Langsung ke konten utama

Unggulan

KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (25 - CHAPTER TERAKHIR)

Dua Masa Satu Pilihan   Suara burung menyelinap lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Cuitannya berkicau riang di kejauhan, seperti bisikan lembut dari dunia yang lama ku tinggalkan, memanggilku kembali dengan hangat. Aku membuka mata perlahan. Bukan halaman istana yang sunyi penuh reruntuhan dan sisa pertempuran, bukan langit kelabu Goryeo yang muram. Yang ku lihat pertama kali adalah langit-langit kamarku, terbuat dari panel kayu berwarna cokelat madu dengan ukiran tipis yang rapi, dipadu dengan cahaya lembut dari lampu tersembunyi. Pancaran cahayanya membalut ruangan dalam keheningan yang menenangkan.  Jantungku masih berdegup kencang, keringat dingin membasahi pelipis. Aku mengenakan piyama tidurku, kain lembut yang begitu asing jika dibandingkan dengan hanbok yang biasa ku pakai selama di masa lalu. Seketika aku terduduk di atas ranjang, nafasku terengah. Aku bisa merasakan luka, perih, air mata, dan kehangatan terakhir dari Xiao Yuer di pangkuanku. Tanganku gem...

KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (22)



Siasat Dalam Balutan Sutra

Di tempat yang berbeda, ketegangan pun terasa. Sama mencekamnya dengan apa yang dirasakan Xiao Yuer, Ha Baek, dan dua puluh prajurit yang menyertai mereka. Kini mereka berdiri di hadapan sosok legendaris dari bayang-bayang kegelapan. Seorang cenayang yang namanya dikenal karena kelicikan, kepiawaian bela diri, dan penguasaan ilmu spiritual serta supranatural yang melampaui batas manusia.

Sementara itu, jauh di dalam istana, kegelisahan merayap diam-diam, tersembunyi di balik wajah-wajah yang tenang. Di hati Raja, Putra Mahkota Gongmin, dan aku, bisikan bahaya tidak henti berdengung. Kami tau, malam nanti bukan malam biasa, ada badai yang akan menghantam istana, sebuah pemberontakan besar yang mengancam untuk perebutan tahta.

Itulah sebabnya, keberangkatan liburan keluarga kerajaan yang diatur oleh Raja dan dijadwalkan pagi ini, sejatinya bukan sekadar perjalanan biasa. Melainkan siasat halus untuk melindungi keluarga kerajaan dari gelombang pemberontakan yang akan segera mengguncang istana.

            Di balairung istana timur, aroma sup abalon, bubur pinus, dan tea jujube menyatu dengan udara pagi yang lembut. Matahari baru saja naik, sinarnya menembus kisi-kisi kayu cemara, menari di atas lantai giok yang berkilau. Raja duduk di kursi utama yang berukir burung phoenix, jubah kebesarannya berwarna merah anggur tua, lambang otoritas yang tidak tergoyahkan.

            Di sisi kanan Raja, Ratu tampak menawan dengan balutan hanbok biru safir. Senyumnya manis, tatapannya penuh perhatian, mengawasi meja makan dan para dayang yang sibuk melayani tanpa suara. Ratu duduk dengan anggun di atas bangseok yang terbuat dari kain sutra berkualitas tinggi, dihiasi dengan bordiran halus motif bunga teratai yang elegan, melambangkan kemurnian dan kedamaian. Warna biru muda yang lembut berpadu dengan benang perak yang membentuk pola halus di tepinya, menciptakan kesan mewah tapi tidak berlebihan. Bangseok Ratu, ditempatkan di sisi yang lebih rendah dari kursi utama Raja.

Bangseok adalah alas duduk tradisional Korea, semacam bantal duduk berbentuk persegi atau persegi panjang yang digunakan saat duduk di lantai, terutama di rumah-rumah tradisional dan lingkungan istana. Di era Goryeo dan Joseon, bangseok sering dibuat dari kain sutra, katun, atau brokat, dan diisi kapas atau bahan lembut lainnya. Untuk keluarga kerajaan atau bangsawan, bangseok biasanya dihiasi dengan bordiran mewah seperti bunga, burung, atau simbol kerajaan. Warna dan motifnya pun disesuaikan dengan status orang yang menggunakannya.

Di seberang Raja dan Ratu, dua selir kerajaan duduk di bangseok dengan posisi lebih rendah dari posisi bangseok milik Ratu. Selir Yewon mengenakan hanbok hijau zamrud, dan Selir Mokhwa mengenakan ungu plum muda. Warna yang cukup berkelas untuk mencerminkan kehormatan mereka, namun tetap tidak melampaui kemegahan Ratu. 



Tepat ketika salah satu dayang menuangkan tea ke cangkir Ratu. Putra Mahkota dan aku berjalan beriringan memasuki pintu balairung untuk bergabung. Putra Mahkota masuk dengan langkah tenang, jubah paginya berwarna gading, bersulam naga perak kecil di bagian dada. Aku mengikutinya dari belakang, mengenakan hanbok putih bersulam bunga krisan perak. Rambutku diikat ke belakang dengan pita daenggi berwarna lembayung, sementara helaian lainnya dibiarkan tergerai hingga punggung. Hiasan rambut kecil berbentuk bunga seroja dari perak menghiasi kepala. Mata semua orang di dalam balairung istana sejenak tertuju pada kami. Tatapan Ratu lah yang paling terasa hangat, senyum lembut mengembang dan matanya memancarkan kasih sayang yang mendalam.

Ratu: “Akhirnya kalian datang.” (Bangkit sedikit dari duduknya, untuk menyambutku).

Aku: “Hamba mohon maaf datang terlambat, Ibunda Ratu. Hamba telah menyantap sarapan lebih dahulu di kediaman.” (Segera membungkuk hormat).

Ratu: “Tidak apa… asalkan kamu makan dengan baik. Kesehatanmu jauh lebih penting.” (Ratu menoleh ke arah dayang). “Bawa bangseok tambahan, aku ingin Putri Mahkota duduk di dekatku.” (Titahnya kemudian).

Ratu ingin aku dan Putra Mahkota duduk di sampingnya. Dayang segera bergegas melaksanakan titah Ratu, lalu kembali beberapa saat kemudian sambil membawa bangseok yang diminta oleh Ratu. Dayang meletakkannya hati-hati di samping Ratu, lalu mundur selangkah sambil membungkuk.

Selir Yewon dan Selir Mokhwa sama-sama menoleh ke arahku ketika aku tiba. Dalam satu gerakan yang nyaris serempak, mereka menundukkan kepala pelan, tangan kanan terangkat menyentuh dada, isyarat sederhana yang mencerminkan rasa hormat dengan tulus. Aku membalasnya dengan anggukan kecil dan sedikit membungkukkan tubuhku, sebagai tanda bahwa aku pun menghormati mereka dengan sepenuh hati. Rasanya, meskipun kita tidak sering bertemu, ada kedekatan yang tercipta di antara kami. Selayaknya keluarga yang saling mengerti, meski tanpa banyak kata. Perlahan aku duduk di samping Ratu, Ratu masih menatapku dengan senyum hangat yang belum juga reda.

Ratu: “Pita daenggimu cocok sekali dengan rona wajahmu, menantuku benar-benar cantik.” (Memandangi rambutku).

Putra Mahkota ikut duduk di sampingku, alisnya sedikit terangkat saat menoleh ke arah Ratu, lalu kepadaku.

Gongmin: “Tampaknya, kini duduk di sisi istriku pun memerlukan izin lebih dulu.” (Dengan sikap manjanya). 

Ratu: “Kalau begitu, lain kali beri salam yang lebih manis. Mungkin Ibundamu ini akan lebih memperhatikan.” (Melirik putranya sambil tersenyum).

            Tepat setelah itu, dayang yang sebelumnya keluar, kini mendekat dengan langkah tenang. Di tangannya ada nampan berisi 4 cangkir tea. Dayang berhenti di depan meja, meletakkan tea untuk Selir Yewon, Selir Mokhwa, Putra Mahkota dan aku. Namun untukku, dia membawa cangkir yang berbeda, lebih kecil, dengan aroma yang lebih tajam, mengundang rasa penasaran. “Tea ini khusus untuk Yang Mulia Putri Mahkota, seperti yang telah diperintahkan oleh Yang Mulia Ratu.”, ucap sang dayang.

Ratu tersenyum dan mengangguk sebagai isyarat membenarkan bahwa Ratu lah yang meminta tea ini dibuat khusus untukku. Tea dari campuran rempah-rempah alami, ramuan yang dipercaya baik untuk kesehatan wanita, terutama dalam program hamil. Setelah meletakkan tea dengan hati-hati, dayang itu menundukkan kepala dengan sopan, lalu mundur perlahan, meninggalkan ruangan.

Gongmin: “Ah, tea istimewa ya? Kamu benar-benar dimanjakan. Aku telah menyadari beberapa hal pagi ini, tea mu lebih harum, bantal dudukmu lebih empuk, dan sambutanmu lebih hangat. Aku menduga… aku sudah kehilangan tahtaku di istanaku sendiri.” (Tersenyum simpul, lalu menatapku).

Aku: “Tenang saja, Yang Mulia. Aku akan berbagi tahtaku denganmu.” (Tersenyum menahan tawa, sambil menggenggam tangan Putra Mahkota).

Raja: “Itulah sebabnya memilih istri dengan hati yang baik lebih penting dari sekadar kecantikan. Untungnya kamu tidak salah pilih, Putra Mahkota.” (Raja ikut menyahut dengan nada tenang tapi penuh humor seorang ayah).

Gongmin: “Hamba belajar dari ayahanda… yang berhasil dikelilingi oleh perempuan-perempuan berhati baik.” (mengangguk, menoleh ke arah Raja dengan tersenyum).

Selir Yewon dan Selir Mokhwa tertawa kecil, sementara Ratu hanya menepuk punggung tangan Putra Mahkota penuh kasih.

Aku: “Ibunda Ratu, jika hamba boleh tau... tea ini, ramuan apa yang digunakan?” (Aku memandang cangkir tea keramik berpola bunga teratai itu sejenak sebelum mengangkatnya pelan. Aroma khas yang lembut dan sedikit pahit menyentuh hidungku. Perlahan aku menoleh pada Ratu).

Ratu: “Itu tea baekhwacha, diramu dari bunga peony putih, daun raspberry, dan sedikit akar angelica. Hangat di perut, menenangkan pikiran… dan membantu memperkuat rahim.” (Tersenyum, menoleh padaku dengan sorot mata lembut). “Ibunda ingin memastikan kamu selalu sehat, terutama jika nanti diberi anugerah keturunan.” (Pandangan matanya berpindah ke Putra Mahkota sejenak, lalu kembali padaku).

Gongmin: “Kalau begitu, hamba akan pastikan mulai malam ini, tea itu tidak sia-sia.” (Tangannya meraih cangkirnya sendiri, namun matanya tertuju padaku, nakal dan penuh semangat). Hamba akan lebih giat menjalankan tugas sebagai suami.”

Ratu: “Baiklah, jika demikian. Biar ibunda juga siapkan ramuan penguat untukmu, Putra Mahkota.” (Tertawa kecil, menutup mulutnya dengan ujung lengan hanbok).

Putra Mahkota yang baru saja menyeruput tea-nya langsung terbatuk, tersedak karena tidak menyangka ucapan Ratu begitu lugas. Putra Mahkota buru-buru meletakkan cangkir, satu tangan menutup mulut, sementara bahunya sedikit terguncang.

Gongmin: “Khhk… uhuk! Ibunda…”

Aku segera menepuk punggung Putra Mahkota pelan sambil menahan tawa. Selir Yewon dan Selir Mokhwa menutup mulut mereka dengan tangan, tubuh mereka bergetar kecil menahan tawa. Para dayang yang berdiri di dekat dinding pun saling berpandangan, pipi mereka memerah ikut tersipu mendengar percakapan kami. Ratu hanya menggelengkan kepala, senyum puas menghiasi wajahnya. Raja yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, sebuah senyum tipis muncul di bibirnya, namun semakin lama, Raja tidak sanggup lagi menahan tawa. Suara tawa itu menular, mengisi balairung dengan gelak tawa yang hangat.

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari arah pintu balairung. Seorang pemuda muncul, menarik perhatian seketika. Choe Yeong berdiri tegap di ambang pintu, tubuhnya dibalut jubah biru tua yang menjuntai hingga betis. Di atas jubah tersebut, rompi pelindung yang terbuat dari kulit, berwarna hitam tampak rapi dikenakan, dihiasi pola awan keemasan di bahu, sebuah simbol yang menandakan statusnya sebagai pengawal istana yang sangat dipercaya. Sabuk kulit kecoklatan melingkar di pinggangnya, tempat sebilah pedang tersemat dengan sempurna di sisi kiri. Gesper logam berbentuk burung elang berkilat saat terkena sinar matahari pagi. Celana hitam longgar memudahkannya bergerak lincah, berpadu dengan sepatu bot kulit yang kokoh dan terawat, menggambarkan kesiapan yang selalu terjaga.

Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya tetap tajam dan jernih, mencerminkan kewaspadaan yang tidak pernah padam. Begitu tiba di tengah balairung, Choe Yeong berhenti sejenak, menundukkan kepala memberi hormat. Penghormatannya ditujukan pada Raja, Ratu, Putra Mahkota, aku, dan kedua Selir Raja, sebelum menyampaikan laporannya.

Suasana balairung yang sebelumnya dipenuhi tawa kini berubah menjadi hening, menyisakan atmosfer khidmat yang menghentikan sejenak percakapan para keluarga kerajaan. Keheningan itu terasa menyelimuti balairung, menambah kesan serius pada moment yang baru saja terjadi.

Choe Yeong: “Hormat hamba, Yang Mulia!”

Gongmin: “Ada kabar apa, Choe Yeong?” (Melirik sekilas, lalu mengangguk pelan).

Choe Yeong: “Tandu kerajaan telah siap menunggu di halaman istana, Yang Mulia. Para pengawal juga telah bersiap. Kami tinggal menunggu perintah untuk berangkat.”

Gongmin: “Baik, kami akan segera bersiap.”

            Raja hanya mengangguk. Ratu menepuk punggung tanganku, isyarat bahwa waktunya segera tiba. Choe Yeong menunduk sekali lagi, kemudian mundur perlahan, hingga menghilang kembali ke lorong samping balairung.

            Ratu bangkit perlahan dari tempat duduknya, jemarinya merapikan lengan hanboknya sebelum menoleh ke arahku dan kedua selir.

Ratu: “Kita harus bersiap. Pastikan barang bawaan tidak ada yang tertinggal.” (Suaranya tenang, tapi membawa ketegasan lembut seorang ibu istana yang sudah terbiasa memimpin).

Selir Yewon dan Selir Mokhwa segera berdiri dan membenarkan lipatan hanbok mereka. Aku menyusul bangkit, bersiap mengikuti langkah Ratu. Kami menghampiri Raja lebih dulu. Ratu menundukkan kepala, diikuti oleh kami bertiga.

Ratu: “Hamba pamit, Yang Mulia. Kami akan memeriksa perlengkapan dan memastikan segalanya siap sebelum tandu berangkat.”

Raja mengangguk perlahan. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, menyiratkan restu tanpa banyak kata. Kami lalu berpaling pada Putra Mahkota. Aku memberi hormat dengan anggukan kecil, dan saat itu… Putra Mahkota menatapku.

Gongmin: “Jangan terlalu lelah, sayang. Aku tidak tenang jika kamu kelelahan bahkan sebelum perjalanan dimulai.”

Aku: “Hamba akan berhati-hati... Yang Mulia.” (Suara kecilku nyaris tenggelam oleh degup jantung sendiri).

Gongmin: “Ibunda, jaga Noguk untukku.” (Menatap Ratu).

Ratu tersenyum lembut, tatapannya penuh kasih. Ratu mengangguk, seolah mengerti betapa besar perhatian Putra Mahkota pada diriku. Rona hangat menjalari pipiku saat aku mengikuti langkah Ratu meninggalkan balairung, hatiku masih menyimpan kehangatan tatapan suami tercinta.

Kami melangkah keluar dari balairung, hanbok-hanbok sutra kami berdesir pelan di antara langkah dayang yang mengikuti rapi di belakang. Selir Yewon dan Selir Mokhwa berada sedikit di belakangku, sementara Ratu memimpin di depan, membimbing arah kami menuju pavilion dalam tempat kami bersiap.

Begitu pintu balairung tertutup di belakang kami, suasana di dalam pun berubah. Keheningan yang tertinggal, seakan menyadari waktu yang terus menyempit.

Gongmin: “Ayahanda…” (Bangkit dari duduknya, mendekati Raja).

Raja: “Seberapa jauh kesiapanmu menghadapi malam ini?” (Menoleh ke arah Putra Mahkota).

Gongmin: “Pasukan pengawal istana bagian dalam telah bersiaga penuh. Choe Yeong memimpin lima puluh prajurit terbaik untuk berjaga di gerbang selatan, titik yang paling rawan. Di barak utara, aku sudah mengatur agar penjagaan bergantian secara berkala, jadi tidak ada prajurit yang kelelahan.”

Raja: “Bagaimana dengan komunikasi antar pos? Mereka tidak akan datang dari satu arah.”

Gongmin: “Setiap pos telah dilengkapi sinyal lentera dan utusan berkuda cepat. Satu ledakan bunyi dari sisi timur, maka selatan dan barat akan tau dalam hitungan detik. Hamba juga menempatkan sepuluh pemanah di atap balairung, tersembunyi. Mereka akan jadi mata pertama kita bila ada gerakan mencurigakan.”

Raja: “Dan jika malam ini bukan sekadar serangan kecil?” (Menghela nafas perlahan, lalu menatap Putra Mahkota lama).

Gongmin: “Hamba akan berada di garis depan, ayahanda. Istana ini… dan orang-orang yang kita cintai, akan kulindungi sepenuh jiwa.” (Menatap Raja dengan sorot mata yang tidak goyah).

Raja menatap Putra Mahkota dalam diam sejenak, seolah menimbang antara kebanggaan dan kekhawatiran. Wajahnya tetap tenang, tapi matanya menyimpan bayang perasaan yang lebih dalam. Tangannya terangkat pelan, menepuk bahu putranya dengan penuh arti.

Raja: “Keberanianmu adalah milik seorang raja sejati, Putra Mahkota. Tapi jangan lupakan… nyawa seorang penerus lebih berharga dari medan manapun. Jangan gegabah, negeri ini membutuhkanmu, bukan hanya hari ini, tapi untuk waktu yang lama.”

Gongmin: “Ayahanda, hamba mengerti. Hamba akan menjaga diri, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk kebaikan negeri ini di masa depan. Hamba akan bertarung dengan segenap kekuatan, dan membawa kemenangan.”

Senyum tipis menghiasi bibir Putra Mahkota, dia merasakan kehangatan seorang ayah dari kecemasan Raja. Dia tau betul betapa besar tanggung jawab yang dia pikul sebagai penerus tahta, dan meski peran itu begitu berat, perhatian dan dukungan ayahnya memberinya kekuatan.

Waktu berlalu, sinar matahari semakin terik, menandakan siang telah tiba. Halaman istana dipenuhi oleh para pengawal, dayang, dan anggota keluarga kerajaan yang sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Tandu yang dihias megah, siap mengantarkan keluarga kerajaan menuju kediaman keluargaku.

Raja yang berdiri di tengah halaman, mengenakan pakaian kebesarannya yang mengesankan kewibawaan, menatap ke arahku dan Putra Mahkota. Sebelum naik ke dalam tandu, matanya memberi isyarat lewat anggukan halus, seolah memberi tau agar semua tetap berjalan sebagaimana mestinya, tanpa ada yang mencurigakan. Hanya sebuah perjalanan keluarga kerajaan yang tampaknya biasa saja di mata para pengawal dan dayang yang berdiri mengelilingi. Bahkan di mata Ratu, Selir Yewon, dan Selir Mokhwa juga.

Aku dan Putra Mahkota saling berpandangan, sebelum melangkah bersama menuju tandu yang sudah menunggu. Suasana terasa lebih intim di dalam tandu yang besar, hanya ada kami berdua. Putra Mahkota memandangku, matanya penuh ketenangan meski aku tau betul betapa beratnya beban pada bahunya.

Gongmin: “Byeol... kita akan melewati ini bersama. Tidak peduli apa yang terjadi nanti, aku akan selalu ada di sisimu.”

Aku menatap matanya, dengan lembut, aku menggenggam tangannya, merasakan kehangatannya yang memberi ketenangan di tengah kecemasan ini.

Aku: “Hwang In, aku percaya padamu, dan aku akan selalu mendukungmu.”

Putra Mahkota menarikku ke dalam pelukannya, dengan lembut mencium keningku. Rasanya, semua beban dan ketegangan yang ada di luar sana, seolah terlupakan oleh kehangatan yang datang dari sentuhan ini.

Gongmin: “Aku mencintaimu, Byeol. Tidak akan ada yang memisahkan kita.”

Aku: “Aku juga mencintaimu, Hwang In. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Perlahan, Putra Mahkota memiringkan wajahku dengan ujung jarinya. Tatapan matanya dalam dan penuh kasih, nyaris membuatku lupa bahwa dunia di luar tandu tengah menanti gejolak besar.

Tanpa berkata lagi, dia mendekat. Nafasnya hangat di kulitku. Bibirnya menyentuh milikku. Tidak terburu-buru, ciuman itu seperti bisikan, menenangkan, meneguhkan. Gerakan bibirnya menyapu lembut, penuh rasa. Dia mendekapku sedikit lebih dekat, jemarinya kini merengkuh belakang leherku. Aku membalas, tidak kalah lembut, membiarkan bibir kami saling melumat dalam irama yang perlahan namun penuh makna. Nafas kami memburu, tapi tidak kasar, ada keintiman yang tumbuh dari rasa saling percaya.

Ketika bibir kami akhirnya berpisah, matanya masih terpejam sejenak sebelum membukanya kembali dan menatapku dengan pandangan yang lebih tenang. Aku menyandarkan kepala di dadanya, mendengarkan detak jantungnya yang mengiringi langkah tandu. Dan begitulah, dalam dekapan dan ciuman kami untuk saling menguatkan.

Bersambung…

Komentar

  1. ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  2. ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  3. I love it sooooo much, kerasa banget vibes hangatnya anggota kerajaan di chapter ini. Meski tersembunyi ketegangan yang dibalut ketenangan

    BalasHapus
  4. ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  5. Menjelang tamat, semua kubu bersatu. Semoga byeol dan hwang in dapat akhir yang bahagia 😊

    BalasHapus
  6. makin deg2 an, manis scenenya tapi feelnya ngajak readers buat cemas bareng2

    BalasHapus
  7. Sempat ketinggalan 3 chapter jadinya marathon. Saking serunya sampai nggak kerasa bersambung, makin penasaran
    ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  8. gue penasaran akhirnya bakal gimana, tapi disisi lain kalo ingat sisa 3 chapter lagi, agak berat berpisah sama krbb. yang biasa gue tungguin updatenya, akan segera berakhir 🙃

    BalasHapus
  9. apakah di akhir cerita akan ada plot twist lagi? soalnya masih ada yang ganjal. itu di chapter 20 disebutkan kalo jendral guozhi died? diednya kenapa? 😌
    novel yang ngajak main tebak2 an dari awal sampai akhir 😀

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer