukiran tipis yang rapi, dipadu dengan cahaya lembut dari lampu tersembunyi. Pancaran cahayanya membalut ruangan dalam keheningan yang menenangkan. 



Jantungku masih berdegup kencang, keringat dingin membasahi pelipis. Aku mengenakan piyama tidurku, kain lembut yang begitu asing jika dibandingkan dengan hanbok yang biasa ku pakai selama di masa lalu. Seketika aku terduduk di atas ranjang, nafasku terengah. Aku bisa merasakan luka, perih, air mata, dan kehangatan terakhir dari Xiao Yuer di pangkuanku.

Tanganku gemetar saat menyentuh dada, mencari bekas luka yang sempat ku rasakan di sana, tapi tidak ku temukan apa-apa selain denyut jantung yang masih terpukul oleh kenyataan. Aku melangkah turun dari ranjang. Lantai dingin menyentuh telapak kaki, membawaku kembali pada rasa hampa yang tidak bisa dijelaskan. Langkahku menggiring tubuh ke arah jendela. Tirai putih tipis bergoyang pelan diterpa angin pagi, dan dari luar, dunia tampak berjalan seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Jemariku menyibak tirai perlahan.

Aku: “Yuer… Hwang In… Apa mereka juga kembali ke masa depan?”

Dadaku terasa perih, bukan karena luka fisik, tapi karena kehilangan yang diam-diam menancap terlalu dalam. Aku tau aku sudah pulang. Aku tau misiku telah selesai. Tapi hatiku tertinggal di halaman istana yang hancur itu, bersama tubuh yang tidak akan pernah bangkit kembali.

Aku: “Tunggu… hari apa ini? Dan sudah berapa lama aku pergi?” (Aku berlari kecil ke meja di dekat ranjang, meraih kalender yang terpajang di sana).

Mataku terpaku menatap kalender. “Hari ini… hari yang sama. Hari dimana aku dan Hwang In kembali ke masa lalu.”, ucapku dalam hati saat melihat deretan tanggal di kalender. Aku pun spontan menoleh ke jam dinding. “Aku kembali ke awal hari, pagi sebelum Hwang In memulai pemotretannya, waktu sebelum semua itu terjadi.”, gumamku mencoba mencerna situasi.

Aku segera meletakkan kembali kalender ke atas meja, nafasku tercekat, tetapi tubuhku tidak bisa diam. Aku melangkah cepat keluar kamar. Dari lantai atas, pandanganku menyapu ke arah bawah. Pelayan-pelayan arwah di rumahku tampak sibuk seperti biasa, berjalan kesana kemari membawa perlengkapan kebersihan, mengatur bunga, menyeka permukaan meja. Saat mereka menyadari keberadaanku, mereka serempak menoleh ke arahku, membungkuk hormat sambil mengucapkan, “Selamat pagi, Nona Byeol.”

Aku hanya tersenyum kecil dan mengangguk pelan. Pemandangan itu membuat hatiku menghangat. “Ya… aku benar-benar kembali. Ke masa seharusnya aku berada.”, ucapku kemudian, dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Aku menuruni tangga dengan langkah sedikit tergesa. Begitu sampai di ruang makan, pandanganku langsung tertuju pada dua sosok yang begitu akrab.

Dong Min berdiri di sisi meja, sedang menata sarapan ke atas nampan. Dia berniat membawanya ke kamarku. Sementara itu, Ling Ling duduk di kursi, menyantap sarapannya. Mereka berdua langsung menoleh saat mendengar langkah kaki ku yang tergesa. Aku terhenti sejenak di ujung tangga, memandangi mereka dengan tatapan penuh haru, mataku berkaca-kaca.

Dong Min: “Nona Byeol?” (Panggilnya pelan, nada suaranya bingung). “Kamu kenapa berlari seperti…”

            Tapi aku tidak membiarkannya menyelesaikan kalimat itu. Aku segera melangkah cepat dan memeluknya erat. Tubuh Dong Min sempat kaku, terkejut. Lalu, dia membalas pelukanku dengan hangat. Tangannya melingkar di punggungku, memberi perlindungan seperti dulu. Dia tidak mengajukan pertanyaan. Hanya memelukku dalam diam, seolah tau bahwa yang aku butuhkan hanyalah kehadirannya.

Aku: “Aku senang bertemu denganmu lagi, Dong Min.” (Bisikku pelan).

Dong Min: “Aku tidak pergi ke mana-mana, Byeol. Aku selalu disini, bersama mu.” (Menghela nafas pendek, lalu tertawa kecil).

Aku: “Mr. In Pyo… Mrs. Bomi… mereka di mana?”

Aku perlahan melepaskan pelukan Dong Min dan menatap matanya, seolah mencari jawaban. Tatapanku lalu beralih ke Ling Ling, yang hanya melirik sekilas sambil terus mengunyah. Sebelum keduanya sempat bicara, suara roda troli saji terdengar dari arah dapur. Seakan menjawab panggilan yang belum sempat terucap, dua sosok yang ku cari muncul dari balik dinding dapur. Mr. In Pyo di depan, melangkah tenang sambil mendorong troli berisi hidangan sarapan. Di belakangnya, Mrs. Bomi menjaga keseimbangan mangkuk-mangkuk kecil di atas nampan. Tidak ada yang berubah dari keduanya, persis seperti terakhir kali ku melihat mereka.

Aku menahan nafas, tidak berkedip menatap mereka. Troli berhenti di samping meja makan. Begitu Mr. In Pyo meletakkan piring terakhir, tanpa sepatah kata pun, aku langsung memeluknya. Tubuhnya sempat menegang, terkejut, lalu dia menghela nafas pendek dan membalas pelukanku.

Mrs. Bomi yang berdiri di sebelahnya ikut tersentak. Belum sempat dia bertanya, aku sudah beralih merangkulnya. Dia sempat melirik Mr. In Pyo, seolah meminta penjelasan, tapi akhirnya hanya mengusap lembut punggungku.

Keduanya saling berpandangan, bingung namun diam. Tatapan mereka lalu bergeser ke Dong Min dan Ling Ling. Dong Min mengangkat alis, gelengan kecil menyiratkan bahwa dia juga tidak tau apa yang terjadi. Ling Ling hanya mengangkat bahu. Kehangatan itu sederhana, tapi cukup membuatku lega. Aku benar-benar telah kembali, dan semuanya masih di tempatnya.

Ling Ling: “Mama memeluk semua orang… kenapa hanya aku yang tidak mendapat giliran?” (Menoleh sambil mengangkat alis, nadanya menggoda).

Aku: “Kamu sedang makan. Aku tidak ingin mengganggu moment sakral antara kamu dan makanan pagimu.” (Menoleh padanya, menahan senyum).

Ling Ling: “Makanan pagiku bisa menunggu, tapi pelukan… itu tidak boleh terlewat.”

Aku: “Kalau begitu kemarilah, sebelum aku dianggap pilih kasih.” (Melangkah mendekat, memeluk Ling Ling).

Ling Ling: “Aku sudah menunggu dari tadi.” (Segera bangkit dari kursinya dan memelukku erat).

Suara klakson mobil terdengar dari luar, membuat aku dan Ling Ling segera melepaskan pelukan. Aku melirik ke arah pintu depan, lalu kembali menatap Ling Ling.

Aku: “Ling Ling, kamu mau berangkat ke Seoul? Untuk rapat dan mengatur pemotretan Hwang In?”

Ling Ling: “Darimana mama tau?” (Mata Ling Ling melebar, tampak terkejut).

Aku terdiam sejenak. “Semuanya benar-benar terulang. Kegiatan hari ini, sama persis seperti hari itu...”, pikirku dalam hati. Sentuhan lembut mengguncang bahuku, mengusir lamunanku. Aku menoleh, menemukan Ling Ling berdiri di sampingku dengan mata penuh perhatian.

Ling Ling: “Mama, apa yang mama pikirkan? Pemotretan Hwang In akan dilakukan di lapangan panahan.”

Aku mengangguk pelan, mencoba kembali fokus. Di belakangku, Dong Min berdiri tidak jauh, mendengarkan pembicaraan kami dengan serius.

Dong Min: “Lapangan panahan? Mmm bolehkah aku ikut kesana? Nona Byeol, mari kita pergi ke Seoul juga.” (Membujukku).

Ling Ling: “Tentu saja boleh, kamu lupa? Nona Byeol kita adalah CEO Jinju Beauty. Asal bersama dengannya, kamu memiliki akses untuk ikut, ini kegiatan pemotretan perusahaan. Kalian berdua menyusul saja nanti, kita akan bertemu disana.”

Ling Ling dengan lembut memelukku. Dia menempelkan pipinya ke pipiku, kanan dan kiri, sebagai tanda perpisahan.

Ling Ling: “Aku berangkat dulu.” (Sambil tersenyum manis).

Setelah itu, Ling Ling melambaikan tangan ke arah semua yang ada di ruangan itu. Tatapannya penuh keceriaan dan semangat, langkahnya ringan saat dia melenggang keluar rumah. Mr. In Pyo dan Mrs. Bomi juga pamit, mereka berdua kembali ke pekerjaan masing-masing, menyisakan aku dan Dong Min di ruang makan.

Aku: “Mmm kita sarapan dulu, setelahnya baru kita bersiap pergi ke Seoul.” (Menoleh ke Dong Min, tersenyum).

Dong Min: “Baiklah, sarapan dulu baru kita bersiap-siap.” (Mengangguk setuju).

            Dong Min menarik salah satu kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk. Sikap manisnya itu, tidak pernah berubah sedikit pun. Kami berdua mulai menyantap makanan yang tersedia di atas meja.

Dong Min: “Mau mencoba lauk yang ini, Byeol?” (Menunjuk salah satu mangkuk berisi lauk). “Rasanya pedas, tapi enak… mmm pedasnya pas menurutku.”

Aku mengangguk, dan Dong Min mengambil sedikit lauk itu lalu meletakkannya di atas nasiku. Suasana sarapan yang sederhana tapi penuh kehangatan. Tawa kami pecah ketika tiba-tiba Dong Min bersendawa kecil dan langsung menutup mulutnya dengan tangan, matanya mengedip nakal. Aku tertawa geli melihat tingkahnya yang polos itu.

Setelah sarapan selesai, kami bangkit dari kursi, hendak beranjak ke kamar masing-masing untuk bersiap. Saat aku berdiri, tanpa sengaja aku menyenggol gelas kaca di meja. Dong Min cepat meraih lenganku begitu dia melihat gelas yang terguling dan pecahan kaca berserakan di lantai.

Dong Min: “Awas, Byeol! Jangan sampai kena pecahannya!” (Ucapnya dengan nada tegas dan penuh kekhawatiran).

Saat matanya menangkap darah yang mengalir dari betisku, ekspresi wajahnya berubah seketika. Dong Min langsung menggendongku ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Tubuhku terkejut dan membeku sesaat, tapi saat pandangan kami bertemu, waktu terasa melambat. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdentum kencang, jakunnya yang bergerak lembut, dan matanya yang teduh, sebuah rasa sayang yang begitu dalam dan tulus terpancar dari sana, seolah dia ingin melindungiku dari segala sesuatu yang bisa menyakitiku.

Dong Min: “Aku akan menyuruh pelayan hantu bersihkan pecahan-pecahan ini nanti.” (Dia menunduk menatap lantai di bawah kami, kemudian membawaku menuju sofa ruang tengah).

            Matanya tidak lepas dari luka di kaki ku, seolah mencoba menangkap setiap detailnya. Setelah itu, dia beranjak pergi dengan langkah cepat, meninggalkanku sendiri sesaat di sana.

Dong Min: “Duduk saja di sini, aku ambil kotak obat.”

            Tidak berselang lama, Dong Min kembali dengan membawa kotak obat. Perlahan dan dengan ketelitian, dia mulai membersihkan lukaku. Gerak tangannya penuh kelembut dan telaten, memastikan setiap pecahan kaca yang mungkin tertinggal benar-benar hilang. Saat dia merapikan perban, dia melirik ke arahku dengan campuran rasa kesal dan perhatian.

Dong Min: “Sejak kapan Byeol jadi ceroboh begini?” (Setelah membalut lukaku rapi, Dong Min merapikan kotak obat).

Aku: “Terima kasih, Dong Min.” (Tersenyum).

            Tapi ada sesuatu yang membuat kami berdua terdiam, saling menatap dengan rasa penasaran yang tidak terucapkan. Dia akhirnya memecah keheningan.

Dong Min: “Lukamu biasanya sembuh dengan sendirinya... Apa kekuatan supranaturalmu melemah, Byeol?” (Suaranya mengandung keheranan yang baru saja dia sadari).

            Aku terdiam beberapa detik setelah Dong Min mengucapkan itu, ucapan Dong Min ada benarnya, aku juga merasa ada keanehan pada diriku. Tapi aku tidak menemukan di titik mana yang terasa aneh, sampai Dong Min mengatakannya, barulah aku menyadarinya.

Dong Min: “Cahayanya... dari pil kehidupan abadi di dalam perutmu… meredup.” (Memperhatikan perutku). “Biasanya aku bisa melihatnya bersinar terang, sekarang nyaris pudar. Apa kamu sakit...? Apa kamu... baik-baik saja, Byeol?” (Tangannya terangkat perlahan, menyentuh keningku, lalu berpindah ke pipi).

Aku: “Aku baik-baik saja, Dong Min.” (Menggenggam tangan Dong Min yang menyentuh wajahku).

            Aku mengusap rambutnya pelan, lalu menepuk punggung tangannya. Seolah ingin memberinya keyakinan, walau jauh di dalam hati, aku sendiri masih bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Aku segera menarik nafas dalam-dalam.

Aku: “Dong Min, ayo kita bersiap. Kita harus segera berangkat, nanti kita terlambat.” (Tanpa menunggu jawaban, aku mulai berdiri).

Dong Min: “Tidak! Aku yang akan antar kamu ke kamar. Jangan coba-coba jalan sendiri, Byeol.” (Dengan sigap langsung menggendongku kembali).

Aku: “Turunkan aku, ini cuma luka kecil, aku bisa jalan.” (Tertawa kecil).

Dong Min: “Luka kecil atau besar, aku tidak mau ambil risiko.” (Menggeleng).

Dengan hati-hati, dia menggendongku naik ke lantai atas. Suasana menjadi hangat, dan aku merasa aman dalam pelukannya. Saat kami sampai di depan pintu kamarku, barulah dia menurunkan aku perlahan.

Dong Min: “Mmm aku juga harus siap-siap. Nanti setelah selesai bersiap, aku tunggu di ruang tengah, oke?” (Tersenyum).

Aku: “Aku akan segera turun setelah selesai mandi dan mengganti pakaianku.” (Mengangguk).

Dong Min mulai berjalan meninggalkanku, tapi beberapa kali dia menoleh ke belakang, tertawa kecil, lalu melanjutkan langkahnya.

Aku: “Sudah sana, buruan bersiap!” (Menggelengkan kepala dan tersenyum melihat tingkahnya).

Akhirnya dia benar-benar menuruni anak tangga, dan aku masuk ke dalam kamar. Aku langsung menuju kamar mandi. Air hangat mengalir deras membasuh tubuhku, uap air memenuhi ruangan, menghadirkan suasana tenang yang aku butuhkan sebelum menghadapi hari yang panjang. Setelah mandi, aku mengeringkan rambut dan mengenakan pakaian dalam yang nyaman. Ku pandangi lemari pakaianku, aku melihat setelan biru muda tergantung disana. Setelan yang memadukan rok lipit warna biru muda dengan panjang selutut, kaos putih polos lengan pendek, dan crop blazer berkerah notch berwarna biru muda berlengan panjang. 

Aku: “Setelan ini?” (Tersenyum).

Tepat di hari ini, tapi di waktu yang berbeda. Aku dan Dong Min tidak sengaja menggunakan outfit dengan warna yang sama. Sekilas kenangan itu menyelinap dalam pikiranku.

Aku: “Apakah semua itu akan terulang? Dong Min akan menggunakan celana panjang putih, kaos putih, dan blazer warna biru muda.”

            Aku menggeser setelan biru mudaku untuk mencari pakaian lainnya. Pilihanku akhirnya jatuh pada dress berwarna peach. “Aku harus menjaga perasaan Hwang In, meski aku tidak tau, hari akan benar-benar bertemu dengannya atau tidak.”, gumamku. Aku duduk di depan meja rias, menata rambutku, lalu ku ambil kuas dan mulai merias wajah, memperhalus riasan tanpa berlebihan.

Setelah merasa aku cukup rapi untuk pergi, aku membuka pintu kamar perlahan, langkahku menjejak keluar. Dari tempatku berdiri, pandanganku langsung jatuh ke sosok Dong Min di bawah sana. Dia berdiri di ruang tengah sambil memeriksa jam tangannya. Begitu menoleh dan melihatku, senyum manis menghiasi wajahnya. Seperti yang ku bayangkan, Dong Min mengenakan celana putih, kaos putih, dan blazer biru muda. Tepat seperti kenangan dulu. Setelan itu benar-benar dia pakai hari ini. Aku melangkah menuruni tangga perlahan.

Dong Min: “Wah... kamu cantik sekali, Byeol.” (Tersenyum). “Kita berangkat sekarang.” (Menyodorkan lengannya).

            Aku mengaitkan tanganku di lengannya tanpa banyak kata. Langkah kami seirama saat berjalan menuju garasi mobil. Dong Min membukakan pintu untukku, bahkan menundukkan kepalanya sedikit seperti sedang mempersembahkan kehormatan kecil hanya untukku.

Dong Min: “Silakan, nona Byeol.” (Senyum kecil terselip di ujung kalimatnya).

Aku tersenyum singkat lalu masuk ke dalam mobil. Dia pun masuk dari sisi pengemudi, dan beberapa saat kemudian, kendaraan kami mulai melaju. Aku menoleh padanya, suara pelan tapi jelas mengalir dari bibirku.

Aku: “Dong Min, kita lewat jalan tepian hutan yang sepi ya. Aku ingin mencoba teleportasi dari sana. Kita akan lebih cepat sampai Seoul.”

            Dong Min hanya mengangguk. Tidak ada tanya, tidak ada ragu. Tapi justru aku sendiri sedikit ragu. Pandangan mataku beralih ke luar jendela. Pohon-pohon yang kami lewati seolah ikut membisikkan kekhawatiranku sendiri. Apakah aku masih bisa melakukan teleportasi? Apakah kemampuan supranaturalku cukup kuat? Sejak kembali dari masa lalu, aku merasakan sesuatu dalam diriku berubah. Aku cukup menyadari kemampuan supranaturalku melemah. Bahkan luka di kaki ku masih terasa perih. Aku mengepalkan jari perlahan di pangkuanku.

“Aku harus bisa!”, bisikku dalam hati.

            Mobil terus melaju di jalan yang semakin lama, semakin sepi. Pepohonan di sisi kiri dan kanan seperti merapat, menciptakan lorong alami yang sunyi. Kabut tipis mulai turun, perlahan menebal, menggantung rendah dan menghalangi pandangan. Dalam diam, aku menoleh ke arah Dong Min. Dia memegang setir dengan tenang, tapi sesekali melirik ke arahku. Dia menggenggam tanganku yang sejak tadi mengepal di pangkuan. Sentuhannya hangat, seperti mencoba menyalurkan ketenangan yang saat ini tidak ku miliki.

Dong Min: “Sudah saatnya, Byeol.” (Suaranya lembut).

            Aku menatapnya. Matanya mulai terpejam, nafasnya ditarik pelan. Aku mengikutinya, memejamkan mata dengan degup jantung yang tidak karuan. Dalam hitungan detik, hawa di sekelilingku berubah. Duniaku terasa bergetar. Tubuhku seperti ditarik melewati ruang hampa yang sunyi dan dingin, lalu terdorong kembali ke permukaan dengan ringan. Saat aku membuka mata, cahaya pagi kota Seoul menyambutku dari balik kaca mobil. Bangunan-bangunan tinggi mulai terlihat, hiruk pikuk jalanan mulai terdengar samar dari kejauhan.

Aku: “Aku... berhasil?” (Suara lirih). “Aku benar-benar berhasil berteleportasi dari Namwon ke Seoul...” (Senyum tidak tertahan merekah di wajahku, ada rasa lega).

Dong Min: “Kita berhasil.” (Dia mengangguk sambil tersenyum singkat).

Dong Min kembali fokus menatap ke depan. Tangannya mantap menggenggam kemudi, mobil kami melaju membelah kota Seoul yang mulai padat oleh aktivitas, menuju lapangan panahan, tempat di mana aku, Dong Min, dan Ling Ling telah berjanji untuk bertemu.

Seiring kendaraan mendekati lokasi panahan. Dari kejauhan, sesuatu terlihat tidak seperti biasanya. Garis kuning polisi melintang di beberapa sisi lapangan. Orang-orang berkerumun di balik pembatas, beberapa berbicara panik, sisanya hanya menatap kosong. Sirine samar terdengar menjauh… dan di ujung pandanganku, satu unit ambulans baru saja meluncur pergi dari lokasi.

Jantungku seolah berhenti berdetak. Begitu Dong Min menghentikan mobilnya, aku langsung membuka pintu dan turun tanpa pikir panjang. Langkahku cepat, hampir setengah berlari, mencari wajah yang ku kenal di tengah keramaian. Mataku menangkap sosok salah satu photographer dari perusahaanku, dia berdiri terpaku, menatap arah ambulans yang baru saja pergi. Aku menghampirinya, nafasku tersengal karena cemas.

Aku: “Apa yang terjadi?! Siapa yang terluka?! Di mana Ling Ling? Di mana Hwang In?!”

Photographer: “Tadi… di dalam ambulans… itu Hwang In dan Ling Ling…” (Wajahnya pucat, dia menoleh dengan pandangan yang masih sulit menyusun kata). “Ada tragedi penembakan. Tiba-tiba sekelompok orang datang, berpakaian seperti bodyguard, semua serba hitam. Mereka mengincar Ling Ling. Kami kira itu bodyguard yang bertugas menjaga acara pemotretan, tapi…” (Menarik nafas, tangannya gemetar).

            Aku membeku, terduduk lemas, kakiku tidak sanggup menopang tubuhku. Duniaku seperti mendadak hening.

Photographer: “Ling Ling tertembak di lengan atas. Tapi Hwang In… dia melindungi Ling Ling. Dia tertembak di dada dan langsung jatuh pingsan. Ling Ling menjerit, dan para penyerang langsung kabur. Polisi sudah datang. Kami semua masih syok… dan belum tau seberapa parah luka mereka.”

Di belakangku, langkah cepat Dong Min mendekat, lalu tangannya meraih bahuku, membantuku berdiri, menggenggam tanganku erat.

Dong Min: “Ssstt… tenang, Byeol… kita akan ke rumah sakit sekarang. Kita akan pastikan keadaan mereka.”

Aku hanya bisa mengangguk dengan mata sembab, mengikuti langkahnya kembali ke mobil. Di perjalanan kali ini, tidak ada obrolan, tidak ada senyuman. “Semoga mereka berdua baik-baik saja.”, doa batinku. Mobil kami berhenti di depan pintu masuk rumah sakit. Aku dan Dong Min segera turun, langkah kami cepat menyusuri koridor menuju meja jaga. Udara rumah sakit yang dingin, bau antiseptik, serta suara-suara pelan dari pasien dan perawat menciptakan atmosfer di mana harap dan kecemasan berdampingan.

Dong Min: “Kami ingin tau tentang dua pasien yang baru dibawa masuk karena luka tembak. Bisa tolong beri kami informasinya?” (Menghampiri perawat di meja informasi).

Perawat: “Apakah anda mencari pasien atas nama Ling Ling dan Hwang In?” (Menatap layar komputernya sejenak, lalu menoleh pada kami).

Aku: “Ya, betul… Itu mereka.” (Menjawab cepat).

Perawat: “Nona Ling Ling sedang ditangani di IGD. Luka di lengan atas, tidak terlalu parah. Sedangkan Tuan Hwang In… saat ini berada di ruang ICU. Lukanya cukup serius.” (Mengangguk ramah, meski wajahnya menyiratkan keseriusan).

            Aku dan Dong Min hampir bersamaan mengucapkan terima kasih. Tanpa membuang waktu, kami segera menuju ruang IGD. Jantungku berdetak semakin cepat. Ada ketakutan, ada kelegaan kecil mendengar Ling Ling tidak parah, tapi kabar tentang Hwang In terus menghantui pikiranku.

            Saat kami masuk ke IGD, pandangan Ling Ling langsung tertuju padaku. Dia duduk di atas ranjang pemeriksaan dengan dokter yang tengah membalut lengannya. Wajahnya pucat tapi tetap kuat. Ketika pandangan kami bertemu, ekspresinya berubah, antara lega dan kekhawatiran.

            Aku segera berjalan menghampirinya, Dong Min di belakangku. Tepat ketika sang dokter selesai membalut luka dan mengangguk pelan, aku memeluk Ling Ling erat, seolah ingin memastikan dia benar-benar di hadapanku, benar-benar selamat. Dong Min mengalihkan pandangannya pada dokter.

Dong Min: “Bagaimana kondisinya, Dok?”

Dokter: “Luka tembak ringan. Tidak menembus bagian dalam. Dia akan baik-baik saja. Saya pamit, ada pasien lain yang harus ditangani.”

            Setelah dokter pergi, Ling Ling masih dalam pelukanku. Dia menepuk lembut punggungku, menenangkan.

Ling Ling: “Aku tidak apa-apa, nona Byeol… sungguh. Kamu tidak perlu cemas.”

            Aku menarik nafas lega, tapi sebelum aku sempat menjawab, Ling Ling seakan teringat sesuatu. Pelukannya perlahan dilepas. Tatapannya berubah menajam, penuh rasa bersalah dan panik.

Ling Ling: “Hwang In…”

Aku: “Aku tau, kami sudah diberi tau oleh perawat.” (Mengangguk pelan).

Ling Ling: “Ayo kita lihat keadaannya.” (Berdiri perlahan, tangannya menggenggam tanganku).

Aku dan Dong Min sama-sama mengangguk. Tanpa berkata-kata, kami bertiga berjalan ke arah ICU. Langkah kami pelan, penuh kecemasan yang tidak diucapkan. Setibanya di depan ruang ICU, kami dihentikan oleh petugas jaga.

Petugas ICU: “Maaf, kalian hanya bisa melihat dari balik kaca. Pasien masih dalam kondisi koma.”

Aku mendekat ke kaca, dan di sanalah dia…Hwang In, terbaring diam dengan alat bantu pernapasan dan infus yang menusuk kulit pucatnya. Dadaku terasa sesak melihatnya begitu tidak berdaya. Mataku tidak berkedip menatap setiap helaan nafasnya yang dibantu mesin. Tapi kemudian, terdengar suara pelan namun jelas dari arah koridor. “Nona Byeol, kamu disini rupanya.”

            Aku, Dong Min, dan Ling Ling menoleh bersamaan ke arah suara itu berasal. Seorang pria berdiri di ujung lorong ICU. Setelan hitamnya rapi dan menyatu dengan bayangan dinding. Sebuah topi hitam menutupi sebagian wajahnya, namun aura gelap yang membungkusnya membuat siapapun tau dia bukan manusia biasa.

Aku: “Jeoseung Saja…” (Bisikku, suara tercekat).

Dia berjalan pelan mendekat, langkahnya tidak bersuara meski lantai rumah sakit mengkilap. Dari balik jas hitamnya, dia mengeluarkan sebuah buku berwarna hitam dengan tulisan hangul kuno berukir perak di sampulnya, ‘Buku Catatan Kematian’.

Jeoseung Saja: “Aku hanya menjalankan tugasku. Pasien di ruang ICU itu… sudah waktunya.” (Membuka halaman buku dan menunjukkannya padaku).

Mataku membelalak. Di sana tertulis Hwang In. Tepat di bawah tanggal hari ini.

Aku: “Tidak!” (Suara bergetar). “Aku tidak akan mengizinkan mu membawanya!”

Dadaku terasa sesak oleh amarah dan duka yang datang bersamaan, tanganku mengepal. Dalam sekejap, hawa di sekelilingku berubah drastis. Cahaya kuning keemasan mulai menyelimuti tubuhku. Tanpa kusadari, kekuatan dalam diriku bangkit.

Dong Min: “Byeol, tahan! Tenang dulu!” (Dia menggenggam lenganku, matanya panik).

Jeoseung Saja: “Apa kamu mau menghancurkan rumah sakit ini dan membuat lebih banyak nyawa melayang, hanya karena satu nama?” (Mengangkat sebelah alisnya). “Kamu tau konsekuensinya, nona Byeol.”

            Aku menggertakkan gigi, mencoba menahan gejolak di dadaku. Cahaya di sekelilingku mulai surut, walau tubuhku masih bergetar. Aku menoleh pada Dong Min dan Ling Ling.

Aku: “Jaga Hwang In. Tunggu aku di sini.”

Dong Min: “Nona Byeol…”

Aku: “Aku tidak akan membiarkan Hwang In diambil dariku. Tapi aku juga tidak akan membahayakan tempat ini.” (Tatapanku kembali pada Jeoseung Saja). “Ayo kita bicara di tempat lain.” (Menarik tangan Jeoseung Saja, untuk berteleportasi bersama).

Dalam sekejap, aku dan Jeoseung Saja menghilang, meninggalkan Dong Min dan Ling Ling yang hanya bisa menatap titik kosong di udara. Koridor ICU kembali hening, hanya tersisa detak jantung dari mesin dan tatapan cemas dari dua orang yang ku tinggalkan.

Aku dan Jeoseung Saja berpindah ke sisi taman rumah sakit, area yang cukup sepi dan sedikit jauh dari gedung utama. Matahari siang menggantung di langit, memantulkan cahaya yang hangat di sela dedaunan. Tidak banyak orang lewat di sana.

Jeoseung Saja berdiri di bawah bayangan pohon rindang, walau siang, auranya tetap membawa hawa kematian yang membuat udara di sekitarnya terasa dingin.

Aku: “Kamu tau kenapa aku membawamu ke sini?”

Jeoseung Saja: “Negosiasi lagi, nona Byeol?” (Nada suaranya santai, tapi matanya mengamati gerak-gerikku tajam).

Aku: “Seperti biasa, aku akan menukar satu jiwa… demi satu jiwa yang ingin ku lindungi.”

Jeoseung Saja: “Jiwa siapa kali ini? Sudah kamu pilih korbannya?” (Menghela nafas pelan).

Aku: “Aku punya banyak pilihan. Para pelaku penembakan itu… Aku akan memburu mereka satu per satu. Dan saat berhasil ku temukan, mereka akan mati di tanganku. Kamu boleh ambil jiwa mereka sesukamu.” (Menggenggam seakan meremas udara, menahan amarah yang masih membara).

Sinar matahari menyentuh sisi wajah Jeoseung Saja, menampakkan rautnya yang sedikit terkejut. Lalu dia bergidik halus.

Jeoseung Saja: “Kamu menyebut nyawa manusia seolah mereka barang dagangan. Tapi aku tidak berhak menghalangi jika memang ada jiwa pengganti…” (Suaranya menjadi lebih berat). “Tapi waktu terus berjalan. Sampai siang esok, kalau kamu belum membawa jiwa yang kamu janjikan, maka aku tetap akan mengambil jiwa Hwang In. Tidak ada penundaan.”

Aku: “Baik, tunggu aku dengan kesabaran seorang malaikat maut.” (Menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk pelan).

            Tanpa menunggu reaksi darinya, aku berteleportasi kembali ke rumah sakit. Aku mendarat di dalam ruang ICU, tepat di sisi tempat tidur Hwang In. Dia masih terbaring tenang, matanya terpejam rapat, alat bantu pernapasan tetap terpasang.

Aku: “Tolong bertahanlah, Hwang In…” (Berbisik pelan).

Tanganku meraih tangan dinginnya. Ku tutup mata dan mulai membaca jejak ingatan yang tersisa di tubuhnya. Gelombang cahaya samar mengalir, dan potongan-potongan peristiwa mengalir ke pikiranku, suara tembakan, jeritan Ling Ling, kekacauan… dan wajah salah satu pelaku perlahan muncul jelas. Aku membuka mata, nafasku tertahan.

Aku: “Itu… bukankah dia…?”

            Wajah itu, aku mengenalnya. Salah satu teman sekolah Ling Ling dulu, pemuda pendiam, yang selalu memiliki aura gelap di belakang tubuhnya.

Aku: “Untuk apa dia mengincar Ling Ling? Siapa dia sebenarnya…?”

Pertanyaan itu berputar di benakku, tapi aku tidak bisa membuang waktu. Aku menunduk, mengecup kening Hwang In.

Aku: “Aku mencintaimu. Aku akan kembali.”

Sekali lagi aku berteleportasi, kini muncul di depan ruang ICU. Di sana, Dong Min dan Ling Ling masih duduk di bangku tunggu. Mereka berdiri begitu melihatku muncul.

Dong Min: “Kamu sudah kembali? Tadi itu benar-benar… malaikat maut?”

Aku: “Uhum…” (Mengangguk). “Mmm aku harus pergi lagi. Kali ini mungkin agak lama.”

Ling Ling: “Kamu akan ke mana?” (Melangkah maju, wajahnya penuh kekhawatiran).

Aku: “Ada tempat yang harus ku tuju… dan urusan yang harus ku selesaikan.” (Tidak menjelaskan detailnya, sambil menatap mereka berdua). “Tolong jaga Hwang In. Pastikan dia tidak sendiri. Hubungi aku segera jika ada perkembangan apa pun.”

Dong Min: “Kami akan pastikan dia aman.”

Dong Min dan Ling Ling mengangguk bersamaan. Aku tersenyum, lalu melangkah mundur. Dalam sekejap, tubuhku kembali menghilang dalam kilatan cahaya, meninggalkan koridor rumah sakit yang kembali hening. Perburuanku telah dimulai.

Sejak membaca ingatan Hwang In, aku bisa mengenali jejak energi salah satu penembak yang sempat ku lihat jelas. Setiap manusia menyimpan aura unik. Aku mengikuti jejaknya, melintasi atap gedung dan lorong-lorong sepi dengan teleportasi singkat, memadatkan langkah-langkah menjadi deretan lompatan waktu. Di sebuah area terpencil di pinggiran kota. Di hadapanku berdiri sebuah bangunan tua yang besar, bekas gudang kayu, lapuk dimakan waktu, namun masih kokoh berdiri. Dinding luarnya dipenuhi coretan samar, bekas poster usang yang sudah sobek dan nyaris tidak terbaca.

Aku menyipitkan mata. Tempat ini bukan sekadar bangunan tua biasa. Suara mesin kendaraan terdengar dari kejauhan. Aku segera melompat ke balik tumpukan peti kayu tua, menyembunyikan tubuhku di baliknya. Tidak lama kemudian, tiga mobil hitam berhenti berurutan di depan bangunan itu. Pintu-pintu terbuka cepat. Pria-pria berbadan besar dan berjas hitam keluar dari masing-masing mobil. Wajah-wajah kaku dengan gerak tubuh penuh siaga. Mereka seperti sedang mengawal sesuatu, atau orang penting.

Dari mobil pertama, seseorang turun dengan gaya mencolok. Kemeja coklat bermotif tumbuhan dan burung dipadukan dengan jas merah darah. Celana merah menyala dan sepatu kulit. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dan senyumnya tipis penuh kesombongan.

Aku menahan nafas. Mataku tidak lepas darinya, semakin lama memperhatikannya, aku semakin merasa familiar. Aku menggigit bibir bawahku saat ingatan lama menyelinap masuk, aku pernah melihatnya di televisi.

Aku: “CEO agensi Ular Hitam!” (Bergumam).

Agensi itu pernah begitu besar, tapi menyimpan bau busuk. Di balik sorotan lampu panggung, terjadi hal-hal yang tidak bisa diungkap dalam siaran berita biasa. Skandal, pelecehan, tekanan mental. Hingga satu demi satu talent mereka meninggal dengan cara yang sama, bunuh diri. Tapi tidak ada yang benar-benar percaya itu hanya karena depresi biasa.

Desas-desus soal penyebaran obat terlarang dan manipulasi psikis dalam agensi mulai menyeruak, sampai akhirnya pemerintah menutup agensi itu secara paksa. Namun CEO-nya? Menghilang begitu saja. Tidak pernah ada yang benar-benar menemukan dia… sampai hari ini. Ternyata dia tidak menghilang. Dia berkembang, di balik dunia bawah, menjadi seorang mafia.

Aku: “Jadi ini markas mereka, dan dia… kemungkinan besar adalah dalang dari penembakan yang menimpa Hwang In dan Ling Ling.” (Mengepalkan tangan).

Mataku membara. Tapi aku harus tenang. Perlu lebih dari sekadar amarah untuk menghabisi mereka. Ini bukan hanya tentang menukar jiwa, tapi juga mengungkap siapa sebenarnya yang berani menyentuh orang-orang yang aku sayangi. Aku akan masuk ke dalam dunia mereka, dan membawa keluar kebenaran yang tersembunyi. Begitu pria berjas merah itu dan para pengawalnya masuk ke dalam bangunan tua, aku bersiap untuk bergerak. Nafasku ku tahan, tubuhku melesat ringan dari balik tumpukan peti, mendekati sisi samping gudang sambil mengamati celah jendela tua yang retak. Tapi belum sempat aku mendekat sepenuhnya…

“Jangan masuk!”, suara perempuan tiba-tiba terdengar tepat di belakangku, tubuhku refleks berbalik, siap menyerang. Namun yang ku lihat bukan manusia. Sosok perempuan muda berdiri beberapa langkah dariku. Gaun putihnya kusam, rambut panjangnya acak menutupi sebagian wajah. Namun mata itu kosong, seperti menyimpan terlalu banyak luka. Dan lehernya memar keunguan. Seperti bekas cekikan yang tidak pernah bisa disembuhkan, bahkan setelah kematian.

Aku: “Siapa kamu?”

Dal-rae: “Mereka memanggilku Dal-rae.” (Tersenyum). “Aku… dulu adalah seorang idol dari agensi Ular Hitam. Aku tau siapa dia, CEO itu… dia binatang yang memakai jas mahal, dia moster yang tidak memiliki hati nurani. Aku pernah dengar percakapan staf tentang pengiriman barang. Aku tau itu obat terlarang. Aku hanya ingin melapor pada polisi… ingin menghentikan semuanya…”

            Suara itu patah. Dia memegang lehernya sendiri, memperlihatkan dengan jelas luka cekikan di sana.

Dal-rae: “Tapi mereka tau. Mereka tau kalau aku mengetahui rencana mereka. Dia… CEO memanggilku malam itu. Di ruang latihan yang sepi, dia menyiksaku. Dia… memperkosaku. Lalu mencekikku dengan tangannya sendiri. Tubuhku tidak pernah ditemukan, aku masuk dalam daftar pencarian orang hilang. Dia membuangku di lahan kosong, tidak jauh dari sini. Tempat itu… sudah jadi kuburan tanpa nisan. Banyak dari kami dikubur di sana. Idol, actor, actress, talent-talent yang dianggap bermasalah. Yang terlalu tau, tentang kebusukan yang tersimpan rapat di dalam agensi.”

Aku menarik nafas perlahan, dadaku terasa sesak saat mendengar kisahnya. Aku tetap diam memperhatikannya.

Dal-rae: “Jangan masuk sendirian.” (Lanjutnya). “Dia lebih dari sekadar mafia. Dia, menyimpan sesuatu yang mengerikan. Ada yang melindunginya dari balik bayangan, bukan manusia.

Aku: “Apa maksudmu? Sesuatu yang melindunginya? Bukan manusia?”

Dal-rae: “Dia beberapa kali mengunjungi seorang cenayang dan meminta jimat atau semacamnya. Tapi… kabar terbaru yang aku dengar, cenayang itu mati mengenaskan. Bukan karena dibunuh, bukan juga bunuh diri. Aku bingung menjelaskannya, energi gelap, ilmu terlarang yang dia pelajari, berbalik menyerang dirinya sendiri. Hanya kami dari alam gaib yang bisa menyimpulkan begitu. Sedangkan manusia menganggapnya terkena serangan jantung, begitulah keterangan medis kematiannya.”

Aku: “Lalu?” (Semakin penasaran).

Dal-rae: “Sebelumnya, cenayang itu mengendalikan roh menyeramkan. Roh itu telah binasa, aku tidak tau penyebab pastinya. Dulu, roh itu mendiami tubuh putra tunggal dari CEO kami. Dia ayah yang keji bukan? Menjadikan anak sendiri sebagai wadah roh kegelapan, roh jahat, untuk kepentingan bisnisnya dan ambisinya. Roh itu, bisa menghepnotis seseorang untuk mau diajak kerjasama dengannya. Karena itu dia selalu mengajak putra tunggalnya kemana pun dan menjadikan putranya alat, semua orang yang terhepnotis akan tunduk pada CEO ular hitam.”

            Mendengar hal itu, membuatku teringat roh kegelapan yang sudah aku kalahkan di masa lalu, menggunakan binyeo dari Mago. Mungkin inilah dampak perubahannya di masa depan. Roh kegelapan itu benar-benar sirna dari masa ini.

Aku: “Su Gyeom?” (Sebuah nama muncul dalam benakku).

Dal-rae: “Darimana kamu mengetahui nama itu? Kamu mengenal Su Gyeom? Dia putra tunggal CEO kami.”

            Nama itu muncul dalam ingatanku karena aku teringat tentang cerita Hwang In, saat kami berada di masa lalu. Tepat di malam pernikahanku sebagai Putri Mahkota, dan Hwang In sebagai Putra Mahkota, saat kami menangkap basah bahwa Xiao Yuer adalah Mawang. Kami bertiga pernah membahas tentang tattoo bulgae dan Hwang In sempat menyebut nama Su Gyeom.

Suara teriakan perempuan terdengar nyaring dari dalam bangunan tua itu. Aku dan Dal-rae sontak saling menoleh.

Dal-rae: “Itu… teriakan Perempuan, suaranya dari dalam.”

            Aku mengangguk singkat. Kami tidak butuh bicara panjang, kami sama-sama tau apa yang harus dilakukan. Kami bergerak cepat, merunduk dan menyelinap mendekati celah jendela. Dari sana, kami bisa melihat ke dalam tanpa terlihat. Pandangan kami langsung jatuh pada sosok perempuan yang terikat di kursi kayu, di tengah ruangan luas itu. Wajahnya lebam, bekas darah mengering di sudut bibir. Pipinya baru saja ditampar keras, suara telak tamparan itu masih menggema di ruangan. Dal-rae terkejut, menutup mulutnya perlahan.

Dal-rae: “Itu… istrinya. Istri CEO.” (Berbisik). “Semua orang bilang mereka pasangan yang harmonis… mereka selalu tampil mesra di depan kamera…”

Aku hanya menoleh sekilas ke arahnya. Wajahku tetap datar, tapi hatiku bergejolak. Aku kembali fokus menatap ke dalam ruangan, mataku tajam mengamati setiap gerakan mereka. Beberapa detik kemudian, langkah kaki berdentum berat. Pintu di sisi lain ruangan terbuka lebar, lima orang masuk dengan langkah tergesa. Mereka membawa senapan laras panjang, lengkap dengan perlengkapan tempur. Detak jantungku melonjak. Aku mengenali mereka.

Aku: “Mereka… pelaku penembakan Hwang In dan Ling Ling.” (Bergumam).

Tepat saat itu, salah satu dari mereka berteriak. “Ayah, hentikan!”, teriakan itu menghentakkan suasana. CEO yang barusan menampar istrinya, kini berdiri membelakangi anak buahnya. Dia berbalik perlahan. Matanya menatap dingin ke arah pemuda itu, pemimpin dari lima orang yang baru datang.

Aku: “Jadi… pemuda itu yang bernama Su Gyeom?!”

Benakku riuh, Su Gyeom… teman sekolah Ling Ling… adalah putra CEO ular hitam? Potongan-potongan puzzle mulai menyatu. Dan sebelum aku sempat menarik kesimpulan lebih jauh, CEO agensi ular hitam itu justru tertawa terbahak-bahak. Tawa panjang, gila, dan tanpa rasa bersalah.

CEO Ular Hitam: “Kalian dengar itu? Anakku menyuruhku berhenti!” (Tertawa semakin keras). “Kalian pikir aku masih menganggap kalian berarti?” (Menatap Su Gyeom dan istrinya dengan jijik).

Dal-rae menggertakkan gigi. Aku bisa merasakan hawa kemarahan dari arwah di sampingku. Aku melihat Su Gyeom akhirnya berlutut di depan ayahnya.

CEO Ular Hitam: “Sejak tubuh anak manja sepertimu tidak bisa lagi jadi wadah roh kegelapan, kalian berdua hanya beban. Perempuan itu…” (Menunjuk istrinya yang terikat). “Mama mu hanya wanita lemah penyakitan!”

Su Gyeom: “Ayah… aku mohon. Bebaskan mama dan aku. Aku sudah lakukan yang ayah minta. Aku… sudah menembak Ling Ling. Aku sudah cukup membayar harga yang ayah tetapkan.”

Untuk sesaat, ruangan itu hening. Aku tidak tau mana yang lebih menyakitkan… Su Gyeom yang berlutut pada ayahnya sendiri meminta belas kasih dan pengampunan, atau kenyataan bahwa dia memang melakukan penembakan terhadap temannya. Tapi satu hal kini pasti, ini bukan sekadar pertarungan kekuasaan. Ini adalah hubungan keluarga yang dibusukkan dari akarnya. Dan aku harus mencabut akarnya sampai ke dasar terdalam.

Aku memejamkan mata sejenak, mengatur nafas yang mulai berat akibat luapan emosi. Lalu aku menoleh pada Dal-rae yang masih menatap pemandangan dari celah jendela dengan rahang mengeras.

Aku: “Dal-rae, aku butuh bantuanmu. Rasuki tubuh wanita itu… mamanya Su Gyeom.”

            Dal-rae menoleh padaku, terkejut. Matanya melebar, lalu perlahan menyipit, mencoba memahami arah pikiranku.

Aku: “Tubuhnya lemah, hampir tidak berdaya. Tapi kalau kamu yang ada di dalamnya… kamu bisa bicara dengan Su Gyeom. Dia pasti mendengarkan mamanya. Kamu bisa bujuk dia kabur dari tempat ini.”

            Dal-rae tampak ragu sejenak. Tapi tatapanku mantap dan aku lanjut menjelaskan.

Aku: “Bawa dia keluar dari gudang ini. Setidaknya sampai ke jalan raya, lalu masuklah ke taxi yang aku pesan atas nama Byeol, itu namaku. Aku akan pastikan sopirnya aman dan siap membawa kalian ke kantor polisi terdekat.”

Dal-rae terdiam beberapa detik, lalu mengangguk perlahan. Tatapan matanya melembut, seolah menemukan kembali tujuan hidupnya atau lebih tepatnya, kematiannya.

Aku: “Sisanya… serahkan padaku. Aku akan menghadapi Raja Monster dan pasukannya di sini.”

Dal-rae: “Apa kamu gila?! Kamu sendiri? Kamu bisa terbunuh…”

Aku mengangkat kepala. Sekilas, aura keemasan menyala di kedua mataku, cahaya hangat tapi mengguncang, memancarkan kekuatan yang bukan berasal dari dunia ini. Dal-rae terdiam membeku. Mulutnya sedikit terbuka, sorot matanya tidak lepas dari mataku.

Aku: “Kamu sudah tau sekarang, Dal-rae. Aku bukan manusia biasa. Aku sudah berhadapan dengan kematian berkali-kali. Setelah semua ini selesai, aku janji… aku akan membongkar keberadaan makam para idol, actor, actress, dan talent lain yang terbunuh oleh CEO ular hitam. Aku akan perjuangkan keadilan mereka. Nama mereka akan dipulihkan. Keluarga mereka akan tau kebenarannya. Mereka semua… akan dimakamkan dengan layak, termasuk dirimu Dal-rae.”

Dal-rae menangis. Air mata transparan mengalir di wajahnya yang nyaris tidak berbentuk nyata. Tapi saat itu, aku tau dia merasa hidup kembali. Ada alasan untuk tetap bertahan, meski sebagai arwah.

Dal-rae: “Terima kasih, Byeol… Terima kasih….”

            Aku hanya tersenyum, tapi di balik itu ada tanggung jawab besar yang akan mengubah segalanya. Dan kini, pertempuran akan benar-benar dimulai. Dal-rae mulai menjalankan rencanaku. Dia merasuki tubuh wanita yang terikat di kursi kayu itu, perlahan ekspresi wajah istri CEO berubah, dari ketakutan dan lemah menjadi lebih tegas dan penuh semangat. Aku mengamati, memastikan Dal-rae benar-benar menguasai tubuh istri CEO. Saat aku yakin Dal-rae sudah hidup kembali dalam tubuh itu, aku melangkah keluar dari persembunyian. Suara kakiku bergema di dalam ruangan luas itu.

Aku: “Aku mencium bau busuk.” (Suaraku terdengar dingin dan mengejek). “Ternyata di sini berkumpul sampah hidup.”

Semua mata beralih padaku, termasuk empat orang yang memegang senapan laras panjang. Aku bisa merasakan pergerakan kecil di tangan mereka, siap menembak kapan saja. Dengan kekuatan magisku, aku fokuskan energi pada senapan mereka. Sekejap, senapan itu mengeluarkan suara retak keras sebelum patah jadi dua dan jatuh ke lantai, tidak berguna. Aku terus melangkah maju tanpa ragu. Tatapanku tertuju pada Dal-rae, yang kini dalam tubuh istri CEO, sedang berusaha melepaskan ikatan tali yang mengikat pergelangan tangannya. Dal-rae tampak kesulitan.

Tanpa menarik perhatian orang-orang di sana, dengan gerakan halus aku melonggarkan tali itu sedikit, menggunakan kekuatan magisku. Kami bertukar kode lewat tatapan mata, aku menangkap isyarat dari Dal-rae, “Semua aman.”

Aku melanjutkan rencanaku. Aku mendekati Su Gyeom yang masih berlutut. Dengan lembut, aku meraih bahunya membantunya berdiri, dan mengalirkan kekuatan magis ke dalam tubuhnya, untuk menghapus tattoo bulgae. Rasa hangat berdesir di sepanjang tulangnya saat tattoo bulgae di tubuhnya mulai memudar dan menghilang. Tattoo itu sangat berbahaya jika dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, seperti ayahnya.

Aku: “Bawa mamamu pergi. Jika kamu ingin menyelamatkan hidup kalian berdua, aku akan menarik perhatian ayahmu dan menahan anak buahnya di sini.” (Berbisik).

Awalnya dia menggeleng dan menatap ayahnya penuh ketakutan. Aku mengangguk meyakinkan, menepuk bahunya sekali sebagai tanda memberi semangat. Akhirnya dia mengerti, tatapannya beralih ke mamanya, sumber kekuatan dan harapannya selama ini.

Aku: “Tunggu aba-abuku. Saat aku bilang ‘lari!’, bawa mamamu lari dari sini secepat mungkin. Mengerti?” (Kembali berbisik).

            Dia mengangguk mantap. Aku mundur beberapa langkah, siap untuk menghadapi ledakan yang akan terjadi.

CEO Ular Hitam: “Siapa kamu? Berani sekali datang ke markasku!” (Menatapku tajam dan bertanya dengan suara penuh amarah).

Aku: “Aku dewi kematianmu.” (Kataku sambil tertawa dingin). “Aku akan menggali lubang pemakaman untukmu, dan membuatmu merasakan sakit seribu kali lebih menyakitkan dari penyiksaan yang pernah kamu berikan pada korbanmu!”

            Mata CEO ular hitam membara dengan kemarahan dan ketakutan. Dia terkejut dan terancam oleh perkataanku yang tau tentang kebusukannya.

CEO Ular Hitam: “Serang dia!” (Perintahnya kepada anak buahnya).

Pertarungan pun pecah. Aku melepaskan kekuatan penuh, melawan mereka dengan gerakan lincah dan sihir yang mematikan. Sambil bertarung, aku berteriak dengan suara lantang, “Lari sekarang, Su Gyeom!”. Dia segera menarik tangan mamanya, berlari secepat mungkin ke pintu keluar. Melihat itu, CEO ular hitam memerintahkan beberapa anak buahnya mengejar mereka. Aku pun terbang melayang, mendarat tepat di depan para pengejar, membentengi jalan keluar mereka.

Ruangan luas itu mendadak menjadi medan pertempuran sengit. Aku berdiri di tengah, dikelilingi lima puluh pengawal yang masing-masing bersenjata lengkap dan wajah mereka memancarkan niat membunuh. Mereka bergerak bersamaan, seperti gelombang yang siap menenggelamkan siapa saja yang berdiri di hadapan mereka.

Serangan pertama datang dalam formasi berkelompok. Aku menghindar dengan lincah, melompat mundur, lalu melancarkan serangan balik cepat. Pukulan tangan terbuka mengarah ke rahang seorang pria bertubuh besar, membuatnya terjungkal dengan suara benturan keras. Tendangan rendah menyapu kaki seorang lainnya, menjatuhkannya tanpa ampun.

Gerakanku secepat bayangan, setiap tendangan, pukulan, dan sapuan mengalir seperti tarian maut. Kuda-kuda yang kokoh, sapuan kaki yang presisi, dan pukulan yang menghantam titik vital. Salah satu pengawal mencoba menyerang dengan pisau. Aku menghindar, menggunakan tangan kosong meraih lengan yang melayangkan pisau itu, lalu dengan satu putaran pergelangan tangan, pisau itu terlempar jauh. Sebuah pukulan telapak tangan membuyarkan keseimbangan lawan, aku teruskan dengan siku keras ke tulang rusuknya.

Dalam sesekali kesempatan, aku menyisipkan sedikit kekuatan magis. Sekilas kilatan energi kuning keemasan dari mataku membuat beberapa lawan terpaku, dan ketika aku menyapu tangan ke udara, angin kencang kecil menghantam mereka, membuat beberapa pengawal kehilangan keseimbangan. Serangan bertubi-tubi datang dari berbagai arah, membuatku harus terus bergerak dan menghindar, kadang terdesak hingga ke ujung stamina. Lima puluh lawan, satu demi satu, mulai terjatuh.

Nafasku menjadi berat. Keringat membasahi dahi dan punggung. Aku menyeka darah yang mengalir dari hidung, menetes ke lantai berdebu. Ini pertama kalinya aku mengalami mimisan dalam pertarungan. Aku berdiri di tengah para pengawal yang pingsan, tubuhku berguncang sedikit karena kelelahan. “Apa kekuatanku benar-benar melemah sekarang?”, aku bertanya pelan dalam hati. Tubuhku yang selama ini ku kira tidak terkalahkan, kini mulai menunjukkan batasnya. Namun tekadku masih membara, ini belum berakhir.

Sementara aku bertahan dengan nafas memburu dan tubuh bergetar karena terkuras tenaga. Di luar markas, pelarian yang ku rencanakan mulai membuahkan hasil. Su Gyeom dan Dal-rae yang kini sepenuhnya mengendalikan tubuh istri CEO, berlari menyusuri jalan setapak sepi yang mengarah ke jalan raya. Nafas mereka terengah, langkah mereka terseret oleh rasa takut, namun tidak ada yang bisa menghentikan keinginan mereka untuk bebas.

Hari semakin gelap. “Taxi!”, seru Su Gyeom ketika melihat cahaya lampu kuning di kejauhan. Sebuah taxi menepi di pinggir jalan. Mereka mempercepat langkah, jantung berdentum keras di dada. Dal-rae mendekati pengemudi, sedikit membungkuk melalui jendela, bertanya dengan suara yang berusaha tetap tenang meski masih dalam tubuh orang lain.

Dal-rae: “Apa benar ini taxi atas nama Byeol?”

Sopir taxi mengangguk. “Benar, nona. Saya diminta menunggu di sini.”, tanpa buang waktu, mereka segera masuk ke dalam taxi. Su Gyeom mendekap mamanya erat, seakan tidak ingin kehilangannya lagi. Taxi pun melaju cepat, membelah jalan malam menuju kantor polisi tempat kebenaran akan akhirnya disuarakan.

Di dalam markas, aku menegakkan tubuh walau nafasku belum stabil. Saat aku hendak memusatkan energi kembali, mataku menangkap sesuatu, sebuah kilau hitam pekat di jari CEO ular hitam. Sebuah cincin batu hitam menghias tangannya, memancarkan aura tidak wajar. Aku menyipitkan mata. Ada sesuatu yang mengganggu. Dari cincin itu, aku merasakan jejak energi magis yang tidak asing, energi gelap, tetapi tidak sepenuhnya hidup. Ketika dia mulai maju dengan langkah berat, niat membunuhnya menebal seperti kabut, aku tau cincin itu bukan sekadar perhiasan.

Energinya tidak lagi utuh, seperti cangkang kosong yang pernah ditempati sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Aku menduga cincin itu pernah menjadi penghubung antara CEO itu dan roh kegelapan. Kini, roh itu telah sirna, tapi energinya masih tersisa, cukup untuk menyulitkanku yang kini sudah setengah kehabisan tenaga.

Dia menyerang lebih agresif. Gelombang energi hitam keluar dari tubuhnya setiap kali dia mengayunkan tangan. Aku menghindar, lalu membalas dengan gerakan bela diri cepat, satu tendangan berputar mengenai bahunya, tapi dia bertahan. Cincin itu mengilap gelap saat dia mengayunkan pukulan bertubi, seolah menyerap sebagian dampak dari seranganku.

Pertarungan kami berubah menjadi duel energi dan teknik, aku menggunakan kekuatan terakhirku untuk menahan gelombang magisnya, menyerang dengan kombinasi sihir dan bela diri. Setiap pukulan harus tepat sasaran, setiap gerakan harus hemat tenaga. Hingga akhirnya aku berhasil menyalurkan energi langsung ke arah cincin itu, satu hantaman telapak tangan dengan seluruh niat penghancuran. Batu hitam di jari CEO itu retak, ‘Craaaack!’. Cincin itu pecah jadi pecahan kecil dan hancur menjadi abu.

CEO ular hitam membelalak, tubuhnya gemetar hebat, lalu batuk darah, dia ambruk, kekuatannya lenyap seiring hancurnya batu hitamnya. Pertarungan telah berakhir. Tidak lama, suara sirene polisi mendekat, bergema dari arah luar markas. Su Gyeom sudah bersaksi. Polisi masuk bersama tim forensik, mengamankan lokasi dan mulai menggali kebenaran, termasuk soal pemakaman tanpa nisan di belakang gedung itu.

Wartawan berdatangan. Kilatan kamera memenuhi udara. Dunia luar akhirnya tau. Aku menyelinap pergi dari tempat itu, diam-diam. Di lahan kosong yang kini mulai dibongkar, aku melihat Dal-rae. Dia sudah keluar dari tubuh istri CEO, dia menoleh ke arahku, melambaikan tangan, tersenyum, lalu membungkuk memberi hormat. Dia berdiri di samping salah satu makam yang sedang digali, di situ makamnya selama ini. Dan kini, dia akhirnya bisa pergi dengan tenang.

Dari arah lain, para pelaku kejahatan digiring masuk ke mobil tahanan. Wajah mereka penuh penyesalan dan ketakutan. Aku tersenyum lega, “Sudah waktunya pulang”, ucapku lirih. Aku berteleportasi kembali ke rumah sakit. Saat kaki ku menapak di koridor dekat ICU, tubuhku lemas, tidak sanggup menopang diri sendiri. Dong Min dan Ling Ling sontak menoleh, matanya melebar melihatku.

Dong Min: “Kamu terluka? Kamu tidak apa-apa?” (Tanyanya cemas, segera menangkap tubuhku sebelum aku terjatuh).

Ling Ling: “Dari mana saja kamu seharian?” (Menggenggam tanganku).

Mereka membantuku duduk di kursi tunggu. Dong Min memintaku bersandar di bahunya. “Istirahatlah.”, ucapnya lembut. Aku menurutinya. Malam mendekap dengan sunyi. Aku memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai aku bisa tertidur, meski hanya sebentar.

Pagi telah tiba dengan suasana yang jauh dari kata tenang. Aku, Dong Min, dan Ling Ling tertidur lelap setelah malam yang melelahkan, tapi suara langkah tergesa-gesa dan bisikan panik dari tim medis segera membangunkan kami. Sorotan lampu-lampu ruang rumah sakit menyala terang, dan suara sepatu beradu di koridor menuju ruang ICU membuat jantung kami berdetak lebih cepat. Aku membuka mata perlahan, merasakan kegelisahan yang mendadak menyergap. “Apa yang terjadi?”, gumamku pelan. Seorang dokter mendekat sambil membawa selembar surat dan wajahnya tampak serius.

Dokter: “Dokter bedah dari Paris sudah tiba, dan operasi harus segera dilakukan.” (Sambil menyerahkan surat persetujuan yang harus aku tanda tangani agar Hwang In bisa dioperasi).

Aku: “Seharusnya yang menandatangani adalah orang tuanya.” (Menatap surat itu, ragu mengangkat pena).

Tepat saat itu, Suk Ik datang bersama istrinya. Tatapannya lembut namun penuh kekhawatiran saat dia memandangku. Ada ketegangan yang tidak terucapkan, seolah dia ingin aku tau bahwa dia tidak menyalahkan aku.

Suk Ik: “Aku mengenal Hwang In dengan baik, dia anakku, dia laki-laki yang kuat. Hwang In, akan segera berkumpul kembali dengan kita dalam keadaan sehat.” (Memelukku, menepuk lembut punggungku). 

Air mataku membasahi pipi, pelukan itu menghangatkan hati, memberi kekuatan. Setelah itu, Suk Ik mengambil pena dan menandatangani surat persetujuan di hadapanku, sementara istri Suk Ik merentangkan tangannya ke arahku dan kami berdua saling berpelukan, saling menguatkan dalam kesedihan dan harapan.

Dokter menjelaskan bahwa Hwang In mengalami luka pada kantung selaput luar jantung, yang disebut Perikardium dalam istilah medis. Tim medis telah melakukan langkah awal dengan mengeluarkan peluru terlebih dahulu dan menempatkan Hwang In di ruang ICU. Pagi ini, operasi besar baru akan dilakukan. Bersama tim medis rumah sakit dan dokter dari Paris, mereka akan melakukan operasi Thoracotomy Darurat, prosedur yang berat dan penuh risiko, membuka dada untuk mengakses jantung agar bisa menghentikan perdarahan dan memperbaiki luka.

Dokter: “Ini operasi besar dan mendesak, tapi itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa Hwang In.” 

            Kami semua mengikuti tim medis yang mendorong brankar tempat Hwang In terbaring. Suara roda logam yang menggesek lantai koridor terdengar tajam di antara deru langkah cepat dan arahan perawat. Dari ruang ICU menuju ruang operasi. Begitu Hwang In dibawa masuk, pintu operasi menutup rapat di hadapan kami. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu. Di luar ruang operasi, deretan kursi dingin dan cahaya lorong yang terlalu terang hanya menambah rasa gelisah yang menggantung di udara seperti kabut tipis yang menolak pergi.

Ponsel Ling Ling berdering. Dia menyingkir beberapa langkah dari kami untuk menjawab panggilan. Suaranya tidak terdengar jelas, namun ekspresinya berubah. Campuran keterkejutan dan ketegangan membayang di wajahnya. Tidak lama, dia kembali dan menatap kami sekilas.

Ling Ling: “Aku harus pergi sebentar. Nanti aku kembali.”

Aku: “Jaga dirimu.”

Ling Ling mengangguk dan melangkah pergi. Aku memejamkan mata. Tubuhku tetap di kursi tunggu, tapi jiwaku bergerak. Aku mengalirkan energi dalam diam, menerobos batas fisik pintu ruang operasi. Dengan segenap kekuatan supranaturalku yang tersisa, aku menyalurkan energi ke tubuh Hwang In. Sebuah doa tanpa suara, sebuah pelukan tanpa bentuk, agar dia kuat, agar dia bertahan.

Sementara itu, di halaman rumah sakit, Ling Ling tergesa masuk ke dalam taxi yang menunggunya. Jemarinya menggenggam erat tas kecilnya, matanya menatap jalanan kota yang mulai ramai di pagi hari. Di antara rasa rindu dan marah, hatinya bergolak. Rindu akan sosok seorang ayah, namun marah saat mengingat masa kecilnya, saat dia hampir lenyap karena niat jahat lelaki itu, dan ibunya terbunuh oleh ayah kandungnya sendiri.

Tidak lama, dia sampai di kantor polisi. Di sana, dia melihat dua orang tua sedang duduk berbicara dengan seorang polisi. Di samping mereka, seorang pengacara berdiri menunduk hormat ketika melihat Ling Ling datang.

Pengacara: “Nona Ling Ling? Mereka berdua adalah kakek dan nenek anda.”

Ling Ling: “Kakek nenek?” (Mata Ling Ling membelalak, mereka rupanya keluarga dari pihak ayah kandungnya).

“Ling Ling.”, ucap kakeknya lirih. “Kami sudah lama mencarimu.”, ternyata ayah kandung Ling Ling adalah CEO dari agensi Ular Hitam. Ling Ling tidak menyangka, kebenaran selama ini tersembunyi begitu rapi. Tapi lebih mengejutkan lagi, kakek neneknya menyatakan niat mereka untuk memberikan seluruh aset dan kekayaan sang ayah kepadanya.

“Kami yakin kamu bisa mengelola semuanya dengan baik, dan melakukan bisnis bersih. Tidak seperti ayahmu.”, kata sang nenek lembut namun tegas. Ling Ling hanya bisa terdiam.

Pengacara: “Ayahmu punya anak dari istri keduanya. Namanya Su Gyeom, dia adikmu. Saat ini sedang menjalani rehabilitasi, terkait obat terlarang. Istri kedua ayahmu dirawat di rumah sakit yang sama dengan Hwang In. Salah satu korban penembakan, di lapangan panahan, orang yang melindungimu. Tersangka dari penembakan itu adalah Su Gyeom dan yang mendalanginya adalah ayahmu sendiri. Ayahmu berniat menyingkirkanmu, karena takut suatu saat kamu merebuat semua harta kekayaannya. Karena kakek nenekmu terus mencarimu, membuat ayahmu tidak senang, dia berambisi menemukanmu lebih dulu sebelum kakek nenekmu menemukanmu.” (Menjelaskan detailnya).

Degup jantung Ling Ling melambat. Dunia terasa berputar lebih pelan. Beberapa jam kemudian, Ling Ling kembali ke rumah sakit dan langsung mencari ruang perawatan istri kedua ayahnya. Saat mereka bertemu, dua wanita itu hanya saling menatap dalam diam. Tidak ada kata makian, tidak ada tuduhan. Hanya air mata yang perlahan turun dan pelukan yang akhirnya menyatukan dua jiwa yang sama-sama lelah.

Di lorong depan ruang operasi, tubuhku goyah. Pandanganku mengabur, dunia mendadak terasa jauh. Hidungku mengeluarkan darah, dan tubuhku terhuyung seiring nafasku yang semakin pendek.

Dong Min: “Byeol… ada apa dengan dirimu?! Byeol… bangun!”

Dong Min meraih tubuhku tepat saat aku terjatuh, “PERAWAT! TOLONG!!”. Suk Ik dan istrinya langsung berdiri dari kursi, wajah mereka berubah panik. Tapi Dong Min tidak menunggu. Dia menggendongku dan berlari ke ruang IGD, memanggil dokter dan perawat di sepanjang koridor. Sedangkan Suk Ik dan istrinya tetap di kursi tunggu ruang operasi, menanti kabar dari dua orang yang kini berarti segalanya bagi mereka. Putra mereka Hwang In, dan aku.

Dalam ketidaksadaranku, kesunyian menyelimuti. Tidak ada suara, hanya ruang hampa serba putih yang membentang tanpa ujung. Langkahku entah sejak kapan membawaku ke tengah kehampaan itu dan di sana, berdiri sosok yang ku kenal… Mago.

            Aura Mago berbeda kali ini, lebih hangat, lebih damai. Di tangannya, dia menggenggam pil kehidupan abadi yang kini tidak lagi bercahaya.

Mago: “Kamu benar-benar seperti manusia sekarang. Kamu rela melakukan apa pun, demi orang yang kamu cinta. Byeol bukan lagi dewa tanpa belas kasih.”

            Mago menatapku lama, menggeleng pelan. Senyumnya tipis, matanya seolah membaca seluruh isi hatiku. Nada suaranya terdengar seperti menggoda, namun ada kebanggaan yang tidak disembunyikan. Dia menghela nafas perlahan, kemudian menatap pil itu sekali lagi.

Mago: “Aku mengambil kembali ini. Benda yang selama lima ratus tahun ini… kutitipkan padamu. Mulai sekarang, kamu akan menjadi manusia biasa.” (Masih menatapku, seolah ada satu hal lagi yang belum selesai).

Mago: “Tapi soal kemampuanmu melihat arwah… apakah kamu masih ingin memilikinya?”

Aku: “Aku tidak ingin mata batinku tertutup.” (Mengangguk).

Mago: “Baiklah, semoga setelah ini… kamu benar-benar menemukan kebahagiaan. Hidup… menua bersama orang yang kamu cinta. Dan satu hal lagi, aku tau saat kamu melawan CEO ular hitam dan semua anak buahnya, kamu tidak membunuh satu pun dari mereka. Sebagai hadiahnya, aku akan memberi kesembuhan pada Hwang In. Kali ini… kamu tidak perlu menukarnya dengan jiwa siapa pun. Aku bangga padamu, Byeol.”

            Cahaya putih perlahan menyilaukan pandanganku. Suara Mago memudar, tubuhnya menghilang perlahan.

Satu tahun telah berlalu…

Banyak hal berubah, namun jejak-jejak masa lalu tetap membekas dalam cara yang tidak terlihat, seperti angin yang hanya bisa dirasakan, bukan ditangkap. Ling Ling kini bukan lagi manajer Jinju Beauty. Dia telah mengundurkan diri dan mendirikan agensinya sendiri, ‘SaeBit Entertainment’. Sae berarti baru, Bit berarti cahaya… dan benar, agensi itu lahir sebagai sebuah harapan, sekaligus cahaya baru bagi para seniman muda yang ingin tumbuh dalam jalur yang bersih dan jujur.

Posisi Ling Ling di Jinju Beauty kini diisi oleh Dong Min. Bukan hanya menjadi manajer, dia juga mengembangkan klub panahan yang dirintisnya sendiri. Klub itu berkembang pesat, sering tampil di berbagai turnamen, dan diam-diam jadi tempat bagi anak-anak muda untuk belajar tentang ketenangan, fokus, dan keberanian.

Hwang In tetap bersinar sebagai actor. Televisi ramai membahas tentang kabar pertunangannya… dengan siapa lagi kalau bukan denganku. Tahun ini, kami akan menikah. Dan aku? Aku masih menulis novel. Masih jatuh cinta pada kata, pada cerita, pada hidup yang kini tidak lagi dipenuhi misteri supranatural, tapi tetap sarat makna dan keajaiban kecil.

Siang itu, aku, Hwang In, dan Dong Min duduk santai di sebuah cafe kecil di tengah kota. Di seberang jalan, sebuah toko buku antik berdiri dengan tenang. Wajah etalasenya berdebu, tapi justru itu yang memberi pesona. Dong Min menggoyang gelasnya pelan.

Dong Min: “Sebenarnya… ada yang belum kalian tahu.”

            Aku dan Hwang In menoleh. Memperhatikan hal yang akan disampaikan oleh Dong Min.

Dong Min: “Waktu itu, hari saat kita berangkat ke tempat panahan… saat fajar, Ha Baek datang ke rumahmu di Namwon. Dia ketuk pintu, dan hanya menemuiku.” (Menatapku). “Dia cerita semuanya. Tentang kalian ke masa lalu, soal Mawang, soal pertempuran, dan… banyak hal lain. Ha Baek menunjukkan semuanya lewat gelembung air besar. Serius, itu seperti menonton film kolosal di televisi, cuma ini jauh terasa lebih nyata.”

            Kami tertawa bersamaan. Tapi tawaku terhenti, mataku terpaku pada toko buku antik di seberang jalan. Penjaga tokonya… sekilas… mirip sekali dengan Xiao Yuer. Aku menyipitkan mata, mencoba memastikan tapi sebelum aku bisa berdiri, suara riang menyapa kami. Ling Ling datang. Dia tidak sendiri. Di sampingnya, seorang pria mengenakan jas berwarna abu-abu muda, wajahnya tenang namun bersahaja. Wajah itu…

Aku: “Dia mirip sekali dengan Daeho.” (Berbisik ke arah Hwang In)

            Daeho adalah seorang anak pandai besi yang aku temui di masa lalu. Dia juga menciptakan ramuan penawar racun dari racun mematikan sekte kalajengking. Aku menduga, pria ini reinkarnasi darinya.

Hwang In: “Itu bukan kebetulan. Itu… takdir. Dan dia juga dokter yang mengoperasiku, Byeol.” (Balas berbisik).

Melihat wajah pria itu seakan membuka pintu lain dalam ingatanku. Ling Ling mengenalkan pria itu kepada kami. Namanya dokter Han Mingi. Dokter lulusan Paris, pernah bertugas di sana, dan kini kembali ke Korea, dokter Han Mingi ialah kekasih Ling Ling. Kami menyambut keduanya dengan hangat. Duduk bersama, memesan makanan, bercanda dan juga bercerita.

Setelah makan siang, semua berpamitan. Dong Min kembali ke kantor Jinju Beauty, Ling Ling dan Han Mingi berjalan berdampingan menuju tempat parkir. Mereka harus segera kembali ke tempat kerja masing-masing karena jam makan siang telah usai. Aku dan Hwang In tidak langsung pulang.

Aku: “Mau mampir ke toko buku itu?”

Hwang In hanya mengangguk, tersenyum tipis. Kami menyeberang jalan. Dari luar, toko itu tidak memiliki keanehan, seperti toko buku pada umumnya. Tapi begitu pintu berderit terbuka, udara berubah. Di dalamnya, ruangan terasa hangat dan aroma kayu tua bercampur tinta kuno memenuhi udara. Rak-raknya tinggi, penuh buku berjilid kain, nuansa khas Goryeo dipilih menjadi desain ruangan disana, dan di pojok ruangan. Penjaga toko berdiri sambil merapikan rak buku di depannya. Dia menoleh, dan saat melihat kami, bibirnya tersenyum nakal.

Xiao Yuer: “Lama tidak bertemu… Yang Mulia.”

Aku dan Hwang In sama-sama tertegun, tidak percaya. Dia menunjuk dua kursi kayu di dekat meja bundar kecil. Mempersilahkan kami duduk, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, tidak ada ancaman, tidak ada darah, tidak ada sihir, hanya ada saling ungkapkan kerinduan.

Xiao Yuer: “Mago memberiku kesempatan hidup sebagai manusia. Tapi aku sengaja tidak langsung menemui kalian. Menunggu waktu yang tepat.”

Aku: “Kamu tidak memikirkan betapa cemasnya aku?! Seharusnya kamu menemuiku lebih awal!” (Mengomel).

Hwang In: “Jangan memarahinya seperti itu, setidaknya sungguh melegakan, bisa melihat Xiao Yuer lagi, dalam keadaan baik-baik saja.” (Mencubit pipiku).

Xiao Yuer: “Biarlah dia mengomel, aku merindukan omelan darinya.” (Tertawa kecil).

Aku berdiri pelan dari kursiku, aku tertarik pada rak-rak buku yang ada di sekitarku. Jemariku menyusuri punggung-punggung buku itu. Judul-judul asing, buku filsafat, novel sejarah, bahkan jurnal-jurnal kuno berjajar rapi. Tiba-tiba mataku terpaku pada satu buku. Warna sampulnya kusam, tapi aku mengenal desain itu dengan sangat baik. Jemariku menyentuhnya, novel lamaku, yang ku tulis bertahun-tahun lalu… saat aku masih manusia setengah dewa.

Aku: “Yuer, darimana kamu mendapat koleksi buku-buku lama seperti ini? Ini novel lamaku.” (Tersenyum).

Xiao Yuer: “Inilah ciri khas toko buku milikku. Aku justru menjual buku-buku lama yang pernah best seller pada masanya.”

Dengan hati-hati aku menarik novel itu. Sampulnya bergambar langit malam, dengan seberkas cahaya bintang di tengahnya. Judulnya nyaris pudar, tapi tetap terbaca jelas olehku. Aku kembali ke tempat duduk, meletakkan novel itu di meja bundar. Hwang In dan Xiao Yuer menoleh ke arahku.

Aku: “Novel ini berjudul ‘Dua Dunia’. Dulu, novel ini ku tulis saat aku masih belajar memahami manusia, tapi belum bisa menjadi salah satunya. Dan dari sinilah... aku akhirnya memilih nama Byeol sebagai nama penaku.”

Xiao Yuer mengangguk pelan, seperti memahami lebih dari yang ku katakan. Tapi Hwang In malah tertawa kecil.

Hwang In: “Karena ada seorang pemuda yang duduk di bangku SMA, menderita leukemia. Dia datang ke acara peluncuran novelmu. Duduk di kursi rodanya, minta tanda tanganmu... lalu dia berkata, nama penamu sebaiknya Byeol. Karena tulisanmu seperti cahaya bintang di tengah gelapnya hidupnya. Apa aku benar?” (Melirik ke arahku).

Aku: “Dari mana… kamu tau moment itu?” (Aku menoleh cepat padanya, wajahku jelas terkejut).

Hwang In tersenyum samar, tidak langsung menjawab. Tapi di matanya, ada ketenangan, seolah dia sudah menunggu moment ini.

Hwang In: “Karena aku ada di sana. Akulah pemuda itu, Hwang In adalah kehidupan ketigaku. Setelah gugur sebagai Gongmin, aku bereinkarnasi menjadi pemuda dengan sakit leukemia, tapi aku hidup singkat saat itu, penyakit itu membunuhku. Dan barulah aku bereinkarnasi kembali menjadi Hwang In.” (Jelasnya, sambil menggenggam tanganku).

Xiao Yuer: “Takdir kalian... benar-benar melampaui cerita apa pun yang pernah ku tau.” (Ucapnya lirih). “Dari langit yang muram oleh peperangan, sampai siang cerah seperti ini, di mana kita bisa duduk bersama hanya untuk menikmati waktu... Hwang In menempuh tiga kehidupan hanya untuk menemukan satu sama lain.” (Menunduk). “Dan aku bersyukur… bisa menjadi bagian dari kisah itu.” (Menatap kami bergantian, lalu tersenyum perlahan, matanya berkaca-kaca).

Di siang yang tenang itu, kami bertiga duduk bersama, bekas pecahan waktu yang akhirnya menyatu dalam satu titik yang sama. Dua dunia yang berbeda, dua masa yang saling bertaut, membawa kami pada satu pilihan yang tidak perlu diragukan lagi… untuk tetap bersama, menerima segala luka dan cerita, lalu melangkah maju dengan hati yang utuh. Bukan tentang menghapus masa lalu, melainkan memeluknya sebagai bagian dari diri, agar hari ini dan esok bisa benar-benar hidup, dalam damai dan cinta yang tidak lekang oleh waktu. Di antara tawa dan pandangan yang mengerti, kami tau… inilah akhir yang indah, permulaan baru yang kami pilih dengan sepenuh jiwa.

Tamat.

Komentar

  1. Maaf banget, tapi aku GAGAL MOVE ON. Gimana caranya lanjut hidup setelah baca ending sehangat ini?? 😭 Tolong thor, season dua plis! Pengen tau gimana pernikahan Byeol & Hwang In, terus… Xiao Yuer ngapain lagi di dunia modern. AKU BELUM SIAP PISAH 😩🙏

    BalasHapus
  2. Bisa nggak sih... jangan selesai dulu? 😭 Aku rela nunggu setahun buat season 2. Yang penting masih bisa lihat byeol, hwang in, dong min, xiao yuer. Dunia mereka terlalu indah buat ditinggalin...

    BalasHapus
  3. Ini bukan cuma ending yang bahagia. Ini penyembuhan. Cerita ini ngasih harapan bahwa luka bisa dijahit pelan2 jadi kebahagiaan. Aku senyum sambil berlinang air mata di akhir

    BalasHapus
  4. Gila, twist Hwang In itu mind-blowing! Tapi disampaikan dengan cara yang manis banget... bukan drama, tapi dalem. Dan Xiao Yuer kembali sebagai penjaga toko buku? I mean… poetic justice at its finest. MASTERPIECE

    BalasHapus
  5. Plot twistnya nggak cuma bikin shock, tapi bikin aku diem sejenak, terus mundur scroll ke chapter-chapter sebelumnya buat nyari petunjuk. DAN TERNYATA SEMUANYA SUDAH ADA DI SANA 😭 Genius banget!

    BalasHapus
  6. Gila... author jago banget mindahin cerita dari dunia fantasi, ke realita, terus muter balik lagi ke momen penuh jawaban dan rasa. Twistnya tuh kayak ini bukan tentang 'siapa dia sebenarnya', tapi 'sejak kapan dia sudah ada di situ'. Dan itu… brilian banget

    BalasHapus
  7. Twistnya bukan cuma bikin kaget, tapi juga bikin aku menghargai setiap detail kecil yang disisipin dari awal. Rasanya pengen baca ulang dari chapter 1 sambil cari kode rahasianya 😭

    BalasHapus
  8. Ini cerita bukan cuma soal cinta dan reinkarnasi, tapi juga tentang pilihan hidup yang bikin gue mewek. Author nulisnya keren banget, bikin gue ngerasa ikut hidup bareng mereka

    BalasHapus
  9. Gue pikir cerita biasa aja, tapi twistnya tuh bikin gue geleng2 kepala. Jadi semuanya nyambung banget, kayak puzzle yang akhirnya lengkap. Keren abis, jangan berhenti nulis, thor! Di tunggu karya berikutnya, wajib!!!

    BalasHapus
  10. Gue suka cara nyeritain masa lalu dan masa depan yang nyatu jadi satu, keren banget!

    BalasHapus
  11. Ling Ling ternyata anak CEO ular hitam! Gak nyangka banget, plot twist yang mantul! SUMPAH NGGAK PERNAH KEPIKIRAN BAKAL GITU, sungkem ke author. Menciptakan teori sedemikian rupa

    BalasHapus
  12. Ini baru cerita yang ngajarin buat baca pelan2 dan ga bisa langsung percaya sama yang kelihatan 🤣🤣🤣

    BalasHapus
  13. Udh diduga enggak bakal bisa nebak, padahal cluenya tersebar rapi sejak awal. Respect buat author! 🤣

    BalasHapus
  14. Author kayak ngajarin kita buat jeli sama detail kecil yang kita anggap remeh

    BalasHapus
  15. Gue pengen kasih standing ovation buat author yang nyusun plot serapi ini 👏

    BalasHapus
  16. Habis baca chapter terakhir, be like cluenya kayak di depan mata tapi kepala gue kayak ditutupin kain haha

    BalasHapus
  17. Plot twist di luar nalar tapi pinter, bikin cerita makin memorable!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer