Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (22)
Siasat Dalam Balutan Sutra
Di tempat yang berbeda, ketegangan
pun terasa. Sama mencekamnya dengan apa yang dirasakan Xiao Yuer, Ha Baek, dan
dua puluh prajurit yang menyertai mereka. Kini mereka berdiri di hadapan sosok
legendaris dari bayang-bayang kegelapan. Seorang cenayang yang namanya dikenal
karena kelicikan, kepiawaian bela diri, dan penguasaan ilmu spiritual serta
supranatural yang melampaui batas manusia.
Sementara itu, jauh di dalam
istana, kegelisahan merayap diam-diam, tersembunyi di balik wajah-wajah yang
tenang. Di hati Raja, Putra Mahkota Gongmin, dan aku, bisikan bahaya tidak
henti berdengung. Kami tau, malam nanti bukan malam biasa, ada badai yang akan
menghantam istana, sebuah pemberontakan besar yang mengancam untuk perebutan
tahta.
Itulah sebabnya, keberangkatan
liburan keluarga kerajaan yang diatur oleh Raja dan dijadwalkan pagi ini,
sejatinya bukan sekadar perjalanan biasa. Melainkan siasat halus untuk
melindungi keluarga kerajaan dari gelombang pemberontakan yang akan segera mengguncang
istana.
Di balairung istana timur, aroma sup
abalon, bubur pinus, dan tea jujube menyatu dengan udara pagi yang lembut.
Matahari baru saja naik, sinarnya menembus kisi-kisi kayu cemara, menari di
atas lantai giok yang berkilau. Raja duduk di kursi utama yang berukir burung
phoenix, jubah kebesarannya berwarna merah anggur tua, lambang otoritas yang
tidak tergoyahkan.
Di sisi kanan Raja, Ratu tampak
menawan dengan balutan hanbok biru safir. Senyumnya manis, tatapannya penuh
perhatian, mengawasi meja makan dan para dayang yang sibuk melayani tanpa
suara. Ratu duduk dengan anggun di atas bangseok yang terbuat dari kain sutra
berkualitas tinggi, dihiasi dengan bordiran halus motif bunga teratai yang
elegan, melambangkan kemurnian dan kedamaian. Warna biru muda yang lembut
berpadu dengan benang perak yang membentuk pola halus di tepinya, menciptakan
kesan mewah tapi tidak berlebihan. Bangseok Ratu, ditempatkan di sisi yang
lebih rendah dari kursi utama Raja.
Bangseok adalah alas duduk
tradisional Korea, semacam bantal duduk berbentuk persegi atau persegi panjang
yang digunakan saat duduk di lantai, terutama di rumah-rumah tradisional dan
lingkungan istana. Di era Goryeo dan Joseon, bangseok sering dibuat dari kain
sutra, katun, atau brokat, dan diisi kapas atau bahan lembut lainnya. Untuk
keluarga kerajaan atau bangsawan, bangseok biasanya dihiasi dengan bordiran
mewah seperti bunga, burung, atau simbol kerajaan. Warna dan motifnya pun
disesuaikan dengan status orang yang menggunakannya.
Di seberang Raja dan Ratu, dua
selir kerajaan duduk di bangseok dengan posisi lebih rendah dari posisi
bangseok milik Ratu. Selir Yewon mengenakan hanbok hijau zamrud, dan Selir
Mokhwa mengenakan ungu plum muda. Warna yang cukup berkelas untuk mencerminkan
kehormatan mereka, namun tetap tidak melampaui kemegahan Ratu.
Tepat ketika salah satu dayang
menuangkan tea ke cangkir Ratu. Putra Mahkota dan aku berjalan beriringan
memasuki pintu balairung untuk bergabung. Putra Mahkota masuk dengan langkah
tenang, jubah paginya berwarna gading, bersulam naga perak kecil di bagian
dada. Aku mengikutinya dari belakang, mengenakan hanbok putih bersulam bunga
krisan perak. Rambutku diikat ke belakang dengan pita daenggi berwarna
lembayung, sementara helaian lainnya dibiarkan tergerai hingga punggung. Hiasan
rambut kecil berbentuk bunga seroja dari perak menghiasi kepala. Mata semua
orang di dalam balairung istana sejenak tertuju pada kami. Tatapan Ratu lah
yang paling terasa hangat, senyum lembut mengembang dan matanya memancarkan
kasih sayang yang mendalam.
Ratu:
“Akhirnya kalian datang.” (Bangkit sedikit dari duduknya, untuk menyambutku).
Aku:
“Hamba mohon maaf datang terlambat, Ibunda Ratu. Hamba telah menyantap sarapan
lebih dahulu di kediaman.” (Segera membungkuk hormat).
Ratu:
“Tidak apa… asalkan kamu makan dengan baik. Kesehatanmu jauh lebih penting.”
(Ratu menoleh ke arah dayang). “Bawa bangseok tambahan, aku ingin Putri Mahkota
duduk di dekatku.” (Titahnya kemudian).
Ratu ingin aku dan Putra Mahkota
duduk di sampingnya. Dayang segera bergegas melaksanakan titah Ratu, lalu
kembali beberapa saat kemudian sambil membawa bangseok yang diminta oleh Ratu.
Dayang meletakkannya hati-hati di samping Ratu, lalu mundur selangkah sambil
membungkuk.
Selir Yewon dan Selir Mokhwa
sama-sama menoleh ke arahku ketika aku tiba. Dalam satu gerakan yang nyaris
serempak, mereka menundukkan kepala pelan, tangan kanan terangkat menyentuh
dada, isyarat sederhana yang mencerminkan rasa hormat dengan tulus. Aku membalasnya
dengan anggukan kecil dan sedikit membungkukkan tubuhku, sebagai tanda bahwa
aku pun menghormati mereka dengan sepenuh hati. Rasanya, meskipun kita tidak
sering bertemu, ada kedekatan yang tercipta di antara kami. Selayaknya keluarga
yang saling mengerti, meski tanpa banyak kata. Perlahan aku duduk di samping
Ratu, Ratu masih menatapku dengan senyum hangat yang belum juga reda.
Ratu:
“Pita daenggimu cocok sekali dengan rona wajahmu, menantuku benar-benar
cantik.” (Memandangi rambutku).
Putra Mahkota ikut duduk di
sampingku, alisnya sedikit terangkat saat menoleh ke arah Ratu, lalu kepadaku.
Gongmin:
“Tampaknya, kini duduk di sisi istriku pun memerlukan izin lebih dulu.” (Dengan
sikap manjanya).
Ratu:
“Kalau begitu, lain kali beri salam yang lebih manis. Mungkin Ibundamu ini akan
lebih memperhatikan.” (Melirik putranya sambil tersenyum).
Tepat setelah itu, dayang yang
sebelumnya keluar, kini mendekat dengan langkah tenang. Di tangannya ada nampan
berisi 4 cangkir tea. Dayang berhenti di depan meja, meletakkan tea untuk Selir
Yewon, Selir Mokhwa, Putra Mahkota dan aku. Namun untukku, dia membawa cangkir
yang berbeda, lebih kecil, dengan aroma yang lebih tajam, mengundang rasa
penasaran. “Tea ini khusus untuk Yang Mulia Putri Mahkota, seperti yang telah
diperintahkan oleh Yang Mulia Ratu.”, ucap sang dayang.
Ratu tersenyum dan mengangguk
sebagai isyarat membenarkan bahwa Ratu lah yang meminta tea ini dibuat khusus
untukku. Tea dari campuran rempah-rempah alami, ramuan yang dipercaya baik
untuk kesehatan wanita, terutama dalam program hamil. Setelah meletakkan tea
dengan hati-hati, dayang itu menundukkan kepala dengan sopan, lalu mundur
perlahan, meninggalkan ruangan.
Gongmin:
“Ah, tea istimewa ya? Kamu benar-benar dimanjakan. Aku telah menyadari beberapa
hal pagi ini, tea mu lebih harum, bantal dudukmu lebih empuk, dan sambutanmu
lebih hangat. Aku menduga… aku sudah kehilangan tahtaku di istanaku sendiri.”
(Tersenyum simpul, lalu menatapku).
Aku:
“Tenang saja, Yang Mulia. Aku akan berbagi tahtaku denganmu.” (Tersenyum
menahan tawa, sambil menggenggam tangan Putra Mahkota).
Raja:
“Itulah sebabnya memilih istri dengan hati yang baik lebih penting dari sekadar
kecantikan. Untungnya kamu tidak salah pilih, Putra Mahkota.” (Raja ikut
menyahut dengan nada tenang tapi penuh humor seorang ayah).
Gongmin:
“Hamba belajar dari ayahanda… yang berhasil dikelilingi oleh
perempuan-perempuan berhati baik.” (mengangguk, menoleh ke arah Raja dengan
tersenyum).
Selir Yewon dan Selir Mokhwa
tertawa kecil, sementara Ratu hanya menepuk punggung tangan Putra Mahkota penuh
kasih.
Aku:
“Ibunda Ratu, jika hamba boleh tau... tea ini, ramuan apa yang digunakan?” (Aku
memandang cangkir tea keramik berpola bunga teratai itu sejenak sebelum
mengangkatnya pelan. Aroma khas yang lembut dan sedikit pahit menyentuh
hidungku. Perlahan aku menoleh pada Ratu).
Ratu:
“Itu tea baekhwacha, diramu dari bunga peony putih, daun raspberry, dan sedikit
akar angelica. Hangat di perut, menenangkan pikiran… dan membantu memperkuat
rahim.” (Tersenyum, menoleh padaku dengan sorot mata lembut). “Ibunda ingin
memastikan kamu selalu sehat, terutama jika nanti diberi anugerah keturunan.”
(Pandangan matanya berpindah ke Putra Mahkota sejenak, lalu kembali padaku).
Gongmin:
“Kalau begitu, hamba akan pastikan mulai malam ini, tea itu tidak sia-sia.”
(Tangannya meraih cangkirnya sendiri, namun matanya tertuju padaku, nakal dan
penuh semangat). Hamba akan lebih giat menjalankan tugas sebagai suami.”
Ratu:
“Baiklah, jika demikian. Biar ibunda juga siapkan ramuan penguat untukmu, Putra
Mahkota.” (Tertawa kecil, menutup mulutnya dengan ujung lengan hanbok).
Putra
Mahkota yang baru saja menyeruput tea-nya langsung terbatuk, tersedak karena
tidak menyangka ucapan Ratu begitu lugas. Putra Mahkota buru-buru meletakkan
cangkir, satu tangan menutup mulut, sementara bahunya sedikit terguncang.
Gongmin:
“Khhk… uhuk! Ibunda…”
Aku segera menepuk punggung Putra
Mahkota pelan sambil menahan tawa. Selir Yewon dan Selir Mokhwa menutup mulut
mereka dengan tangan, tubuh mereka bergetar kecil menahan tawa. Para dayang
yang berdiri di dekat dinding pun saling berpandangan, pipi mereka memerah ikut
tersipu mendengar percakapan kami. Ratu hanya menggelengkan kepala, senyum puas
menghiasi wajahnya. Raja yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, sebuah
senyum tipis muncul di bibirnya, namun semakin lama, Raja tidak sanggup lagi
menahan tawa. Suara tawa itu menular, mengisi balairung dengan gelak tawa yang
hangat.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar
dari arah pintu balairung. Seorang pemuda muncul, menarik perhatian seketika.
Choe Yeong berdiri tegap di ambang pintu, tubuhnya dibalut jubah biru tua yang
menjuntai hingga betis. Di atas jubah tersebut, rompi pelindung yang terbuat
dari kulit, berwarna hitam tampak rapi dikenakan, dihiasi pola awan keemasan di
bahu, sebuah simbol yang menandakan statusnya sebagai pengawal istana yang
sangat dipercaya. Sabuk kulit kecoklatan melingkar di pinggangnya, tempat
sebilah pedang tersemat dengan sempurna di sisi kiri. Gesper logam berbentuk
burung elang berkilat saat terkena sinar matahari pagi. Celana hitam longgar
memudahkannya bergerak lincah, berpadu dengan sepatu bot kulit yang kokoh dan
terawat, menggambarkan kesiapan yang selalu terjaga.
Wajahnya tampak tenang, namun sorot
matanya tetap tajam dan jernih, mencerminkan kewaspadaan yang tidak pernah
padam. Begitu tiba di tengah balairung, Choe Yeong berhenti sejenak,
menundukkan kepala memberi hormat. Penghormatannya ditujukan pada Raja, Ratu,
Putra Mahkota, aku, dan kedua Selir Raja, sebelum menyampaikan laporannya.
Suasana balairung yang sebelumnya
dipenuhi tawa kini berubah menjadi hening, menyisakan atmosfer khidmat yang
menghentikan sejenak percakapan para keluarga kerajaan. Keheningan itu terasa
menyelimuti balairung, menambah kesan serius pada moment yang baru saja
terjadi.
Choe
Yeong: “Hormat hamba, Yang Mulia!”
Gongmin:
“Ada kabar apa, Choe Yeong?” (Melirik sekilas, lalu mengangguk pelan).
Choe
Yeong: “Tandu kerajaan telah siap menunggu di halaman istana, Yang Mulia. Para
pengawal juga telah bersiap. Kami tinggal menunggu perintah untuk berangkat.”
Gongmin:
“Baik, kami akan segera bersiap.”
Raja hanya mengangguk. Ratu menepuk
punggung tanganku, isyarat bahwa waktunya segera tiba. Choe Yeong menunduk
sekali lagi, kemudian mundur perlahan, hingga menghilang kembali ke lorong
samping balairung.
Ratu bangkit perlahan dari tempat
duduknya, jemarinya merapikan lengan hanboknya sebelum menoleh ke arahku dan
kedua selir.
Ratu:
“Kita harus bersiap. Pastikan barang bawaan tidak ada yang tertinggal.”
(Suaranya tenang, tapi membawa ketegasan lembut seorang ibu istana yang sudah
terbiasa memimpin).
Selir Yewon dan Selir Mokhwa segera
berdiri dan membenarkan lipatan hanbok mereka. Aku menyusul bangkit, bersiap
mengikuti langkah Ratu. Kami menghampiri Raja lebih dulu. Ratu menundukkan
kepala, diikuti oleh kami bertiga.
Ratu:
“Hamba pamit, Yang Mulia. Kami akan memeriksa perlengkapan dan memastikan
segalanya siap sebelum tandu berangkat.”
Raja mengangguk perlahan. Senyum
kecil muncul di sudut bibirnya, menyiratkan restu tanpa banyak kata. Kami lalu
berpaling pada Putra Mahkota. Aku memberi hormat dengan anggukan kecil, dan
saat itu… Putra Mahkota menatapku.
Gongmin:
“Jangan terlalu lelah, sayang. Aku tidak tenang jika kamu kelelahan bahkan
sebelum perjalanan dimulai.”
Aku:
“Hamba akan berhati-hati... Yang Mulia.” (Suara kecilku nyaris tenggelam oleh
degup jantung sendiri).
Gongmin:
“Ibunda, jaga Noguk untukku.” (Menatap Ratu).
Ratu tersenyum lembut, tatapannya
penuh kasih. Ratu mengangguk, seolah mengerti betapa besar perhatian Putra
Mahkota pada diriku. Rona hangat menjalari pipiku saat aku mengikuti langkah
Ratu meninggalkan balairung, hatiku masih menyimpan kehangatan tatapan suami
tercinta.
Kami melangkah keluar dari
balairung, hanbok-hanbok sutra kami berdesir pelan di antara langkah dayang
yang mengikuti rapi di belakang. Selir Yewon dan Selir Mokhwa berada sedikit di
belakangku, sementara Ratu memimpin di depan, membimbing arah kami menuju
pavilion dalam tempat kami bersiap.
Begitu pintu balairung tertutup di
belakang kami, suasana di dalam pun berubah. Keheningan yang tertinggal, seakan
menyadari waktu yang terus menyempit.
Gongmin:
“Ayahanda…” (Bangkit dari duduknya, mendekati Raja).
Raja:
“Seberapa jauh kesiapanmu menghadapi malam ini?” (Menoleh ke arah Putra
Mahkota).
Gongmin:
“Pasukan pengawal istana bagian dalam telah bersiaga penuh. Choe Yeong memimpin
lima puluh prajurit terbaik untuk berjaga di gerbang selatan, titik yang paling
rawan. Di barak utara, aku sudah mengatur agar penjagaan bergantian secara
berkala, jadi tidak ada prajurit yang kelelahan.”
Raja:
“Bagaimana dengan komunikasi antar pos? Mereka tidak akan datang dari satu
arah.”
Gongmin:
“Setiap pos telah dilengkapi sinyal lentera dan utusan berkuda cepat. Satu
ledakan bunyi dari sisi timur, maka selatan dan barat akan tau dalam hitungan
detik. Hamba juga menempatkan sepuluh pemanah di atap balairung, tersembunyi.
Mereka akan jadi mata pertama kita bila ada gerakan mencurigakan.”
Raja:
“Dan jika malam ini bukan sekadar serangan kecil?” (Menghela nafas perlahan,
lalu menatap Putra Mahkota lama).
Gongmin:
“Hamba akan berada di garis depan, ayahanda. Istana ini… dan orang-orang yang
kita cintai, akan kulindungi sepenuh jiwa.” (Menatap Raja dengan sorot mata
yang tidak goyah).
Raja menatap Putra Mahkota dalam
diam sejenak, seolah menimbang antara kebanggaan dan kekhawatiran. Wajahnya
tetap tenang, tapi matanya menyimpan bayang perasaan yang lebih dalam.
Tangannya terangkat pelan, menepuk bahu putranya dengan penuh arti.
Raja:
“Keberanianmu adalah milik seorang raja sejati, Putra Mahkota. Tapi jangan
lupakan… nyawa seorang penerus lebih berharga dari medan manapun. Jangan
gegabah, negeri ini membutuhkanmu, bukan hanya hari ini, tapi untuk waktu yang
lama.”
Gongmin:
“Ayahanda, hamba mengerti. Hamba akan menjaga diri, bukan hanya untuk diri
sendiri, tetapi untuk kebaikan negeri ini di masa depan. Hamba akan bertarung
dengan segenap kekuatan, dan membawa kemenangan.”
Senyum tipis menghiasi bibir Putra
Mahkota, dia merasakan kehangatan seorang ayah dari kecemasan Raja. Dia tau
betul betapa besar tanggung jawab yang dia pikul sebagai penerus tahta, dan
meski peran itu begitu berat, perhatian dan dukungan ayahnya memberinya
kekuatan.
Waktu berlalu, sinar matahari
semakin terik, menandakan siang telah tiba. Halaman istana dipenuhi oleh para
pengawal, dayang, dan anggota keluarga kerajaan yang sudah bersiap untuk
perjalanan panjang. Tandu yang dihias megah, siap mengantarkan keluarga kerajaan
menuju kediaman keluargaku.
Raja yang berdiri di tengah
halaman, mengenakan pakaian kebesarannya yang mengesankan kewibawaan, menatap
ke arahku dan Putra Mahkota. Sebelum naik ke dalam tandu, matanya memberi
isyarat lewat anggukan halus, seolah memberi tau agar semua tetap berjalan
sebagaimana mestinya, tanpa ada yang mencurigakan. Hanya sebuah perjalanan
keluarga kerajaan yang tampaknya biasa saja di mata para pengawal dan dayang
yang berdiri mengelilingi. Bahkan di mata Ratu, Selir Yewon, dan Selir Mokhwa
juga.
Aku dan Putra Mahkota saling
berpandangan, sebelum melangkah bersama menuju tandu yang sudah menunggu.
Suasana terasa lebih intim di dalam tandu yang besar, hanya ada kami berdua.
Putra Mahkota memandangku, matanya penuh ketenangan meski aku tau betul betapa
beratnya beban pada bahunya.
Gongmin:
“Byeol... kita akan melewati ini bersama. Tidak peduli apa yang terjadi nanti,
aku akan selalu ada di sisimu.”
Aku menatap matanya, dengan lembut,
aku menggenggam tangannya, merasakan kehangatannya yang memberi ketenangan di
tengah kecemasan ini.
Aku:
“Hwang In, aku percaya padamu, dan aku akan selalu mendukungmu.”
Putra Mahkota menarikku ke dalam
pelukannya, dengan lembut mencium keningku. Rasanya, semua beban dan ketegangan
yang ada di luar sana, seolah terlupakan oleh kehangatan yang datang dari
sentuhan ini.
Gongmin:
“Aku mencintaimu, Byeol. Tidak akan ada yang memisahkan kita.”
Aku:
“Aku juga mencintaimu, Hwang In. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Perlahan, Putra Mahkota memiringkan
wajahku dengan ujung jarinya. Tatapan matanya dalam dan penuh kasih, nyaris
membuatku lupa bahwa dunia di luar tandu tengah menanti gejolak besar.
Tanpa berkata lagi, dia mendekat.
Nafasnya hangat di kulitku. Bibirnya menyentuh milikku. Tidak terburu-buru,
ciuman itu seperti bisikan, menenangkan, meneguhkan. Gerakan bibirnya menyapu
lembut, penuh rasa. Dia mendekapku sedikit lebih dekat, jemarinya kini
merengkuh belakang leherku. Aku membalas, tidak kalah lembut, membiarkan bibir
kami saling melumat dalam irama yang perlahan namun penuh makna. Nafas kami
memburu, tapi tidak kasar, ada keintiman yang tumbuh dari rasa saling percaya.
Ketika bibir kami akhirnya
berpisah, matanya masih terpejam sejenak sebelum membukanya kembali dan
menatapku dengan pandangan yang lebih tenang. Aku menyandarkan kepala di
dadanya, mendengarkan detak jantungnya yang mengiringi langkah tandu. Dan
begitulah, dalam dekapan dan ciuman kami untuk saling menguatkan.
Bersambung…
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Postingan Populer
KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (2)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
⭐⭐⭐⭐⭐
BalasHapus⭐⭐⭐⭐⭐
BalasHapus⭐⭐⭐⭐⭐
BalasHapus⭐⭐⭐⭐⭐
BalasHapus⭐⭐⭐⭐⭐
BalasHapus⭐⭐⭐⭐⭐
BalasHapusI love it sooooo much, kerasa banget vibes hangatnya anggota kerajaan di chapter ini. Meski tersembunyi ketegangan yang dibalut ketenangan
BalasHapus⭐⭐⭐⭐⭐
BalasHapusMenjelang tamat, semua kubu bersatu. Semoga byeol dan hwang in dapat akhir yang bahagia 😊
BalasHapusmakin deg2 an, manis scenenya tapi feelnya ngajak readers buat cemas bareng2
BalasHapusSempat ketinggalan 3 chapter jadinya marathon. Saking serunya sampai nggak kerasa bersambung, makin penasaran
BalasHapus⭐⭐⭐⭐⭐
gue penasaran akhirnya bakal gimana, tapi disisi lain kalo ingat sisa 3 chapter lagi, agak berat berpisah sama krbb. yang biasa gue tungguin updatenya, akan segera berakhir 🙃
BalasHapusapakah di akhir cerita akan ada plot twist lagi? soalnya masih ada yang ganjal. itu di chapter 20 disebutkan kalo jendral guozhi died? diednya kenapa? 😌
BalasHapusnovel yang ngajak main tebak2 an dari awal sampai akhir 😀
⭐⭐⭐⭐⭐
BalasHapus