KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (25 - CHAPTER TERAKHIR)
Dua Masa Satu Pilihan
Suara burung menyelinap lewat celah
jendela yang sedikit terbuka. Cuitannya berkicau riang di kejauhan, seperti
bisikan lembut dari dunia yang lama ku tinggalkan, memanggilku kembali dengan
hangat. Aku membuka mata perlahan. Bukan halaman istana yang sunyi penuh
reruntuhan dan sisa pertempuran, bukan langit kelabu Goryeo yang muram. Yang ku
lihat pertama kali adalah langit-langit kamarku, terbuat dari panel kayu
berwarna cokelat madu dengan ukiran tipis yang rapi, dipadu dengan cahaya
lembut dari lampu tersembunyi. Pancaran cahayanya membalut ruangan dalam
keheningan yang menenangkan.
Jantungku masih berdegup kencang,
keringat dingin membasahi pelipis. Aku mengenakan piyama tidurku, kain lembut
yang begitu asing jika dibandingkan dengan hanbok yang biasa ku pakai selama di
masa lalu. Seketika aku terduduk di atas ranjang, nafasku terengah. Aku bisa
merasakan luka, perih, air mata, dan kehangatan terakhir dari Xiao Yuer di
pangkuanku.
Tanganku gemetar saat menyentuh
dada, mencari bekas luka yang sempat ku rasakan di sana, tapi tidak ku temukan
apa-apa selain denyut jantung yang masih terpukul oleh kenyataan. Aku melangkah
turun dari ranjang. Lantai dingin menyentuh telapak kaki, membawaku kembali
pada rasa hampa yang tidak bisa dijelaskan. Langkahku menggiring tubuh ke arah
jendela. Tirai putih tipis bergoyang pelan diterpa angin pagi, dan dari luar,
dunia tampak berjalan seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Jemariku menyibak tirai perlahan.
Aku:
“Yuer… Hwang In… Apa mereka juga kembali ke masa depan?”
Dadaku terasa perih, bukan karena
luka fisik, tapi karena kehilangan yang diam-diam menancap terlalu dalam. Aku
tau aku sudah pulang. Aku tau misiku telah selesai. Tapi hatiku tertinggal di
halaman istana yang hancur itu, bersama tubuh yang tidak akan pernah bangkit
kembali.
Aku:
“Tunggu… hari apa ini? Dan sudah berapa lama aku pergi?” (Aku berlari kecil ke
meja di dekat ranjang, meraih kalender yang terpajang di sana).
Mataku terpaku menatap kalender.
“Hari ini… hari yang sama. Hari dimana aku dan Hwang In kembali ke masa lalu.”,
ucapku dalam hati saat melihat deretan tanggal di kalender. Aku pun spontan
menoleh ke jam dinding. “Aku kembali ke awal hari, pagi sebelum Hwang In
memulai pemotretannya, waktu sebelum semua itu terjadi.”, gumamku mencoba
mencerna situasi.
Aku segera meletakkan kembali
kalender ke atas meja, nafasku tercekat, tetapi tubuhku tidak bisa diam. Aku
melangkah cepat keluar kamar. Dari lantai atas, pandanganku menyapu ke arah
bawah. Pelayan-pelayan arwah di rumahku tampak sibuk seperti biasa, berjalan
kesana kemari membawa perlengkapan kebersihan, mengatur bunga, menyeka
permukaan meja. Saat mereka menyadari keberadaanku, mereka serempak menoleh ke
arahku, membungkuk hormat sambil mengucapkan, “Selamat pagi, Nona Byeol.”
Aku hanya tersenyum kecil dan
mengangguk pelan. Pemandangan itu membuat hatiku menghangat. “Ya… aku
benar-benar kembali. Ke masa seharusnya aku berada.”, ucapku kemudian, dengan
suara yang nyaris tidak terdengar. Aku menuruni tangga dengan langkah sedikit
tergesa. Begitu sampai di ruang makan, pandanganku langsung tertuju pada dua
sosok yang begitu akrab.
Dong Min berdiri di sisi meja,
sedang menata sarapan ke atas nampan. Dia berniat membawanya ke kamarku.
Sementara itu, Ling Ling duduk di kursi, menyantap sarapannya. Mereka berdua
langsung menoleh saat mendengar langkah kaki ku yang tergesa. Aku terhenti
sejenak di ujung tangga, memandangi mereka dengan tatapan penuh haru, mataku
berkaca-kaca.
Dong
Min: “Nona Byeol?” (Panggilnya pelan, nada suaranya bingung). “Kamu kenapa
berlari seperti…”
Tapi aku tidak membiarkannya
menyelesaikan kalimat itu. Aku segera melangkah cepat dan memeluknya erat.
Tubuh Dong Min sempat kaku, terkejut. Lalu, dia membalas pelukanku dengan
hangat. Tangannya melingkar di punggungku, memberi perlindungan seperti dulu.
Dia tidak mengajukan pertanyaan. Hanya memelukku dalam diam, seolah tau bahwa
yang aku butuhkan hanyalah kehadirannya.
Aku:
“Aku senang bertemu denganmu lagi, Dong Min.” (Bisikku pelan).
Dong
Min: “Aku tidak pergi ke mana-mana, Byeol. Aku selalu disini, bersama mu.”
(Menghela nafas pendek, lalu tertawa kecil).
Aku:
“Mr. In Pyo… Mrs. Bomi… mereka di mana?”
Aku perlahan melepaskan pelukan
Dong Min dan menatap matanya, seolah mencari jawaban. Tatapanku lalu beralih ke
Ling Ling, yang hanya melirik sekilas sambil terus mengunyah. Sebelum keduanya
sempat bicara, suara roda troli saji terdengar dari arah dapur. Seakan menjawab
panggilan yang belum sempat terucap, dua sosok yang ku cari muncul dari balik
dinding dapur. Mr. In Pyo di depan, melangkah tenang sambil mendorong troli
berisi hidangan sarapan. Di belakangnya, Mrs. Bomi menjaga keseimbangan
mangkuk-mangkuk kecil di atas nampan. Tidak ada yang berubah dari keduanya,
persis seperti terakhir kali ku melihat mereka.
Aku menahan nafas, tidak berkedip
menatap mereka. Troli berhenti di samping meja makan. Begitu Mr. In Pyo
meletakkan piring terakhir, tanpa sepatah kata pun, aku langsung memeluknya.
Tubuhnya sempat menegang, terkejut, lalu dia menghela nafas pendek dan membalas
pelukanku.
Mrs. Bomi yang berdiri di
sebelahnya ikut tersentak. Belum sempat dia bertanya, aku sudah beralih
merangkulnya. Dia sempat melirik Mr. In Pyo, seolah meminta penjelasan, tapi
akhirnya hanya mengusap lembut punggungku.
Keduanya saling berpandangan,
bingung namun diam. Tatapan mereka lalu bergeser ke Dong Min dan Ling Ling.
Dong Min mengangkat alis, gelengan kecil menyiratkan bahwa dia juga tidak tau
apa yang terjadi. Ling Ling hanya mengangkat bahu. Kehangatan itu sederhana,
tapi cukup membuatku lega. Aku benar-benar telah kembali, dan semuanya masih di
tempatnya.
Ling
Ling: “Mama memeluk semua orang… kenapa hanya aku yang tidak mendapat giliran?”
(Menoleh sambil mengangkat alis, nadanya menggoda).
Aku:
“Kamu sedang makan. Aku tidak ingin mengganggu moment sakral antara kamu dan
makanan pagimu.” (Menoleh padanya, menahan senyum).
Ling
Ling: “Makanan pagiku bisa menunggu, tapi pelukan… itu tidak boleh terlewat.”
Aku:
“Kalau begitu kemarilah, sebelum aku dianggap pilih kasih.” (Melangkah
mendekat, memeluk Ling Ling).
Ling
Ling: “Aku sudah menunggu dari tadi.” (Segera bangkit dari kursinya dan
memelukku erat).
Suara klakson mobil terdengar dari
luar, membuat aku dan Ling Ling segera melepaskan pelukan. Aku melirik ke arah
pintu depan, lalu kembali menatap Ling Ling.
Aku:
“Ling Ling, kamu mau berangkat ke Seoul? Untuk rapat dan mengatur pemotretan
Hwang In?”
Ling
Ling: “Darimana mama tau?” (Mata Ling Ling melebar, tampak terkejut).
Aku terdiam sejenak. “Semuanya
benar-benar terulang. Kegiatan hari ini, sama persis seperti hari itu...”,
pikirku dalam hati. Sentuhan lembut mengguncang bahuku, mengusir lamunanku. Aku
menoleh, menemukan Ling Ling berdiri di sampingku dengan mata penuh perhatian.
Ling
Ling: “Mama, apa yang mama pikirkan? Pemotretan Hwang In akan dilakukan di
lapangan panahan.”
Aku mengangguk pelan, mencoba
kembali fokus. Di belakangku, Dong Min berdiri tidak jauh, mendengarkan
pembicaraan kami dengan serius.
Dong
Min: “Lapangan panahan? Mmm bolehkah aku ikut kesana? Nona Byeol, mari kita
pergi ke Seoul juga.” (Membujukku).
Ling
Ling: “Tentu saja boleh, kamu lupa? Nona Byeol kita adalah CEO Jinju Beauty.
Asal bersama dengannya, kamu memiliki akses untuk ikut, ini kegiatan pemotretan
perusahaan. Kalian berdua menyusul saja nanti, kita akan bertemu disana.”
Ling Ling dengan lembut memelukku.
Dia menempelkan pipinya ke pipiku, kanan dan kiri, sebagai tanda perpisahan.
Ling
Ling: “Aku berangkat dulu.” (Sambil tersenyum manis).
Setelah itu, Ling Ling melambaikan
tangan ke arah semua yang ada di ruangan itu. Tatapannya penuh keceriaan dan
semangat, langkahnya ringan saat dia melenggang keluar rumah. Mr. In Pyo dan
Mrs. Bomi juga pamit, mereka berdua kembali ke pekerjaan masing-masing,
menyisakan aku dan Dong Min di ruang makan.
Aku:
“Mmm kita sarapan dulu, setelahnya baru kita bersiap pergi ke Seoul.” (Menoleh
ke Dong Min, tersenyum).
Dong
Min: “Baiklah, sarapan dulu baru kita bersiap-siap.” (Mengangguk setuju).
Dong Min menarik salah satu kursi
dan mempersilahkan aku untuk duduk. Sikap manisnya itu, tidak pernah berubah
sedikit pun. Kami berdua mulai menyantap makanan yang tersedia di atas meja.
Dong
Min: “Mau mencoba lauk yang ini, Byeol?” (Menunjuk salah satu mangkuk berisi
lauk). “Rasanya pedas, tapi enak… mmm pedasnya pas menurutku.”
Aku mengangguk, dan Dong Min
mengambil sedikit lauk itu lalu meletakkannya di atas nasiku. Suasana sarapan
yang sederhana tapi penuh kehangatan. Tawa kami pecah ketika tiba-tiba Dong Min
bersendawa kecil dan langsung menutup mulutnya dengan tangan, matanya mengedip
nakal. Aku tertawa geli melihat tingkahnya yang polos itu.
Setelah sarapan selesai, kami
bangkit dari kursi, hendak beranjak ke kamar masing-masing untuk bersiap. Saat
aku berdiri, tanpa sengaja aku menyenggol gelas kaca di meja. Dong Min cepat
meraih lenganku begitu dia melihat gelas yang terguling dan pecahan kaca
berserakan di lantai.
Dong
Min: “Awas, Byeol! Jangan sampai kena pecahannya!” (Ucapnya dengan nada tegas
dan penuh kekhawatiran).
Saat matanya menangkap darah yang
mengalir dari betisku, ekspresi wajahnya berubah seketika. Dong Min langsung
menggendongku ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Tubuhku terkejut dan
membeku sesaat, tapi saat pandangan kami bertemu, waktu terasa melambat. Aku
bisa merasakan detak jantungnya yang berdentum kencang, jakunnya yang bergerak
lembut, dan matanya yang teduh, sebuah rasa sayang yang begitu dalam dan tulus
terpancar dari sana, seolah dia ingin melindungiku dari segala sesuatu yang
bisa menyakitiku.
Dong
Min: “Aku akan menyuruh pelayan hantu bersihkan pecahan-pecahan ini nanti.”
(Dia menunduk menatap lantai di bawah kami, kemudian membawaku menuju sofa
ruang tengah).
Matanya tidak lepas dari luka di
kaki ku, seolah mencoba menangkap setiap detailnya. Setelah itu, dia beranjak
pergi dengan langkah cepat, meninggalkanku sendiri sesaat di sana.
Dong
Min: “Duduk saja di sini, aku ambil kotak obat.”
Tidak berselang lama, Dong Min
kembali dengan membawa kotak obat. Perlahan dan dengan ketelitian, dia mulai
membersihkan lukaku. Gerak tangannya penuh kelembut dan telaten, memastikan
setiap pecahan kaca yang mungkin tertinggal benar-benar hilang. Saat dia
merapikan perban, dia melirik ke arahku dengan campuran rasa kesal dan
perhatian.
Dong
Min: “Sejak kapan Byeol jadi ceroboh begini?” (Setelah membalut lukaku rapi,
Dong Min merapikan kotak obat).
Aku:
“Terima kasih, Dong Min.” (Tersenyum).
Tapi ada sesuatu yang membuat kami
berdua terdiam, saling menatap dengan rasa penasaran yang tidak terucapkan. Dia
akhirnya memecah keheningan.
Dong
Min: “Lukamu biasanya sembuh dengan sendirinya... Apa kekuatan supranaturalmu
melemah, Byeol?” (Suaranya mengandung keheranan yang baru saja dia sadari).
Aku terdiam beberapa detik setelah
Dong Min mengucapkan itu, ucapan Dong Min ada benarnya, aku juga merasa ada
keanehan pada diriku. Tapi aku tidak menemukan di titik mana yang terasa aneh,
sampai Dong Min mengatakannya, barulah aku menyadarinya.
Dong
Min: “Cahayanya... dari pil kehidupan abadi di dalam perutmu… meredup.”
(Memperhatikan perutku). “Biasanya aku bisa melihatnya bersinar terang,
sekarang nyaris pudar. Apa kamu sakit...? Apa kamu... baik-baik saja, Byeol?”
(Tangannya terangkat perlahan, menyentuh keningku, lalu berpindah ke pipi).
Aku:
“Aku baik-baik saja, Dong Min.” (Menggenggam tangan Dong Min yang menyentuh
wajahku).
Aku mengusap rambutnya pelan, lalu
menepuk punggung tangannya. Seolah ingin memberinya keyakinan, walau jauh di
dalam hati, aku sendiri masih bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada
diriku? Aku segera menarik nafas dalam-dalam.
Aku:
“Dong Min, ayo kita bersiap. Kita harus segera berangkat, nanti kita
terlambat.” (Tanpa menunggu jawaban, aku mulai berdiri).
Dong
Min: “Tidak! Aku yang akan antar kamu ke kamar. Jangan coba-coba jalan sendiri,
Byeol.” (Dengan sigap langsung menggendongku kembali).
Aku:
“Turunkan aku, ini cuma luka kecil, aku bisa jalan.” (Tertawa kecil).
Dong
Min: “Luka kecil atau besar, aku tidak mau ambil risiko.” (Menggeleng).
Dengan hati-hati, dia menggendongku
naik ke lantai atas. Suasana menjadi hangat, dan aku merasa aman dalam
pelukannya. Saat kami sampai di depan pintu kamarku, barulah dia menurunkan aku
perlahan.
Dong
Min: “Mmm aku juga harus siap-siap. Nanti setelah selesai bersiap, aku tunggu
di ruang tengah, oke?” (Tersenyum).
Aku:
“Aku akan segera turun setelah selesai mandi dan mengganti pakaianku.”
(Mengangguk).
Dong Min mulai berjalan
meninggalkanku, tapi beberapa kali dia menoleh ke belakang, tertawa kecil, lalu
melanjutkan langkahnya.
Aku:
“Sudah sana, buruan bersiap!” (Menggelengkan kepala dan tersenyum melihat
tingkahnya).
Akhirnya dia benar-benar menuruni
anak tangga, dan aku masuk ke dalam kamar. Aku langsung menuju kamar mandi. Air
hangat mengalir deras membasuh tubuhku, uap air memenuhi ruangan, menghadirkan
suasana tenang yang aku butuhkan sebelum menghadapi hari yang panjang. Setelah
mandi, aku mengeringkan rambut dan mengenakan pakaian dalam yang nyaman. Ku
pandangi lemari pakaianku, aku melihat setelan biru muda tergantung disana.
Setelan yang memadukan rok lipit warna biru muda dengan panjang selutut, kaos
putih polos lengan pendek, dan crop blazer berkerah notch berwarna biru muda
berlengan panjang.
Aku:
“Setelan ini?” (Tersenyum).
Tepat di hari ini, tapi di waktu
yang berbeda. Aku dan Dong Min tidak sengaja menggunakan outfit dengan warna
yang sama. Sekilas kenangan itu menyelinap dalam pikiranku.
Aku:
“Apakah semua itu akan terulang? Dong Min akan menggunakan celana panjang
putih, kaos putih, dan blazer warna biru muda.”
Aku menggeser setelan biru mudaku
untuk mencari pakaian lainnya. Pilihanku akhirnya jatuh pada dress berwarna
peach. “Aku harus menjaga perasaan Hwang In, meski aku tidak tau, hari akan
benar-benar bertemu dengannya atau tidak.”, gumamku. Aku duduk di depan meja
rias, menata rambutku, lalu ku ambil kuas dan mulai merias wajah, memperhalus
riasan tanpa berlebihan.
Setelah merasa aku cukup rapi untuk
pergi, aku membuka pintu kamar perlahan, langkahku menjejak keluar. Dari
tempatku berdiri, pandanganku langsung jatuh ke sosok Dong Min di bawah sana.
Dia berdiri di ruang tengah sambil memeriksa jam tangannya. Begitu menoleh dan
melihatku, senyum manis menghiasi wajahnya. Seperti yang ku bayangkan, Dong Min
mengenakan celana putih, kaos putih, dan blazer biru muda. Tepat seperti
kenangan dulu. Setelan itu benar-benar dia pakai hari ini. Aku melangkah
menuruni tangga perlahan.
Dong
Min: “Wah... kamu cantik sekali, Byeol.” (Tersenyum). “Kita berangkat
sekarang.” (Menyodorkan lengannya).
Aku mengaitkan tanganku di lengannya
tanpa banyak kata. Langkah kami seirama saat berjalan menuju garasi mobil. Dong
Min membukakan pintu untukku, bahkan menundukkan kepalanya sedikit seperti
sedang mempersembahkan kehormatan kecil hanya untukku.
Dong
Min: “Silakan, nona Byeol.” (Senyum kecil terselip di ujung kalimatnya).
Aku tersenyum singkat lalu masuk ke
dalam mobil. Dia pun masuk dari sisi pengemudi, dan beberapa saat kemudian,
kendaraan kami mulai melaju. Aku menoleh padanya, suara pelan tapi jelas
mengalir dari bibirku.
Aku:
“Dong Min, kita lewat jalan tepian hutan yang sepi ya. Aku ingin mencoba
teleportasi dari sana. Kita akan lebih cepat sampai Seoul.”
Dong Min hanya mengangguk. Tidak ada
tanya, tidak ada ragu. Tapi justru aku sendiri sedikit ragu. Pandangan mataku
beralih ke luar jendela. Pohon-pohon yang kami lewati seolah ikut membisikkan
kekhawatiranku sendiri. Apakah aku masih bisa melakukan teleportasi? Apakah
kemampuan supranaturalku cukup kuat? Sejak kembali dari masa lalu, aku
merasakan sesuatu dalam diriku berubah. Aku cukup menyadari kemampuan
supranaturalku melemah. Bahkan luka di kaki ku masih terasa perih. Aku
mengepalkan jari perlahan di pangkuanku.
“Aku
harus bisa!”, bisikku dalam hati.
Mobil terus melaju di jalan yang
semakin lama, semakin sepi. Pepohonan di sisi kiri dan kanan seperti merapat,
menciptakan lorong alami yang sunyi. Kabut tipis mulai turun, perlahan menebal,
menggantung rendah dan menghalangi pandangan. Dalam diam, aku menoleh ke arah
Dong Min. Dia memegang setir dengan tenang, tapi sesekali melirik ke arahku.
Dia menggenggam tanganku yang sejak tadi mengepal di pangkuan. Sentuhannya
hangat, seperti mencoba menyalurkan ketenangan yang saat ini tidak ku miliki.
Dong
Min: “Sudah saatnya, Byeol.” (Suaranya lembut).
Aku menatapnya. Matanya mulai
terpejam, nafasnya ditarik pelan. Aku mengikutinya, memejamkan mata dengan
degup jantung yang tidak karuan. Dalam hitungan detik, hawa di sekelilingku
berubah. Duniaku terasa bergetar. Tubuhku seperti ditarik melewati ruang hampa
yang sunyi dan dingin, lalu terdorong kembali ke permukaan dengan ringan. Saat
aku membuka mata, cahaya pagi kota Seoul menyambutku dari balik kaca mobil.
Bangunan-bangunan tinggi mulai terlihat, hiruk pikuk jalanan mulai terdengar
samar dari kejauhan.
Aku:
“Aku... berhasil?” (Suara lirih). “Aku benar-benar berhasil berteleportasi dari
Namwon ke Seoul...” (Senyum tidak tertahan merekah di wajahku, ada rasa lega).
Dong
Min: “Kita berhasil.” (Dia mengangguk sambil tersenyum singkat).
Dong Min kembali fokus menatap ke
depan. Tangannya mantap menggenggam kemudi, mobil kami melaju membelah kota
Seoul yang mulai padat oleh aktivitas, menuju lapangan panahan, tempat di mana
aku, Dong Min, dan Ling Ling telah berjanji untuk bertemu.
Seiring kendaraan mendekati lokasi
panahan. Dari kejauhan, sesuatu terlihat tidak seperti biasanya. Garis kuning
polisi melintang di beberapa sisi lapangan. Orang-orang berkerumun di balik
pembatas, beberapa berbicara panik, sisanya hanya menatap kosong. Sirine samar
terdengar menjauh… dan di ujung pandanganku, satu unit ambulans baru saja
meluncur pergi dari lokasi.
Jantungku seolah berhenti berdetak.
Begitu Dong Min menghentikan mobilnya, aku langsung membuka pintu dan turun
tanpa pikir panjang. Langkahku cepat, hampir setengah berlari, mencari wajah
yang ku kenal di tengah keramaian. Mataku menangkap sosok salah satu
photographer dari perusahaanku, dia berdiri terpaku, menatap arah ambulans yang
baru saja pergi. Aku menghampirinya, nafasku tersengal karena cemas.
Aku:
“Apa yang terjadi?! Siapa yang terluka?! Di mana Ling Ling? Di mana Hwang In?!”
Photographer:
“Tadi… di dalam ambulans… itu Hwang In dan Ling Ling…” (Wajahnya pucat, dia
menoleh dengan pandangan yang masih sulit menyusun kata). “Ada tragedi
penembakan. Tiba-tiba sekelompok orang datang, berpakaian seperti bodyguard,
semua serba hitam. Mereka mengincar Ling Ling. Kami kira itu bodyguard yang
bertugas menjaga acara pemotretan, tapi…” (Menarik nafas, tangannya gemetar).
Aku membeku, terduduk lemas, kakiku
tidak sanggup menopang tubuhku. Duniaku seperti mendadak hening.
Photographer:
“Ling Ling tertembak di lengan atas. Tapi Hwang In… dia melindungi Ling Ling.
Dia tertembak di dada dan langsung jatuh pingsan. Ling Ling menjerit, dan para
penyerang langsung kabur. Polisi sudah datang. Kami semua masih syok… dan belum
tau seberapa parah luka mereka.”
Di belakangku, langkah cepat Dong
Min mendekat, lalu tangannya meraih bahuku, membantuku berdiri, menggenggam
tanganku erat.
Dong
Min: “Ssstt… tenang, Byeol… kita akan ke rumah sakit sekarang. Kita akan
pastikan keadaan mereka.”
Aku hanya bisa mengangguk dengan
mata sembab, mengikuti langkahnya kembali ke mobil. Di perjalanan kali ini,
tidak ada obrolan, tidak ada senyuman. “Semoga mereka berdua baik-baik saja.”,
doa batinku. Mobil kami berhenti di depan pintu masuk rumah sakit. Aku dan Dong
Min segera turun, langkah kami cepat menyusuri koridor menuju meja jaga. Udara
rumah sakit yang dingin, bau antiseptik, serta suara-suara pelan dari pasien
dan perawat menciptakan atmosfer di mana harap dan kecemasan berdampingan.
Dong
Min: “Kami ingin tau tentang dua pasien yang baru dibawa masuk karena luka
tembak. Bisa tolong beri kami informasinya?” (Menghampiri perawat di meja
informasi).
Perawat:
“Apakah anda mencari pasien atas nama Ling Ling dan Hwang In?” (Menatap layar
komputernya sejenak, lalu menoleh pada kami).
Aku:
“Ya, betul… Itu mereka.” (Menjawab cepat).
Perawat:
“Nona Ling Ling sedang ditangani di IGD. Luka di lengan atas, tidak terlalu
parah. Sedangkan Tuan Hwang In… saat ini berada di ruang ICU. Lukanya cukup
serius.” (Mengangguk ramah, meski wajahnya menyiratkan keseriusan).
Aku dan Dong Min hampir bersamaan
mengucapkan terima kasih. Tanpa membuang waktu, kami segera menuju ruang IGD.
Jantungku berdetak semakin cepat. Ada ketakutan, ada kelegaan kecil mendengar
Ling Ling tidak parah, tapi kabar tentang Hwang In terus menghantui pikiranku.
Saat kami masuk ke IGD, pandangan
Ling Ling langsung tertuju padaku. Dia duduk di atas ranjang pemeriksaan dengan
dokter yang tengah membalut lengannya. Wajahnya pucat tapi tetap kuat. Ketika
pandangan kami bertemu, ekspresinya berubah, antara lega dan kekhawatiran.
Aku segera berjalan menghampirinya,
Dong Min di belakangku. Tepat ketika sang dokter selesai membalut luka dan
mengangguk pelan, aku memeluk Ling Ling erat, seolah ingin memastikan dia
benar-benar di hadapanku, benar-benar selamat. Dong Min mengalihkan pandangannya
pada dokter.
Dong
Min: “Bagaimana kondisinya, Dok?”
Dokter:
“Luka tembak ringan. Tidak menembus bagian dalam. Dia akan baik-baik saja. Saya
pamit, ada pasien lain yang harus ditangani.”
Setelah dokter pergi, Ling Ling
masih dalam pelukanku. Dia menepuk lembut punggungku, menenangkan.
Ling
Ling: “Aku tidak apa-apa, nona Byeol… sungguh. Kamu tidak perlu cemas.”
Aku menarik nafas lega, tapi sebelum
aku sempat menjawab, Ling Ling seakan teringat sesuatu. Pelukannya perlahan
dilepas. Tatapannya berubah menajam, penuh rasa bersalah dan panik.
Ling
Ling: “Hwang In…”
Aku:
“Aku tau, kami sudah diberi tau oleh perawat.” (Mengangguk pelan).
Ling
Ling: “Ayo kita lihat keadaannya.” (Berdiri perlahan, tangannya menggenggam
tanganku).
Aku dan Dong Min sama-sama
mengangguk. Tanpa berkata-kata, kami bertiga berjalan ke arah ICU. Langkah kami
pelan, penuh kecemasan yang tidak diucapkan. Setibanya di depan ruang ICU, kami
dihentikan oleh petugas jaga.
Petugas
ICU: “Maaf, kalian hanya bisa melihat dari balik kaca. Pasien masih dalam
kondisi koma.”
Aku mendekat ke kaca, dan di
sanalah dia…Hwang In, terbaring diam dengan alat bantu pernapasan dan infus
yang menusuk kulit pucatnya. Dadaku terasa sesak melihatnya begitu tidak
berdaya. Mataku tidak berkedip menatap setiap helaan nafasnya yang dibantu mesin.
Tapi kemudian, terdengar suara pelan namun jelas dari arah koridor. “Nona
Byeol, kamu disini rupanya.”
Aku, Dong Min, dan Ling Ling menoleh
bersamaan ke arah suara itu berasal. Seorang pria berdiri di ujung lorong ICU.
Setelan hitamnya rapi dan menyatu dengan bayangan dinding. Sebuah topi hitam
menutupi sebagian wajahnya, namun aura gelap yang membungkusnya membuat
siapapun tau dia bukan manusia biasa.
Aku:
“Jeoseung Saja…” (Bisikku, suara tercekat).
Dia berjalan pelan mendekat,
langkahnya tidak bersuara meski lantai rumah sakit mengkilap. Dari balik jas
hitamnya, dia mengeluarkan sebuah buku berwarna hitam dengan tulisan hangul
kuno berukir perak di sampulnya, ‘Buku Catatan Kematian’.
Jeoseung
Saja: “Aku hanya menjalankan tugasku. Pasien di ruang ICU itu… sudah waktunya.”
(Membuka halaman buku dan menunjukkannya padaku).
Mataku membelalak. Di sana tertulis
Hwang In. Tepat di bawah tanggal hari ini.
Aku:
“Tidak!” (Suara bergetar). “Aku tidak akan mengizinkan mu membawanya!”
Dadaku terasa sesak oleh amarah dan
duka yang datang bersamaan, tanganku mengepal. Dalam sekejap, hawa di
sekelilingku berubah drastis. Cahaya kuning keemasan mulai menyelimuti tubuhku.
Tanpa kusadari, kekuatan dalam diriku bangkit.
Dong
Min: “Byeol, tahan! Tenang dulu!” (Dia menggenggam lenganku, matanya panik).
Jeoseung
Saja: “Apa kamu mau menghancurkan rumah sakit ini dan membuat lebih banyak
nyawa melayang, hanya karena satu nama?” (Mengangkat sebelah alisnya). “Kamu
tau konsekuensinya, nona Byeol.”
Aku menggertakkan gigi, mencoba
menahan gejolak di dadaku. Cahaya di sekelilingku mulai surut, walau tubuhku
masih bergetar. Aku menoleh pada Dong Min dan Ling Ling.
Aku:
“Jaga Hwang In. Tunggu aku di sini.”
Dong
Min: “Nona Byeol…”
Aku:
“Aku tidak akan membiarkan Hwang In diambil dariku. Tapi aku juga tidak akan
membahayakan tempat ini.” (Tatapanku kembali pada Jeoseung Saja). “Ayo kita
bicara di tempat lain.” (Menarik tangan Jeoseung Saja, untuk berteleportasi
bersama).
Dalam sekejap, aku dan Jeoseung
Saja menghilang, meninggalkan Dong Min dan Ling Ling yang hanya bisa menatap
titik kosong di udara. Koridor ICU kembali hening, hanya tersisa detak jantung
dari mesin dan tatapan cemas dari dua orang yang ku tinggalkan.
Aku dan Jeoseung Saja berpindah ke
sisi taman rumah sakit, area yang cukup sepi dan sedikit jauh dari gedung
utama. Matahari siang menggantung di langit, memantulkan cahaya yang hangat di
sela dedaunan. Tidak banyak orang lewat di sana.
Jeoseung Saja berdiri di bawah
bayangan pohon rindang, walau siang, auranya tetap membawa hawa kematian yang
membuat udara di sekitarnya terasa dingin.
Aku:
“Kamu tau kenapa aku membawamu ke sini?”
Jeoseung
Saja: “Negosiasi lagi, nona Byeol?” (Nada suaranya santai, tapi matanya
mengamati gerak-gerikku tajam).
Aku:
“Seperti biasa, aku akan menukar satu jiwa… demi satu jiwa yang ingin ku
lindungi.”
Jeoseung
Saja: “Jiwa siapa kali ini? Sudah kamu pilih korbannya?” (Menghela nafas
pelan).
Aku:
“Aku punya banyak pilihan. Para pelaku penembakan itu… Aku akan memburu mereka
satu per satu. Dan saat berhasil ku temukan, mereka akan mati di tanganku. Kamu
boleh ambil jiwa mereka sesukamu.” (Menggenggam seakan meremas udara, menahan
amarah yang masih membara).
Sinar matahari menyentuh sisi wajah
Jeoseung Saja, menampakkan rautnya yang sedikit terkejut. Lalu dia bergidik
halus.
Jeoseung
Saja: “Kamu menyebut nyawa manusia seolah mereka barang dagangan. Tapi aku
tidak berhak menghalangi jika memang ada jiwa pengganti…” (Suaranya menjadi
lebih berat). “Tapi waktu terus berjalan. Sampai siang esok, kalau kamu belum
membawa jiwa yang kamu janjikan, maka aku tetap akan mengambil jiwa Hwang In.
Tidak ada penundaan.”
Aku:
“Baik, tunggu aku dengan kesabaran seorang malaikat maut.” (Menatapnya
lekat-lekat, lalu mengangguk pelan).
Tanpa menunggu reaksi darinya, aku
berteleportasi kembali ke rumah sakit. Aku mendarat di dalam ruang ICU, tepat
di sisi tempat tidur Hwang In. Dia masih terbaring tenang, matanya terpejam
rapat, alat bantu pernapasan tetap terpasang.
Aku:
“Tolong bertahanlah, Hwang In…” (Berbisik pelan).
Tanganku meraih tangan dinginnya.
Ku tutup mata dan mulai membaca jejak ingatan yang tersisa di tubuhnya.
Gelombang cahaya samar mengalir, dan potongan-potongan peristiwa mengalir ke
pikiranku, suara tembakan, jeritan Ling Ling, kekacauan… dan wajah salah satu
pelaku perlahan muncul jelas. Aku membuka mata, nafasku tertahan.
Aku:
“Itu… bukankah dia…?”
Wajah itu, aku mengenalnya. Salah
satu teman sekolah Ling Ling dulu, pemuda pendiam, yang selalu memiliki aura
gelap di belakang tubuhnya.
Aku:
“Untuk apa dia mengincar Ling Ling? Siapa dia sebenarnya…?”
Pertanyaan itu berputar di benakku,
tapi aku tidak bisa membuang waktu. Aku menunduk, mengecup kening Hwang In.
Aku:
“Aku mencintaimu. Aku akan kembali.”
Sekali lagi aku berteleportasi,
kini muncul di depan ruang ICU. Di sana, Dong Min dan Ling Ling masih duduk di
bangku tunggu. Mereka berdiri begitu melihatku muncul.
Dong
Min: “Kamu sudah kembali? Tadi itu benar-benar… malaikat maut?”
Aku:
“Uhum…” (Mengangguk). “Mmm aku harus pergi lagi. Kali ini mungkin agak lama.”
Ling
Ling: “Kamu akan ke mana?” (Melangkah maju, wajahnya penuh kekhawatiran).
Aku:
“Ada tempat yang harus ku tuju… dan urusan yang harus ku selesaikan.” (Tidak
menjelaskan detailnya, sambil menatap mereka berdua). “Tolong jaga Hwang In.
Pastikan dia tidak sendiri. Hubungi aku segera jika ada perkembangan apa pun.”
Dong
Min: “Kami akan pastikan dia aman.”
Dong Min dan Ling Ling mengangguk
bersamaan. Aku tersenyum, lalu melangkah mundur. Dalam sekejap, tubuhku kembali
menghilang dalam kilatan cahaya, meninggalkan koridor rumah sakit yang kembali
hening. Perburuanku telah dimulai.
Sejak membaca ingatan Hwang In, aku
bisa mengenali jejak energi salah satu penembak yang sempat ku lihat jelas.
Setiap manusia menyimpan aura unik. Aku mengikuti jejaknya, melintasi atap
gedung dan lorong-lorong sepi dengan teleportasi singkat, memadatkan
langkah-langkah menjadi deretan lompatan waktu. Di sebuah area terpencil di
pinggiran kota. Di hadapanku berdiri sebuah bangunan tua yang besar, bekas
gudang kayu, lapuk dimakan waktu, namun masih kokoh berdiri. Dinding luarnya
dipenuhi coretan samar, bekas poster usang yang sudah sobek dan nyaris tidak
terbaca.
Aku menyipitkan mata. Tempat ini
bukan sekadar bangunan tua biasa. Suara mesin kendaraan terdengar dari
kejauhan. Aku segera melompat ke balik tumpukan peti kayu tua, menyembunyikan
tubuhku di baliknya. Tidak lama kemudian, tiga mobil hitam berhenti berurutan
di depan bangunan itu. Pintu-pintu terbuka cepat. Pria-pria berbadan besar dan
berjas hitam keluar dari masing-masing mobil. Wajah-wajah kaku dengan gerak
tubuh penuh siaga. Mereka seperti sedang mengawal sesuatu, atau orang penting.
Dari mobil pertama, seseorang turun
dengan gaya mencolok. Kemeja coklat bermotif tumbuhan dan burung dipadukan
dengan jas merah darah. Celana merah menyala dan sepatu kulit. Rambutnya
disisir rapi ke belakang, dan senyumnya tipis penuh kesombongan.
Aku menahan nafas. Mataku tidak
lepas darinya, semakin lama memperhatikannya, aku semakin merasa familiar. Aku
menggigit bibir bawahku saat ingatan lama menyelinap masuk, aku pernah
melihatnya di televisi.
Aku:
“CEO agensi Ular Hitam!” (Bergumam).
Agensi itu pernah begitu besar,
tapi menyimpan bau busuk. Di balik sorotan lampu panggung, terjadi hal-hal yang
tidak bisa diungkap dalam siaran berita biasa. Skandal, pelecehan, tekanan
mental. Hingga satu demi satu talent mereka meninggal dengan cara yang sama,
bunuh diri. Tapi tidak ada yang benar-benar percaya itu hanya karena depresi
biasa.
Desas-desus soal penyebaran obat
terlarang dan manipulasi psikis dalam agensi mulai menyeruak, sampai akhirnya
pemerintah menutup agensi itu secara paksa. Namun CEO-nya? Menghilang begitu
saja. Tidak pernah ada yang benar-benar menemukan dia… sampai hari ini.
Ternyata dia tidak menghilang. Dia berkembang, di balik dunia bawah, menjadi
seorang mafia.
Aku:
“Jadi ini markas mereka, dan dia… kemungkinan besar adalah dalang dari
penembakan yang menimpa Hwang In dan Ling Ling.” (Mengepalkan tangan).
Mataku membara. Tapi aku harus
tenang. Perlu lebih dari sekadar amarah untuk menghabisi mereka. Ini bukan
hanya tentang menukar jiwa, tapi juga mengungkap siapa sebenarnya yang berani
menyentuh orang-orang yang aku sayangi. Aku akan masuk ke dalam dunia mereka,
dan membawa keluar kebenaran yang tersembunyi. Begitu pria berjas merah itu dan
para pengawalnya masuk ke dalam bangunan tua, aku bersiap untuk bergerak.
Nafasku ku tahan, tubuhku melesat ringan dari balik tumpukan peti, mendekati
sisi samping gudang sambil mengamati celah jendela tua yang retak. Tapi belum
sempat aku mendekat sepenuhnya…
“Jangan masuk!”, suara perempuan
tiba-tiba terdengar tepat di belakangku, tubuhku refleks berbalik, siap
menyerang. Namun yang ku lihat bukan manusia. Sosok perempuan muda berdiri
beberapa langkah dariku. Gaun putihnya kusam, rambut panjangnya acak menutupi
sebagian wajah. Namun mata itu kosong, seperti menyimpan terlalu banyak luka.
Dan lehernya memar keunguan. Seperti bekas cekikan yang tidak pernah bisa
disembuhkan, bahkan setelah kematian.
Aku:
“Siapa kamu?”
Dal-rae:
“Mereka memanggilku Dal-rae.” (Tersenyum). “Aku… dulu adalah seorang idol dari
agensi Ular Hitam. Aku tau siapa dia, CEO itu… dia binatang yang memakai jas
mahal, dia moster yang tidak memiliki hati nurani. Aku pernah dengar percakapan
staf tentang pengiriman barang. Aku tau itu obat terlarang. Aku hanya ingin
melapor pada polisi… ingin menghentikan semuanya…”
Suara itu patah. Dia memegang
lehernya sendiri, memperlihatkan dengan jelas luka cekikan di sana.
Dal-rae:
“Tapi mereka tau. Mereka tau kalau aku mengetahui rencana mereka. Dia… CEO
memanggilku malam itu. Di ruang latihan yang sepi, dia menyiksaku. Dia…
memperkosaku. Lalu mencekikku dengan tangannya sendiri. Tubuhku tidak pernah
ditemukan, aku masuk dalam daftar pencarian orang hilang. Dia membuangku di
lahan kosong, tidak jauh dari sini. Tempat itu… sudah jadi kuburan tanpa nisan.
Banyak dari kami dikubur di sana. Idol, actor, actress, talent-talent yang
dianggap bermasalah. Yang terlalu tau, tentang kebusukan yang tersimpan rapat
di dalam agensi.”
Aku menarik nafas perlahan, dadaku
terasa sesak saat mendengar kisahnya. Aku tetap diam memperhatikannya.
Dal-rae:
“Jangan masuk sendirian.” (Lanjutnya). “Dia lebih dari sekadar mafia. Dia,
menyimpan sesuatu yang mengerikan. Ada yang melindunginya dari balik bayangan,
bukan manusia.
Aku:
“Apa maksudmu? Sesuatu yang melindunginya? Bukan manusia?”
Dal-rae:
“Dia beberapa kali mengunjungi seorang cenayang dan meminta jimat atau
semacamnya. Tapi… kabar terbaru yang aku dengar, cenayang itu mati mengenaskan.
Bukan karena dibunuh, bukan juga bunuh diri. Aku bingung menjelaskannya, energi
gelap, ilmu terlarang yang dia pelajari, berbalik menyerang dirinya sendiri.
Hanya kami dari alam gaib yang bisa menyimpulkan begitu. Sedangkan manusia
menganggapnya terkena serangan jantung, begitulah keterangan medis
kematiannya.”
Aku:
“Lalu?” (Semakin penasaran).
Dal-rae:
“Sebelumnya, cenayang itu mengendalikan roh menyeramkan. Roh itu telah binasa,
aku tidak tau penyebab pastinya. Dulu, roh itu mendiami tubuh putra tunggal
dari CEO kami. Dia ayah yang keji bukan? Menjadikan anak sendiri sebagai wadah
roh kegelapan, roh jahat, untuk kepentingan bisnisnya dan ambisinya. Roh itu,
bisa menghepnotis seseorang untuk mau diajak kerjasama dengannya. Karena itu
dia selalu mengajak putra tunggalnya kemana pun dan menjadikan putranya alat,
semua orang yang terhepnotis akan tunduk pada CEO ular hitam.”
Mendengar hal itu, membuatku
teringat roh kegelapan yang sudah aku kalahkan di masa lalu, menggunakan binyeo
dari Mago. Mungkin inilah dampak perubahannya di masa depan. Roh kegelapan itu
benar-benar sirna dari masa ini.
Aku:
“Su Gyeom?” (Sebuah nama muncul dalam benakku).
Dal-rae:
“Darimana kamu mengetahui nama itu? Kamu mengenal Su Gyeom? Dia putra tunggal
CEO kami.”
Nama itu muncul dalam ingatanku
karena aku teringat tentang cerita Hwang In, saat kami berada di masa lalu.
Tepat di malam pernikahanku sebagai Putri Mahkota, dan Hwang In sebagai Putra
Mahkota, saat kami menangkap basah bahwa Xiao Yuer adalah Mawang. Kami bertiga
pernah membahas tentang tattoo bulgae dan Hwang In sempat menyebut nama Su
Gyeom.
Suara teriakan perempuan terdengar
nyaring dari dalam bangunan tua itu. Aku dan Dal-rae sontak saling menoleh.
Dal-rae:
“Itu… teriakan Perempuan, suaranya dari dalam.”
Aku mengangguk singkat. Kami tidak
butuh bicara panjang, kami sama-sama tau apa yang harus dilakukan. Kami
bergerak cepat, merunduk dan menyelinap mendekati celah jendela. Dari sana,
kami bisa melihat ke dalam tanpa terlihat. Pandangan kami langsung jatuh pada
sosok perempuan yang terikat di kursi kayu, di tengah ruangan luas itu.
Wajahnya lebam, bekas darah mengering di sudut bibir. Pipinya baru saja
ditampar keras, suara telak tamparan itu masih menggema di ruangan. Dal-rae
terkejut, menutup mulutnya perlahan.
Dal-rae:
“Itu… istrinya. Istri CEO.” (Berbisik). “Semua orang bilang mereka pasangan
yang harmonis… mereka selalu tampil mesra di depan kamera…”
Aku hanya menoleh sekilas ke
arahnya. Wajahku tetap datar, tapi hatiku bergejolak. Aku kembali fokus menatap
ke dalam ruangan, mataku tajam mengamati setiap gerakan mereka. Beberapa detik
kemudian, langkah kaki berdentum berat. Pintu di sisi lain ruangan terbuka
lebar, lima orang masuk dengan langkah tergesa. Mereka membawa senapan laras
panjang, lengkap dengan perlengkapan tempur. Detak jantungku melonjak. Aku
mengenali mereka.
Aku:
“Mereka… pelaku penembakan Hwang In dan Ling Ling.” (Bergumam).
Tepat saat itu, salah satu dari
mereka berteriak. “Ayah, hentikan!”, teriakan itu menghentakkan suasana. CEO
yang barusan menampar istrinya, kini berdiri membelakangi anak buahnya. Dia
berbalik perlahan. Matanya menatap dingin ke arah pemuda itu, pemimpin dari
lima orang yang baru datang.
Aku:
“Jadi… pemuda itu yang bernama Su Gyeom?!”
Benakku riuh, Su Gyeom… teman
sekolah Ling Ling… adalah putra CEO ular hitam? Potongan-potongan puzzle mulai
menyatu. Dan sebelum aku sempat menarik kesimpulan lebih jauh, CEO agensi ular
hitam itu justru tertawa terbahak-bahak. Tawa panjang, gila, dan tanpa rasa
bersalah.
CEO
Ular Hitam: “Kalian dengar itu? Anakku menyuruhku berhenti!” (Tertawa semakin
keras). “Kalian pikir aku masih menganggap kalian berarti?” (Menatap Su Gyeom
dan istrinya dengan jijik).
Dal-rae menggertakkan gigi. Aku
bisa merasakan hawa kemarahan dari arwah di sampingku. Aku melihat Su Gyeom
akhirnya berlutut di depan ayahnya.
CEO
Ular Hitam: “Sejak tubuh anak manja sepertimu tidak bisa lagi jadi wadah roh
kegelapan, kalian berdua hanya beban. Perempuan itu…” (Menunjuk istrinya yang
terikat). “Mama mu hanya wanita lemah penyakitan!”
Su
Gyeom: “Ayah… aku mohon. Bebaskan mama dan aku. Aku sudah lakukan yang ayah
minta. Aku… sudah menembak Ling Ling. Aku sudah cukup membayar harga yang ayah
tetapkan.”
Untuk sesaat, ruangan itu hening.
Aku tidak tau mana yang lebih menyakitkan… Su Gyeom yang berlutut pada ayahnya
sendiri meminta belas kasih dan pengampunan, atau kenyataan bahwa dia memang
melakukan penembakan terhadap temannya. Tapi satu hal kini pasti, ini bukan
sekadar pertarungan kekuasaan. Ini adalah hubungan keluarga yang dibusukkan
dari akarnya. Dan aku harus mencabut akarnya sampai ke dasar terdalam.
Aku memejamkan mata sejenak,
mengatur nafas yang mulai berat akibat luapan emosi. Lalu aku menoleh pada
Dal-rae yang masih menatap pemandangan dari celah jendela dengan rahang
mengeras.
Aku:
“Dal-rae, aku butuh bantuanmu. Rasuki tubuh wanita itu… mamanya Su Gyeom.”
Dal-rae menoleh padaku, terkejut.
Matanya melebar, lalu perlahan menyipit, mencoba memahami arah pikiranku.
Aku:
“Tubuhnya lemah, hampir tidak berdaya. Tapi kalau kamu yang ada di dalamnya…
kamu bisa bicara dengan Su Gyeom. Dia pasti mendengarkan mamanya. Kamu bisa
bujuk dia kabur dari tempat ini.”
Dal-rae tampak ragu sejenak. Tapi
tatapanku mantap dan aku lanjut menjelaskan.
Aku:
“Bawa dia keluar dari gudang ini. Setidaknya sampai ke jalan raya, lalu
masuklah ke taxi yang aku pesan atas nama Byeol, itu namaku. Aku akan pastikan
sopirnya aman dan siap membawa kalian ke kantor polisi terdekat.”
Dal-rae terdiam beberapa detik,
lalu mengangguk perlahan. Tatapan matanya melembut, seolah menemukan kembali
tujuan hidupnya atau lebih tepatnya, kematiannya.
Aku:
“Sisanya… serahkan padaku. Aku akan menghadapi Raja Monster dan pasukannya di
sini.”
Dal-rae:
“Apa kamu gila?! Kamu sendiri? Kamu bisa terbunuh…”
Aku mengangkat kepala. Sekilas,
aura keemasan menyala di kedua mataku, cahaya hangat tapi mengguncang,
memancarkan kekuatan yang bukan berasal dari dunia ini. Dal-rae terdiam
membeku. Mulutnya sedikit terbuka, sorot matanya tidak lepas dari mataku.
Aku:
“Kamu sudah tau sekarang, Dal-rae. Aku bukan manusia biasa. Aku sudah
berhadapan dengan kematian berkali-kali. Setelah semua ini selesai, aku janji…
aku akan membongkar keberadaan makam para idol, actor, actress, dan talent lain
yang terbunuh oleh CEO ular hitam. Aku akan perjuangkan keadilan mereka. Nama
mereka akan dipulihkan. Keluarga mereka akan tau kebenarannya. Mereka semua…
akan dimakamkan dengan layak, termasuk dirimu Dal-rae.”
Dal-rae menangis. Air mata
transparan mengalir di wajahnya yang nyaris tidak berbentuk nyata. Tapi saat
itu, aku tau dia merasa hidup kembali. Ada alasan untuk tetap bertahan, meski
sebagai arwah.
Dal-rae:
“Terima kasih, Byeol… Terima kasih….”
Aku hanya tersenyum, tapi di balik
itu ada tanggung jawab besar yang akan mengubah segalanya. Dan kini,
pertempuran akan benar-benar dimulai. Dal-rae mulai menjalankan rencanaku. Dia
merasuki tubuh wanita yang terikat di kursi kayu itu, perlahan ekspresi wajah
istri CEO berubah, dari ketakutan dan lemah menjadi lebih tegas dan penuh
semangat. Aku mengamati, memastikan Dal-rae benar-benar menguasai tubuh istri
CEO. Saat aku yakin Dal-rae sudah hidup kembali dalam tubuh itu, aku melangkah
keluar dari persembunyian. Suara kakiku bergema di dalam ruangan luas itu.
Aku:
“Aku mencium bau busuk.” (Suaraku terdengar dingin dan mengejek). “Ternyata di
sini berkumpul sampah hidup.”
Semua mata beralih padaku, termasuk
empat orang yang memegang senapan laras panjang. Aku bisa merasakan pergerakan
kecil di tangan mereka, siap menembak kapan saja. Dengan kekuatan magisku, aku
fokuskan energi pada senapan mereka. Sekejap, senapan itu mengeluarkan suara
retak keras sebelum patah jadi dua dan jatuh ke lantai, tidak berguna. Aku
terus melangkah maju tanpa ragu. Tatapanku tertuju pada Dal-rae, yang kini
dalam tubuh istri CEO, sedang berusaha melepaskan ikatan tali yang mengikat
pergelangan tangannya. Dal-rae tampak kesulitan.
Tanpa menarik perhatian orang-orang
di sana, dengan gerakan halus aku melonggarkan tali itu sedikit, menggunakan
kekuatan magisku. Kami bertukar kode lewat tatapan mata, aku menangkap isyarat
dari Dal-rae, “Semua aman.”
Aku melanjutkan rencanaku. Aku
mendekati Su Gyeom yang masih berlutut. Dengan lembut, aku meraih bahunya
membantunya berdiri, dan mengalirkan kekuatan magis ke dalam tubuhnya, untuk
menghapus tattoo bulgae. Rasa hangat berdesir di sepanjang tulangnya saat
tattoo bulgae di tubuhnya mulai memudar dan menghilang. Tattoo itu sangat
berbahaya jika dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, seperti
ayahnya.
Aku:
“Bawa mamamu pergi. Jika kamu ingin menyelamatkan hidup kalian berdua, aku akan
menarik perhatian ayahmu dan menahan anak buahnya di sini.” (Berbisik).
Awalnya dia menggeleng dan menatap
ayahnya penuh ketakutan. Aku mengangguk meyakinkan, menepuk bahunya sekali
sebagai tanda memberi semangat. Akhirnya dia mengerti, tatapannya beralih ke
mamanya, sumber kekuatan dan harapannya selama ini.
Aku:
“Tunggu aba-abuku. Saat aku bilang ‘lari!’, bawa mamamu lari dari sini secepat
mungkin. Mengerti?” (Kembali berbisik).
Dia mengangguk mantap. Aku mundur
beberapa langkah, siap untuk menghadapi ledakan yang akan terjadi.
CEO
Ular Hitam: “Siapa kamu? Berani sekali datang ke markasku!” (Menatapku tajam
dan bertanya dengan suara penuh amarah).
Aku:
“Aku dewi kematianmu.” (Kataku sambil tertawa dingin). “Aku akan menggali
lubang pemakaman untukmu, dan membuatmu merasakan sakit seribu kali lebih
menyakitkan dari penyiksaan yang pernah kamu berikan pada korbanmu!”
Mata CEO ular hitam membara dengan
kemarahan dan ketakutan. Dia terkejut dan terancam oleh perkataanku yang tau
tentang kebusukannya.
CEO
Ular Hitam: “Serang dia!” (Perintahnya kepada anak buahnya).
Pertarungan pun pecah. Aku
melepaskan kekuatan penuh, melawan mereka dengan gerakan lincah dan sihir yang
mematikan. Sambil bertarung, aku berteriak dengan suara lantang, “Lari
sekarang, Su Gyeom!”. Dia segera menarik tangan mamanya, berlari secepat mungkin
ke pintu keluar. Melihat itu, CEO ular hitam memerintahkan beberapa anak
buahnya mengejar mereka. Aku pun terbang melayang, mendarat tepat di depan para
pengejar, membentengi jalan keluar mereka.
Ruangan luas itu mendadak menjadi
medan pertempuran sengit. Aku berdiri di tengah, dikelilingi lima puluh
pengawal yang masing-masing bersenjata lengkap dan wajah mereka memancarkan
niat membunuh. Mereka bergerak bersamaan, seperti gelombang yang siap menenggelamkan
siapa saja yang berdiri di hadapan mereka.
Serangan pertama datang dalam
formasi berkelompok. Aku menghindar dengan lincah, melompat mundur, lalu
melancarkan serangan balik cepat. Pukulan tangan terbuka mengarah ke rahang
seorang pria bertubuh besar, membuatnya terjungkal dengan suara benturan keras.
Tendangan rendah menyapu kaki seorang lainnya, menjatuhkannya tanpa ampun.
Gerakanku secepat bayangan, setiap
tendangan, pukulan, dan sapuan mengalir seperti tarian maut. Kuda-kuda yang
kokoh, sapuan kaki yang presisi, dan pukulan yang menghantam titik vital. Salah
satu pengawal mencoba menyerang dengan pisau. Aku menghindar, menggunakan
tangan kosong meraih lengan yang melayangkan pisau itu, lalu dengan satu
putaran pergelangan tangan, pisau itu terlempar jauh. Sebuah pukulan telapak
tangan membuyarkan keseimbangan lawan, aku teruskan dengan siku keras ke tulang
rusuknya.
Dalam sesekali kesempatan, aku
menyisipkan sedikit kekuatan magis. Sekilas kilatan energi kuning keemasan dari
mataku membuat beberapa lawan terpaku, dan ketika aku menyapu tangan ke udara,
angin kencang kecil menghantam mereka, membuat beberapa pengawal kehilangan
keseimbangan. Serangan bertubi-tubi datang dari berbagai arah, membuatku harus
terus bergerak dan menghindar, kadang terdesak hingga ke ujung stamina. Lima
puluh lawan, satu demi satu, mulai terjatuh.
Nafasku menjadi berat. Keringat
membasahi dahi dan punggung. Aku menyeka darah yang mengalir dari hidung,
menetes ke lantai berdebu. Ini pertama kalinya aku mengalami mimisan dalam
pertarungan. Aku berdiri di tengah para pengawal yang pingsan, tubuhku berguncang
sedikit karena kelelahan. “Apa kekuatanku benar-benar melemah sekarang?”, aku
bertanya pelan dalam hati. Tubuhku yang selama ini ku kira tidak terkalahkan,
kini mulai menunjukkan batasnya. Namun tekadku masih membara, ini belum
berakhir.
Sementara aku bertahan dengan nafas
memburu dan tubuh bergetar karena terkuras tenaga. Di luar markas, pelarian
yang ku rencanakan mulai membuahkan hasil. Su Gyeom dan Dal-rae yang kini
sepenuhnya mengendalikan tubuh istri CEO, berlari menyusuri jalan setapak sepi
yang mengarah ke jalan raya. Nafas mereka terengah, langkah mereka terseret
oleh rasa takut, namun tidak ada yang bisa menghentikan keinginan mereka untuk
bebas.
Hari semakin gelap. “Taxi!”, seru
Su Gyeom ketika melihat cahaya lampu kuning di kejauhan. Sebuah taxi menepi di
pinggir jalan. Mereka mempercepat langkah, jantung berdentum keras di dada.
Dal-rae mendekati pengemudi, sedikit membungkuk melalui jendela, bertanya
dengan suara yang berusaha tetap tenang meski masih dalam tubuh orang lain.
Dal-rae:
“Apa benar ini taxi atas nama Byeol?”
Sopir taxi mengangguk. “Benar,
nona. Saya diminta menunggu di sini.”, tanpa buang waktu, mereka segera masuk
ke dalam taxi. Su Gyeom mendekap mamanya erat, seakan tidak ingin kehilangannya
lagi. Taxi pun melaju cepat, membelah jalan malam menuju kantor polisi tempat
kebenaran akan akhirnya disuarakan.
Di dalam markas, aku menegakkan
tubuh walau nafasku belum stabil. Saat aku hendak memusatkan energi kembali,
mataku menangkap sesuatu, sebuah kilau hitam pekat di jari CEO ular hitam.
Sebuah cincin batu hitam menghias tangannya, memancarkan aura tidak wajar. Aku
menyipitkan mata. Ada sesuatu yang mengganggu. Dari cincin itu, aku merasakan
jejak energi magis yang tidak asing, energi gelap, tetapi tidak sepenuhnya
hidup. Ketika dia mulai maju dengan langkah berat, niat membunuhnya menebal
seperti kabut, aku tau cincin itu bukan sekadar perhiasan.
Energinya tidak lagi utuh, seperti
cangkang kosong yang pernah ditempati sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Aku
menduga cincin itu pernah menjadi penghubung antara CEO itu dan roh kegelapan.
Kini, roh itu telah sirna, tapi energinya masih tersisa, cukup untuk
menyulitkanku yang kini sudah setengah kehabisan tenaga.
Dia menyerang lebih agresif.
Gelombang energi hitam keluar dari tubuhnya setiap kali dia mengayunkan tangan.
Aku menghindar, lalu membalas dengan gerakan bela diri cepat, satu tendangan
berputar mengenai bahunya, tapi dia bertahan. Cincin itu mengilap gelap saat
dia mengayunkan pukulan bertubi, seolah menyerap sebagian dampak dari
seranganku.
Pertarungan kami berubah menjadi
duel energi dan teknik, aku menggunakan kekuatan terakhirku untuk menahan
gelombang magisnya, menyerang dengan kombinasi sihir dan bela diri. Setiap
pukulan harus tepat sasaran, setiap gerakan harus hemat tenaga. Hingga akhirnya
aku berhasil menyalurkan energi langsung ke arah cincin itu, satu hantaman
telapak tangan dengan seluruh niat penghancuran. Batu hitam di jari CEO itu
retak, ‘Craaaack!’. Cincin itu pecah jadi pecahan kecil dan hancur menjadi abu.
CEO ular hitam membelalak, tubuhnya
gemetar hebat, lalu batuk darah, dia ambruk, kekuatannya lenyap seiring
hancurnya batu hitamnya. Pertarungan telah berakhir. Tidak lama, suara sirene
polisi mendekat, bergema dari arah luar markas. Su Gyeom sudah bersaksi. Polisi
masuk bersama tim forensik, mengamankan lokasi dan mulai menggali kebenaran,
termasuk soal pemakaman tanpa nisan di belakang gedung itu.
Wartawan berdatangan. Kilatan
kamera memenuhi udara. Dunia luar akhirnya tau. Aku menyelinap pergi dari
tempat itu, diam-diam. Di lahan kosong yang kini mulai dibongkar, aku melihat
Dal-rae. Dia sudah keluar dari tubuh istri CEO, dia menoleh ke arahku, melambaikan
tangan, tersenyum, lalu membungkuk memberi hormat. Dia berdiri di samping salah
satu makam yang sedang digali, di situ makamnya selama ini. Dan kini, dia
akhirnya bisa pergi dengan tenang.
Dari arah lain, para pelaku
kejahatan digiring masuk ke mobil tahanan. Wajah mereka penuh penyesalan dan
ketakutan. Aku tersenyum lega, “Sudah waktunya pulang”, ucapku lirih. Aku
berteleportasi kembali ke rumah sakit. Saat kaki ku menapak di koridor dekat
ICU, tubuhku lemas, tidak sanggup menopang diri sendiri. Dong Min dan Ling Ling
sontak menoleh, matanya melebar melihatku.
Dong
Min: “Kamu terluka? Kamu tidak apa-apa?” (Tanyanya cemas, segera menangkap
tubuhku sebelum aku terjatuh).
Ling
Ling: “Dari mana saja kamu seharian?” (Menggenggam tanganku).
Mereka membantuku duduk di kursi
tunggu. Dong Min memintaku bersandar di bahunya. “Istirahatlah.”, ucapnya
lembut. Aku menurutinya. Malam mendekap dengan sunyi. Aku memejamkan mata, dan
untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai aku bisa tertidur, meski hanya
sebentar.
Pagi telah tiba dengan suasana yang
jauh dari kata tenang. Aku, Dong Min, dan Ling Ling tertidur lelap setelah
malam yang melelahkan, tapi suara langkah tergesa-gesa dan bisikan panik dari
tim medis segera membangunkan kami. Sorotan lampu-lampu ruang rumah sakit
menyala terang, dan suara sepatu beradu di koridor menuju ruang ICU membuat
jantung kami berdetak lebih cepat. Aku membuka mata perlahan, merasakan
kegelisahan yang mendadak menyergap. “Apa yang terjadi?”, gumamku pelan.
Seorang dokter mendekat sambil membawa selembar surat dan wajahnya tampak
serius.
Dokter:
“Dokter bedah dari Paris sudah tiba, dan operasi harus segera dilakukan.”
(Sambil menyerahkan surat persetujuan yang harus aku tanda tangani agar Hwang
In bisa dioperasi).
Aku:
“Seharusnya yang menandatangani adalah orang tuanya.” (Menatap surat itu, ragu
mengangkat pena).
Tepat saat itu, Suk Ik datang
bersama istrinya. Tatapannya lembut namun penuh kekhawatiran saat dia
memandangku. Ada ketegangan yang tidak terucapkan, seolah dia ingin aku tau
bahwa dia tidak menyalahkan aku.
Suk
Ik: “Aku mengenal Hwang In dengan baik, dia anakku, dia laki-laki yang kuat.
Hwang In, akan segera berkumpul kembali dengan kita dalam keadaan sehat.”
(Memelukku, menepuk lembut punggungku).
Air mataku membasahi pipi, pelukan
itu menghangatkan hati, memberi kekuatan. Setelah itu, Suk Ik mengambil pena
dan menandatangani surat persetujuan di hadapanku, sementara istri Suk Ik
merentangkan tangannya ke arahku dan kami berdua saling berpelukan, saling
menguatkan dalam kesedihan dan harapan.
Dokter menjelaskan bahwa Hwang In
mengalami luka pada kantung selaput luar jantung, yang disebut Perikardium
dalam istilah medis. Tim medis telah melakukan langkah awal dengan mengeluarkan
peluru terlebih dahulu dan menempatkan Hwang In di ruang ICU. Pagi ini, operasi
besar baru akan dilakukan. Bersama tim medis rumah sakit dan dokter dari Paris,
mereka akan melakukan operasi Thoracotomy Darurat, prosedur yang berat dan
penuh risiko, membuka dada untuk mengakses jantung agar bisa menghentikan
perdarahan dan memperbaiki luka.
Dokter:
“Ini operasi besar dan mendesak, tapi itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan
nyawa Hwang In.”
Kami semua mengikuti tim medis yang
mendorong brankar tempat Hwang In terbaring. Suara roda logam yang menggesek
lantai koridor terdengar tajam di antara deru langkah cepat dan arahan perawat.
Dari ruang ICU menuju ruang operasi. Begitu Hwang In dibawa masuk, pintu
operasi menutup rapat di hadapan kami. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain
menunggu. Di luar ruang operasi, deretan kursi dingin dan cahaya lorong yang
terlalu terang hanya menambah rasa gelisah yang menggantung di udara seperti
kabut tipis yang menolak pergi.
Ponsel Ling Ling berdering. Dia
menyingkir beberapa langkah dari kami untuk menjawab panggilan. Suaranya tidak
terdengar jelas, namun ekspresinya berubah. Campuran keterkejutan dan
ketegangan membayang di wajahnya. Tidak lama, dia kembali dan menatap kami
sekilas.
Ling
Ling: “Aku harus pergi sebentar. Nanti aku kembali.”
Aku:
“Jaga dirimu.”
Ling Ling mengangguk dan melangkah
pergi. Aku memejamkan mata. Tubuhku tetap di kursi tunggu, tapi jiwaku
bergerak. Aku mengalirkan energi dalam diam, menerobos batas fisik pintu ruang
operasi. Dengan segenap kekuatan supranaturalku yang tersisa, aku menyalurkan
energi ke tubuh Hwang In. Sebuah doa tanpa suara, sebuah pelukan tanpa bentuk,
agar dia kuat, agar dia bertahan.
Sementara itu, di halaman rumah
sakit, Ling Ling tergesa masuk ke dalam taxi yang menunggunya. Jemarinya
menggenggam erat tas kecilnya, matanya menatap jalanan kota yang mulai ramai di
pagi hari. Di antara rasa rindu dan marah, hatinya bergolak. Rindu akan sosok
seorang ayah, namun marah saat mengingat masa kecilnya, saat dia hampir lenyap
karena niat jahat lelaki itu, dan ibunya terbunuh oleh ayah kandungnya sendiri.
Tidak lama, dia sampai di kantor
polisi. Di sana, dia melihat dua orang tua sedang duduk berbicara dengan
seorang polisi. Di samping mereka, seorang pengacara berdiri menunduk hormat
ketika melihat Ling Ling datang.
Pengacara:
“Nona Ling Ling? Mereka berdua adalah kakek dan nenek anda.”
Ling
Ling: “Kakek nenek?” (Mata Ling Ling membelalak, mereka rupanya keluarga dari
pihak ayah kandungnya).
“Ling Ling.”, ucap kakeknya lirih.
“Kami sudah lama mencarimu.”, ternyata ayah kandung Ling Ling adalah CEO dari
agensi Ular Hitam. Ling Ling tidak menyangka, kebenaran selama ini tersembunyi
begitu rapi. Tapi lebih mengejutkan lagi, kakek neneknya menyatakan niat mereka
untuk memberikan seluruh aset dan kekayaan sang ayah kepadanya.
“Kami yakin kamu bisa mengelola
semuanya dengan baik, dan melakukan bisnis bersih. Tidak seperti ayahmu.”, kata
sang nenek lembut namun tegas. Ling Ling hanya bisa terdiam.
Pengacara:
“Ayahmu punya anak dari istri keduanya. Namanya Su Gyeom, dia adikmu. Saat ini
sedang menjalani rehabilitasi, terkait obat terlarang. Istri kedua ayahmu
dirawat di rumah sakit yang sama dengan Hwang In. Salah satu korban penembakan,
di lapangan panahan, orang yang melindungimu. Tersangka dari penembakan itu
adalah Su Gyeom dan yang mendalanginya adalah ayahmu sendiri. Ayahmu berniat
menyingkirkanmu, karena takut suatu saat kamu merebuat semua harta kekayaannya.
Karena kakek nenekmu terus mencarimu, membuat ayahmu tidak senang, dia
berambisi menemukanmu lebih dulu sebelum kakek nenekmu menemukanmu.”
(Menjelaskan detailnya).
Degup jantung Ling Ling melambat.
Dunia terasa berputar lebih pelan. Beberapa jam kemudian, Ling Ling kembali ke
rumah sakit dan langsung mencari ruang perawatan istri kedua ayahnya. Saat
mereka bertemu, dua wanita itu hanya saling menatap dalam diam. Tidak ada kata
makian, tidak ada tuduhan. Hanya air mata yang perlahan turun dan pelukan yang
akhirnya menyatukan dua jiwa yang sama-sama lelah.
Di lorong depan ruang operasi,
tubuhku goyah. Pandanganku mengabur, dunia mendadak terasa jauh. Hidungku
mengeluarkan darah, dan tubuhku terhuyung seiring nafasku yang semakin pendek.
Dong
Min: “Byeol… ada apa dengan dirimu?! Byeol… bangun!”
Dong Min meraih tubuhku tepat saat
aku terjatuh, “PERAWAT! TOLONG!!”. Suk Ik dan istrinya langsung berdiri dari
kursi, wajah mereka berubah panik. Tapi Dong Min tidak menunggu. Dia
menggendongku dan berlari ke ruang IGD, memanggil dokter dan perawat di sepanjang
koridor. Sedangkan Suk Ik dan istrinya tetap di kursi tunggu ruang operasi,
menanti kabar dari dua orang yang kini berarti segalanya bagi mereka. Putra
mereka Hwang In, dan aku.
Dalam ketidaksadaranku, kesunyian
menyelimuti. Tidak ada suara, hanya ruang hampa serba putih yang membentang
tanpa ujung. Langkahku entah sejak kapan membawaku ke tengah kehampaan itu dan
di sana, berdiri sosok yang ku kenal… Mago.
Aura Mago berbeda kali ini, lebih
hangat, lebih damai. Di tangannya, dia menggenggam pil kehidupan abadi yang
kini tidak lagi bercahaya.
Mago:
“Kamu benar-benar seperti manusia sekarang. Kamu rela melakukan apa pun, demi
orang yang kamu cinta. Byeol bukan lagi dewa tanpa belas kasih.”
Mago menatapku lama, menggeleng
pelan. Senyumnya tipis, matanya seolah membaca seluruh isi hatiku. Nada
suaranya terdengar seperti menggoda, namun ada kebanggaan yang tidak
disembunyikan. Dia menghela nafas perlahan, kemudian menatap pil itu sekali
lagi.
Mago:
“Aku mengambil kembali ini. Benda yang selama lima ratus tahun ini… kutitipkan
padamu. Mulai sekarang, kamu akan menjadi manusia biasa.” (Masih menatapku,
seolah ada satu hal lagi yang belum selesai).
Mago:
“Tapi soal kemampuanmu melihat arwah… apakah kamu masih ingin memilikinya?”
Aku:
“Aku tidak ingin mata batinku tertutup.” (Mengangguk).
Mago:
“Baiklah, semoga setelah ini… kamu benar-benar menemukan kebahagiaan. Hidup…
menua bersama orang yang kamu cinta. Dan satu hal lagi, aku tau saat kamu
melawan CEO ular hitam dan semua anak buahnya, kamu tidak membunuh satu pun
dari mereka. Sebagai hadiahnya, aku akan memberi kesembuhan pada Hwang In. Kali
ini… kamu tidak perlu menukarnya dengan jiwa siapa pun. Aku bangga padamu,
Byeol.”
Cahaya putih perlahan menyilaukan
pandanganku. Suara Mago memudar, tubuhnya menghilang perlahan.
Satu
tahun telah berlalu…
Banyak hal berubah, namun
jejak-jejak masa lalu tetap membekas dalam cara yang tidak terlihat, seperti
angin yang hanya bisa dirasakan, bukan ditangkap. Ling Ling kini bukan lagi
manajer Jinju Beauty. Dia telah mengundurkan diri dan mendirikan agensinya sendiri,
‘SaeBit Entertainment’. Sae berarti baru, Bit berarti cahaya… dan benar, agensi
itu lahir sebagai sebuah harapan, sekaligus cahaya baru bagi para seniman muda
yang ingin tumbuh dalam jalur yang bersih dan jujur.
Posisi Ling Ling di Jinju Beauty
kini diisi oleh Dong Min. Bukan hanya menjadi manajer, dia juga mengembangkan
klub panahan yang dirintisnya sendiri. Klub itu berkembang pesat, sering tampil
di berbagai turnamen, dan diam-diam jadi tempat bagi anak-anak muda untuk
belajar tentang ketenangan, fokus, dan keberanian.
Hwang In tetap bersinar sebagai
actor. Televisi ramai membahas tentang kabar pertunangannya… dengan siapa lagi
kalau bukan denganku. Tahun ini, kami akan menikah. Dan aku? Aku masih menulis
novel. Masih jatuh cinta pada kata, pada cerita, pada hidup yang kini tidak
lagi dipenuhi misteri supranatural, tapi tetap sarat makna dan keajaiban kecil.
Siang itu, aku, Hwang In, dan Dong
Min duduk santai di sebuah cafe kecil di tengah kota. Di seberang jalan, sebuah
toko buku antik berdiri dengan tenang. Wajah etalasenya berdebu, tapi justru
itu yang memberi pesona. Dong Min menggoyang gelasnya pelan.
Dong
Min: “Sebenarnya… ada yang belum kalian tahu.”
Aku dan Hwang In menoleh.
Memperhatikan hal yang akan disampaikan oleh Dong Min.
Dong
Min: “Waktu itu, hari saat kita berangkat ke tempat panahan… saat fajar, Ha
Baek datang ke rumahmu di Namwon. Dia ketuk pintu, dan hanya menemuiku.”
(Menatapku). “Dia cerita semuanya. Tentang kalian ke masa lalu, soal Mawang,
soal pertempuran, dan… banyak hal lain. Ha Baek menunjukkan semuanya lewat
gelembung air besar. Serius, itu seperti menonton film kolosal di televisi,
cuma ini jauh terasa lebih nyata.”
Kami tertawa bersamaan. Tapi tawaku
terhenti, mataku terpaku pada toko buku antik di seberang jalan. Penjaga
tokonya… sekilas… mirip sekali dengan Xiao Yuer. Aku menyipitkan mata, mencoba
memastikan tapi sebelum aku bisa berdiri, suara riang menyapa kami. Ling Ling
datang. Dia tidak sendiri. Di sampingnya, seorang pria mengenakan jas berwarna
abu-abu muda, wajahnya tenang namun bersahaja. Wajah itu…
Aku:
“Dia mirip sekali dengan Daeho.” (Berbisik ke arah Hwang In)
Daeho adalah seorang anak pandai
besi yang aku temui di masa lalu. Dia juga menciptakan ramuan penawar racun
dari racun mematikan sekte kalajengking. Aku menduga, pria ini reinkarnasi
darinya.
Hwang
In: “Itu bukan kebetulan. Itu… takdir. Dan dia juga dokter yang mengoperasiku,
Byeol.” (Balas berbisik).
Melihat wajah pria itu seakan
membuka pintu lain dalam ingatanku. Ling Ling mengenalkan pria itu kepada kami.
Namanya dokter Han Mingi. Dokter lulusan Paris, pernah bertugas di sana, dan
kini kembali ke Korea, dokter Han Mingi ialah kekasih Ling Ling. Kami menyambut
keduanya dengan hangat. Duduk bersama, memesan makanan, bercanda dan juga
bercerita.
Setelah makan siang, semua
berpamitan. Dong Min kembali ke kantor Jinju Beauty, Ling Ling dan Han Mingi
berjalan berdampingan menuju tempat parkir. Mereka harus segera kembali ke
tempat kerja masing-masing karena jam makan siang telah usai. Aku dan Hwang In
tidak langsung pulang.
Aku:
“Mau mampir ke toko buku itu?”
Hwang In hanya mengangguk,
tersenyum tipis. Kami menyeberang jalan. Dari luar, toko itu tidak memiliki
keanehan, seperti toko buku pada umumnya. Tapi begitu pintu berderit terbuka,
udara berubah. Di dalamnya, ruangan terasa hangat dan aroma kayu tua bercampur
tinta kuno memenuhi udara. Rak-raknya tinggi, penuh buku berjilid kain, nuansa
khas Goryeo dipilih menjadi desain ruangan disana, dan di pojok ruangan.
Penjaga toko berdiri sambil merapikan rak buku di depannya. Dia menoleh, dan
saat melihat kami, bibirnya tersenyum nakal.
Xiao
Yuer: “Lama tidak bertemu… Yang Mulia.”
Aku dan Hwang In sama-sama
tertegun, tidak percaya. Dia menunjuk dua kursi kayu di dekat meja bundar
kecil. Mempersilahkan kami duduk, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang
sangat lama, tidak ada ancaman, tidak ada darah, tidak ada sihir, hanya ada saling
ungkapkan kerinduan.
Xiao
Yuer: “Mago memberiku kesempatan hidup sebagai manusia. Tapi aku sengaja tidak
langsung menemui kalian. Menunggu waktu yang tepat.”
Aku:
“Kamu tidak memikirkan betapa cemasnya aku?! Seharusnya kamu menemuiku lebih
awal!” (Mengomel).
Hwang
In: “Jangan memarahinya seperti itu, setidaknya sungguh melegakan, bisa melihat
Xiao Yuer lagi, dalam keadaan baik-baik saja.” (Mencubit pipiku).
Xiao
Yuer: “Biarlah dia mengomel, aku merindukan omelan darinya.” (Tertawa kecil).
Aku berdiri pelan dari kursiku, aku
tertarik pada rak-rak buku yang ada di sekitarku. Jemariku menyusuri
punggung-punggung buku itu. Judul-judul asing, buku filsafat, novel sejarah,
bahkan jurnal-jurnal kuno berjajar rapi. Tiba-tiba mataku terpaku pada satu
buku. Warna sampulnya kusam, tapi aku mengenal desain itu dengan sangat baik.
Jemariku menyentuhnya, novel lamaku, yang ku tulis bertahun-tahun lalu… saat
aku masih manusia setengah dewa.
Aku:
“Yuer, darimana kamu mendapat koleksi buku-buku lama seperti ini? Ini novel
lamaku.” (Tersenyum).
Xiao
Yuer: “Inilah ciri khas toko buku milikku. Aku justru menjual buku-buku lama
yang pernah best seller pada masanya.”
Dengan hati-hati aku menarik novel
itu. Sampulnya bergambar langit malam, dengan seberkas cahaya bintang di
tengahnya. Judulnya nyaris pudar, tapi tetap terbaca jelas olehku. Aku kembali
ke tempat duduk, meletakkan novel itu di meja bundar. Hwang In dan Xiao Yuer
menoleh ke arahku.
Aku:
“Novel ini berjudul ‘Dua Dunia’. Dulu, novel ini ku tulis saat aku masih
belajar memahami manusia, tapi belum bisa menjadi salah satunya. Dan dari
sinilah... aku akhirnya memilih nama Byeol sebagai nama penaku.”
Xiao
Yuer mengangguk pelan, seperti memahami lebih dari yang ku katakan. Tapi Hwang
In malah tertawa kecil.
Hwang
In: “Karena ada seorang pemuda yang duduk di bangku SMA, menderita leukemia.
Dia datang ke acara peluncuran novelmu. Duduk di kursi rodanya, minta tanda
tanganmu... lalu dia berkata, nama penamu sebaiknya Byeol. Karena tulisanmu
seperti cahaya bintang di tengah gelapnya hidupnya. Apa aku benar?” (Melirik ke
arahku).
Aku:
“Dari mana… kamu tau moment itu?” (Aku menoleh cepat padanya, wajahku jelas
terkejut).
Hwang In tersenyum samar, tidak
langsung menjawab. Tapi di matanya, ada ketenangan, seolah dia sudah menunggu
moment ini.
Hwang
In: “Karena aku ada di sana. Akulah pemuda itu, Hwang In adalah kehidupan
ketigaku. Setelah gugur sebagai Gongmin, aku bereinkarnasi menjadi pemuda
dengan sakit leukemia, tapi aku hidup singkat saat itu, penyakit itu
membunuhku. Dan barulah aku bereinkarnasi kembali menjadi Hwang In.” (Jelasnya,
sambil menggenggam tanganku).
Xiao
Yuer: “Takdir kalian... benar-benar melampaui cerita apa pun yang pernah ku
tau.” (Ucapnya lirih). “Dari langit yang muram oleh peperangan, sampai siang
cerah seperti ini, di mana kita bisa duduk bersama hanya untuk menikmati
waktu... Hwang In menempuh tiga kehidupan hanya untuk menemukan satu sama
lain.” (Menunduk). “Dan aku bersyukur… bisa menjadi bagian dari kisah itu.”
(Menatap kami bergantian, lalu tersenyum perlahan, matanya berkaca-kaca).
Di siang yang tenang itu, kami
bertiga duduk bersama, bekas pecahan waktu yang akhirnya menyatu dalam satu
titik yang sama. Dua dunia yang berbeda, dua masa yang saling bertaut, membawa
kami pada satu pilihan yang tidak perlu diragukan lagi… untuk tetap bersama,
menerima segala luka dan cerita, lalu melangkah maju dengan hati yang utuh.
Bukan tentang menghapus masa lalu, melainkan memeluknya sebagai bagian dari
diri, agar hari ini dan esok bisa benar-benar hidup, dalam damai dan cinta yang
tidak lekang oleh waktu. Di antara tawa dan pandangan yang mengerti, kami tau…
inilah akhir yang indah, permulaan baru yang kami pilih dengan sepenuh jiwa.
Tamat.
Maaf banget, tapi aku GAGAL MOVE ON. Gimana caranya lanjut hidup setelah baca ending sehangat ini?? 😭 Tolong thor, season dua plis! Pengen tau gimana pernikahan Byeol & Hwang In, terus… Xiao Yuer ngapain lagi di dunia modern. AKU BELUM SIAP PISAH 😩🙏
BalasHapusBisa nggak sih... jangan selesai dulu? 😭 Aku rela nunggu setahun buat season 2. Yang penting masih bisa lihat byeol, hwang in, dong min, xiao yuer. Dunia mereka terlalu indah buat ditinggalin...
BalasHapusIni bukan cuma ending yang bahagia. Ini penyembuhan. Cerita ini ngasih harapan bahwa luka bisa dijahit pelan2 jadi kebahagiaan. Aku senyum sambil berlinang air mata di akhir
BalasHapusGila, twist Hwang In itu mind-blowing! Tapi disampaikan dengan cara yang manis banget... bukan drama, tapi dalem. Dan Xiao Yuer kembali sebagai penjaga toko buku? I mean… poetic justice at its finest. MASTERPIECE
BalasHapusPlot twistnya nggak cuma bikin shock, tapi bikin aku diem sejenak, terus mundur scroll ke chapter-chapter sebelumnya buat nyari petunjuk. DAN TERNYATA SEMUANYA SUDAH ADA DI SANA 😭 Genius banget!
BalasHapusGila... author jago banget mindahin cerita dari dunia fantasi, ke realita, terus muter balik lagi ke momen penuh jawaban dan rasa. Twistnya tuh kayak ini bukan tentang 'siapa dia sebenarnya', tapi 'sejak kapan dia sudah ada di situ'. Dan itu… brilian banget
BalasHapusTwistnya bukan cuma bikin kaget, tapi juga bikin aku menghargai setiap detail kecil yang disisipin dari awal. Rasanya pengen baca ulang dari chapter 1 sambil cari kode rahasianya 😭
BalasHapusIni cerita bukan cuma soal cinta dan reinkarnasi, tapi juga tentang pilihan hidup yang bikin gue mewek. Author nulisnya keren banget, bikin gue ngerasa ikut hidup bareng mereka
BalasHapusGue pikir cerita biasa aja, tapi twistnya tuh bikin gue geleng2 kepala. Jadi semuanya nyambung banget, kayak puzzle yang akhirnya lengkap. Keren abis, jangan berhenti nulis, thor! Di tunggu karya berikutnya, wajib!!!
BalasHapusGue suka cara nyeritain masa lalu dan masa depan yang nyatu jadi satu, keren banget!
BalasHapusLing Ling ternyata anak CEO ular hitam! Gak nyangka banget, plot twist yang mantul! SUMPAH NGGAK PERNAH KEPIKIRAN BAKAL GITU, sungkem ke author. Menciptakan teori sedemikian rupa
BalasHapusIni baru cerita yang ngajarin buat baca pelan2 dan ga bisa langsung percaya sama yang kelihatan 🤣🤣🤣
BalasHapusUdh diduga enggak bakal bisa nebak, padahal cluenya tersebar rapi sejak awal. Respect buat author! 🤣
BalasHapusAuthor kayak ngajarin kita buat jeli sama detail kecil yang kita anggap remeh
BalasHapusGue pengen kasih standing ovation buat author yang nyusun plot serapi ini 👏
BalasHapusHabis baca chapter terakhir, be like cluenya kayak di depan mata tapi kepala gue kayak ditutupin kain haha
BalasHapusPlot twist di luar nalar tapi pinter, bikin cerita makin memorable!
BalasHapus