Langsung ke konten utama

Unggulan

KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (25 - CHAPTER TERAKHIR)

Dua Masa Satu Pilihan   Suara burung menyelinap lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Cuitannya berkicau riang di kejauhan, seperti bisikan lembut dari dunia yang lama ku tinggalkan, memanggilku kembali dengan hangat. Aku membuka mata perlahan. Bukan halaman istana yang sunyi penuh reruntuhan dan sisa pertempuran, bukan langit kelabu Goryeo yang muram. Yang ku lihat pertama kali adalah langit-langit kamarku, terbuat dari panel kayu berwarna cokelat madu dengan ukiran tipis yang rapi, dipadu dengan cahaya lembut dari lampu tersembunyi. Pancaran cahayanya membalut ruangan dalam keheningan yang menenangkan.  Jantungku masih berdegup kencang, keringat dingin membasahi pelipis. Aku mengenakan piyama tidurku, kain lembut yang begitu asing jika dibandingkan dengan hanbok yang biasa ku pakai selama di masa lalu. Seketika aku terduduk di atas ranjang, nafasku terengah. Aku bisa merasakan luka, perih, air mata, dan kehangatan terakhir dari Xiao Yuer di pangkuanku. Tanganku gem...

KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (13)



  Serupa Tapi Tak Sama

            Di sebuah rumah makan kecil dan sederhana, namun penataan meja dan kursi di sana sangat rapi, kebersihannya pun terjaga, memberi rasa nyaman kepada setiap pengunjung yang datang untuk makan. Rumah makan Maeum, begitulah papan nama yang terpampang di atas pintu masuk. Tepat berseberangan dengan rumah makan ini, ada sebuah penginapan, mereka menyebutnya penginapan Tulip. 



Hye Soo: “Ini pertama kalinya aku melihat penginapan Tulip yang legendaris.” (Sambil duduk di salah satu kursi, matanya tetap tidak bisa berpaling dan terus mengamati penginapan itu).

Aku: “Ada apa dengan penginapan Tulip? Tampak biasa saja. Apa yang legendaris? Apa bedanya dengan penginapan lain?” (Duduk di samping Hye Soo).

Hye Soo: “Menurut berita yang beredar ditengah masyarakat, penginapan Tulip bukanlah penginapan biasa, itu lebih seperti kamuflase.”

Aku: “Kamuflase? Apa maksudmu?”

Hye Soo: “Penginapan Tulip sangatlah penuh misteri, banyak yang berpikir kalau sebenarnya penginapan itu adalah tempat menukar atau mencari informasi rahasia terkait politik pemerintahan.”

Aku: “Benarkah? Cukup menarik.”

Hye Soo: “Bahkan pernah ada pembantaian besar di penginapan itu, lebih tepatnya seperti pertarungan antara 2 sekte atau semacamnya. Meski banyak korban berjatuhan, biro polisi menutup kasusnya dan bungkam.”

Xiao Yuer: “Apa yang kalian bicarakan, terlihat serius sekali?” (Menyusul duduk di depanku dan Hye Soo setelah memesan makanan untuk kami bertiga).

Aku: “Hye Soo menceritakan tentang penginapan Tulip yang katanya legendaris.” (Jawabku).

Xiao Yuer: “Oh soal ituuu.”

Aku: “Kamu tau sesuatu?”

Xiao Yuer: “Itu sudah menjadi rahasia umum, ada satu peraturan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat yang tinggal di sekitar penginapan Tulip, jika mereka ingin aman dan tidak ingin terusik. Peraturan itu ialah, ketika mendengar suara pertarungan dalam bentuk apapun, suara teriakan seseorang meminta tolong, atau suara seseorang beradu mulut hebat, pura-puralah untuk tidak mendengarnya. Tutup mata dan tutup telinga, semakin sedikit yang kamu ketahui, semakin bagus untuk keselamatanmu.”

Aku: “Dibalik kesan yang tenang, menyimpan rahasia yang mencekam. Apakah pemiliknya orang yang kejam?”

            “Pendiri penginapan Tulip adalah 7 pendekar wanita dari sekte tulip kuning. Maaf, aku jadi ikut menjawab karena tidak sengaja mendengar percakapan kalian. Ini jorim yang kalian pesan sudah siap, silahkan menikmati.”, sahut seorang wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik dan terbilang tampak awet muda. Nada bicaranya sangat lembut, wanita itu pemilik rumah makan Maeum, dia mengantar pesanan ke meja kami.

            Semakin memperhatikan wajahnya, wanita pemilik rumah makan Maeum semakin terasa familiar. Membuatku teringat pada Mrs. Bomi, salah satu pelayan arwah yang bekerja cukup lama untukku. Wajah keduanya terlihat serupa, meski wajah pemilik rumah makan Maeum sedikit lebih muda, sedangkan Mrs. Bomi sudah muncul kerutan samar. Tapi aku yakin, mereka orang yang sama. “Namaku nyonya Nara, semua pengunjung di rumah makan ini memanggilku begitu. Aku senang memiliki pelanggan baru.”, ucapnya sambil tersenyum.

Xiao Yuer: “Aroma makanan ini sangat menggugah selera, aku yakin rasanya pasti selezat aromanya.”

Nyonya Nara: “Suamiku yang memasaknya, dia ahli dalam urusan dapur. Bahkan aku saja kalah kalau itu menyangkut tentang rasa masakan.” (Tertawa kecil). “Sayang kemarilah, kita punya pelanggan baru.” (Memanggil suaminya).

            “Ya sayang, sebentar. Aku matikan dulu kompornya.”, terdengar sahutan seseorang dari dalam dan belum menampakkan diri. Saat sang suami nyonya Nara menghampiri meja kami, untuk menyapa. Aku seperti melihat Mr. In Pyo di hadapanku, pertemuan tidak terduga dengan mereka hari ini, sedikit mengobati rasa rinduku. Senang rasanya, mengetahui fakta ternyata kami saling mengenal lama, jauh dari kehidupan sebelumnya, mengenalku sebagai Noguk. Aku tau, mereka berdua bukanlah Mr. In Pyo dan Mrs. Bomi yang ku kenal ketika aku menjadi Byeol. Ini yang dikatakan, serupa tapi tak sama. Itu berlaku untukku juga, terlihat seperti Noguk, namun jiwa Byeol di dalamnya.

Nyonya Nara: “Ini suamiku, Namgil. Koki rumah makan kami.” (Tersenyum memperkenalkan suaminya).

Xiao Yuer: “Nyummm, ini benar-benar lezat. Tuan Namgil memiliki bakat seperti koki istana.” (Memuji makanan yang baru saja dia cicipi). “Sepertinya, giliran kami memperkenalkan diri. Namaku Xiao Yuer, kalian boleh memanggilku Tuan Muda Yuer atau Yuer. Ini adik kesayanganku dan adikku satu-satunya, Noguk. Sedangkan di samping adikku, ada Hye Soo, dayang keluarga kami.” (Lanjutnya).

Nyonya Nara: “Tuan Yuer, adikmu sangat cantik, senyumnya juga manis.” (Menoleh menatapku dan tersenyum). “Tentang perkataan Tuan Yuer sebelumnya, suamiku memiliki bakat seperti koki istana, itu memang benar. Dulu kami pernah bekerja di istana, suamiku bekerja sebagai koki, sedangkan aku menjadi tabib. Tapi ada sesuatu yang akhirnya membuat kami meninggalkan istana, kemudian kami memutuskan untuk menikah, dan membangun rumah makan Maeum.” (Kembali menatap Yuer).

Namgil: “Aku senang, lidah kalian cocok dengan cita rasa rumah makan kami.” (Tersenyum).

            “Namgil… Nara… Tolong aku!”, seorang pemuda tiba-tiba masuk menghampiri kami. Wajahnya tampak panik, keringat bercucuran di wajah tampannya, nafasnya terengah-engah. Membuat kami semua menoleh menatapnya.

Aku: “Tuan Gongmin!” (Terkejut). 

Gongmin: “Gadis cincin giok!” (Tidak kalah terkejut).

            “Hormat kami Yang Mulia Putra Mahkotaaaaa.”, ucap Nyonya Nara, Namgil, Xiao Yuer, dan Hye Soo bersamaan. Mereka semua berdiri memberi hormat, kecuali aku.

Xiao Yuer: “Apa yang terjadi Yang Mulia?”

Gongmin: “Putra dari jendral besar Mongol ada disini? Tuan Yuer, apa yang kamu lakukan?”

Xiao Yuer: “Aku datang untuk mengajak adikku melihat festival hari ini, Yang Mulia. Ini Noguk, calon istrimu.” (Menunjuk ke arahku).

Gongmin: “Jadi, gadis cincin giok adalah Noguk tunanganku?” (Semakin terkejut). “Mari kita bahas ini nanti, ada hal lebih mendesak. Ada 5 orang pembunuh bayaran mengejarku, beri aku tempat sembunyi, sampai semua aman! Bawa aku ke ruang bawah tanah!” (Memberi titah).

Namgil: “Ke arah sini, Yang Mulia. Ikuti hambaaa.” (Memberi petunjuk arah).

Nyonya Nara: “Biar aku tetap disini, aku akan mengurus mereka, Yang Mulia tenang saja.”

Gongmin: “Aku mengandalkan kalian!” (Ucapnya dengan penuh wibawa).

            Gongmin mengikuti langkah Namgil menuju tempat persembunyian, untung saja tidak ada pengunjung saat ini, hanya rombonganku yang datang untuk makan. 



Nyonya Nara: “Maaf, karena tidak mengenali Tuan Yuer sejak awal. Begitu juga dengan Putri Noguk, dan maaf sekali lagi kalau aku harus mengusir kalian pergi padahal makanan kalian belum habis. Tapi, demi kebaikan Tuan Muda dan Tuan Putri. Sebaiknya kalian meninggalkan rumah makan kami, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi setelah ini.” (Menunduk penuh hormat).

Aku: “Semakin diminta pergi, semakin aku ingin tetap disini.” (Ucapku dengan santainya).

Xiao Yuer: “Noguk, pergilah bersama Hye Soo! Aku akan tetap disini untuk membantu nyonya Nara.”

Nyonya Nara: “Tuan Yuer, tapiiiii…” (Belum sempat melanjutkan kalimatnya).

Xiao Yuer: “Jangan membantahku!” (Memotong ucapan nyonya Nara). “Hye Soo!!” (Dengan nada membentak).

Hye Soo: “Iii… iya Tuan Muda.” (Tergagap).

Xiao Yuer: “Tidak mendengar perintahku?! Bawa Noguk pergi! Sekarang!!!!!” (Semakin tegas).

Hye Soo: “Tuan Putri, ayo kita pergi. Ku mohooonn, jangan keras kepala untuk kali ini.” (Menarikku dan mengajakku berlari meninggalkan rumah makan Maeum).

            Meski aku meminta Hye Soo melepaskan tanganku beberapa kali, Hye Soo tetap saja membawaku pergi. Melihat kecemasan di wajah Hye Soo, melihat kegigihan Hye Soo, mengingatkan aku pada mimpiku di masa depan. “Dia… Hye Soo dayang yang memintaku pergi meninggalkan Choe Yeong. Hari mengerikan itu, akankah benar-benar terjadi? Apakah waktunya sudah semakin dekat?”, renungku dalam hati. Setelah menyadari, wajah samar seorang dayang yang pernah aku lihat dalam mimpi, dialah Hye Soo.

            Hye Soo berhenti mengajakku berlari, saat dirasa jarak kami cukup jauh dengan rumah makan Maeum, dan cukup aman. Kami berdiri di dekat tempat penitipan kuda.

Aku: “Bukankah ini tidak adil? Kamu mendengar perintah Yuer, tapi mengabaikan perintahku?!”

Hye Soo: “Aku terpaksa melakukannya, karena ini demi keselamatan Tuan Putri.” (Terengah-engah).

            Terdengar suara hentakan kaki yang seirama memasuki pasar, beberapa orang berteriak karena didorong dengan paksa untuk menepi dan membuka jalan. Ada pasukan berpakaian serba merah, membawa pedang, dan menggunakan cadar. Tatapan haus darah, terpancar dari mata mereka, cara mereka memaksa orang menepi tanpa belas kasih sama sekali. Total ada kurang lebih 55 orang, semua orang berbaju merah itu, memiliki tattoo kalajengking di punggung tangan kiri mereka.

Hye Soo: “Sekte kalajengking!” (Ucapnya dengan tubuh bergetar).

Aku: “Siapa mereka? Kamu tau tentang mereka?” (Menoleh ke arah Hye Soo).

Hye Soo: “Mereka adalah kelompok ahli bela diri berdarah dingin, serangan mereka sangat mematikan, sebagian dari anggota mereka bekerja sebagai pembunuh bayaran. Pedang mereka bukan sembarang pedang, melawan mereka artinya menantang kematian. Ada racun di pedang yang mereka gunakan, itu yang aku tau dan sering dengar, Tuan Putri.”

Aku: “Hye Soo, aku tidak bisa tenang hanya dengan berdiam diri disini. Kamu melihat itu! Mereka berjalan menuju penginapan Tulip, bagaimana kalau pembunuh bayaran yang dibicarakan Gongmin adalah anggota sekte mereka? 5 orang apanya?! Gongmin pasti tidak memprediksi akan datang bala bantuan sebanyak ini dari sekte mereka.” (Menggigit ujung ibu jari, penuh kecemasan).

            “Nona, apa yang kamu lakukan disini? Lebih baik kamu pulang. Disini tidak aman, ini perintah Yang Mulia Putra Mahkota.”, ucap penari pedang yang aku temui sebelumnya. Dia menghampiriku, mengajakku dan Hye Soo bersembunyi.

Aku: “Siapa kamu sebenarnya? Darimana kamu mengenal Putra Mahkota?”

            “Aku akan memperkenalkan diriku secara resmi, namaku Bada. Aku murid pertama dari sekte tulip kuning. Kelima rekanku yang menari bersama nona tadi, mereka pun murid sekte tulip kuning. Seperti yang nona tau, mungkin nona pernah dengar, penginapan Tulip kami lah yang mendirikan, rumor miring betapa mengerikannya penginapan itu tidaklah benar. Karena penginapan itu didirikan atas keinginan Raja, melalui titah Putra Mahkota.”, ucap Bada menjelaskan yang sebenarnya padaku.

Aku: “Untuk apa Raja melakukan itu?”

Bada: “Raja ingin menyelidiki penyelewengan dana yang dilakukan oleh putra sulungnya, Raja juga mencium rencana pemberontakan putranya sendiri. Pangeran Taeguk tidak terima bahwa dirinya kalah dari Putra Mahkota Gongmin, dia berpikir seharusnya dia yang menjadi Putra Mahkota, bukan adiknya.”

Aku: “Sekarang aku mulai memahami, siapa pendekar ke-7 sekte tulip kuning?”

Bada: “Bersama dengan guru kami, barulah tulip kuning lengkap 7 pendekar wanita, nyonya Nara adalah guru sekaligus pemimpin kami.”

Aku: “Kamu akan pergi ke penginapan Tulip setelah selesai dengan misimu, memastikan aku aman?”

Bada: “Benar, aku harus mengawal nona kembali ke kediaman. Barulah aku pergi ke penginapan untuk membantu yang lain.”

            Mendengar ucapan Bada, aku berniat menggunakan sihirku untuk melakukan penerawangan dari jarak jauh, melihat apa yang sedang terjadi di penginapan Tulip dan rumah makan Maeum. “Sial! Sihirku tidak bekerja disini.”, gumamku penuh kekesalan. Sudah berulang kali aku mencoba memejamkan mata dan kembali fokus, tapi tetap saja gagal.

Aku: “Bada, kamu tau dimana aku bisa mendapatkan busur panah?”

Bada: “Ada pandai besi yang ku kenal, tinggal tidak jauh dari pasar.”

Aku: “Hye Soo, dengar perintahku! Kamu pergilah ke kios kain sutra yang tadi kita kunjungi. Tunggu aku disana, sampai aku kembali. Jangan menyusulku, jika situasi disini semakin tidak aman, pulanglah tanpaku ke kediaman. Kamu paham?” (Menepuk punggung tangan Hye Soo).

Hye Soo: “Aku paham, Tuan Putri. Tapi apa yang Tuan Putri rencanakan?”

Aku: “Aku datang kesini bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, aku kembali ke masa ini dengan alasan untuk melakukan perubahan, mencegah hal buruk yang akan terjadi. Percaya padaku, semua akan baik-baik saja.” (Tersenyum). “Ayo Bada! Kita pergi ke tempat pandai besi.” (Menaiki kuda putih milikku).

Bada: “Baiklah! Tunggu sebentar, aku akan mengambil kudaku.”

            “Yihaaaaa”, seruan ku dan Bada bersamaan. Kami menaiki kuda kami masing-masing, berlalu meninggalkan pasar. Setelah beberapa menit perjalanan, sampailah kami disebuah gubuk tua ditepian hutan.

Bada: “Itu rumah pandai besi yang aku ceritakan.” (Turun dari kuda, setelah sampai tepat di depan gubuk).

Aku: “Kita harus bergegas, kita tidak memiliki banyak waktu.” (Turun dari kuda, dengan langkah pasti masuk ke dalam gubuk).

            Ini tidak seperti dugaanku, meski dari luar tampak reot dan kumuh, tapi saat masuk ke dalamnya, semua barang tertata dengan rapi di dinding. Ada beberapa jenis pedang terpajang berjajar, bukan hanya pedang, disana juga ada belati kecil, tombak besi, dan busur panah.

Pandai Besi: “Ada yang bisa ku bantu, nona-nona?” (Sapanya sedikit mengejutkanku).

Aku: “Beri aku busur panah sekaligus anak panahnya, yang ini… aku suka yang ini!” (Menunjuk salah satu busur panah yang sudah aku perhatikan sedari tadi).

Pandai Besi: “Silahkan ambilah nona, dan berapa anak panah yang kamu perlukan?”

Aku: “Sebanyak yang aku bisa bawa, aku juga akan mengambil belati ini.” (Mengambil busur panah, kemudian mengambil belati kecil dengan sarung belati yang terukir menyerupai burung phoenix).

Pandai Besi: “Baiklah, aku akan menyiapkan anak panah yang nona butuhkan.”

Aku: “Terimakasih.”

            “Nona-nona ini seperti akan pergi berperang saja!”, celetuk seseorang dengan tubuh kekarnya yang menggendong seikat kayu bakar di punggung.

Aku: “Siapa kamu? Lancang sekali, ingin tau urusan orang lain.”

Bada: “Dia Daeho, putra dari pandai besi.” (Berbisik padaku).

Daeho: “Rupanya ada nona Bada disini, lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?” (Berjalan mendekat setelah meletakkan kayu bakar pada tempatnya).

Bada: “Kabarku baik, bagaimana denganmu? Masih dengan hobimu, meneliti tanaman liar?” (Tersenyum).

Daeho: “Aku bukan hanya meneliti, kamu pasti akan takjub dengan penemuanku. Aku menemukan penawar racun yang selama ini dunia bela diri inginkan.”

Bada: “Penawar racun apa?”

Daeho: “Memangnya ada racun lain yang paling mematikan dan menakutkan? Yang kabarnya tidak ada penawar? Tentu saja racun dari sekte kalajengking. Aku membutuhkan waktu lama untuk meramu beberapa tanaman dan aku sudah membuat resep setelah melakukan beberapa kali uji coba.”

Aku: “Bolehkah aku meminta ramuan penawar buatanmu?”

Daeho: “Bada, siapa dia? Anggota baru tulip kuning? Tadi dengan kasarnya bilang aku lancang, sekarang ekspresinya seperti sedang memohon.” (Menyeringai).

Bada: “Daeho, jaga ucapanmu!”

Daeho: “Bada… kamu seperti baru mengenalku, mulutku memang setajam ini dari dulu. Nona, siapapun namamu. Memangnya kamu akan bertarung menghadapi sekte kalajengking? Kalau ya, urungkan saja niatmu.”

Bada: “Daeho, situasinya tidaklah sesederhana itu. Pertarungan ini melibatkan nyawa Putra Mahkota. Kami bertarung untuk melindungi Yang Mulia.” (Membantuku menjelaskan pada Daeho).

            Bada mulai menjelaskan detail situasinya kepada Daeho, pemuda itu seketika menjadi cemas dengan apa yang terjadi. Dengan cepat dia masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil botol kecil berisi penawar racun yang dibuatnya.

Daeho: “Ini penawar racun untuk berjaga, oleskan sedikit di luka tebasan pedang racun pada tubuh korban sekte kalajengking. Kemudian, beri korban segelas air minum yang sudah kalian beri 2 tetes ramuan penawar racunku. Dalam waktu semalam, racunnya akan keluar melalui muntah korban, jangan panik jika dibersamai dengan darah. Itu hal yang normal jika korban muntah darah berwarna gelap kehitaman, pertanda racunnya keluar.” (Dengan ekspresi serius).

Aku: “Daeho, aku berhutang padamu.”

Daeho: “Siapa namamu?”

Aku: “Aku Noguk.”

Pandai Besi: “Nona, ini anak panah milikmu.” (Memberi anak panah padaku).

Aku: “Kalau begitu, aku dan Bada permisi. Ini ada beberapa perak, sebagai tanda terimakasihku.”

Daeho: “Semoga kalian memenangkan pertarungan. Jika perlu pertolonganku, kalian datanglah kesini! Aku bisa membuatkan penawar racun lebih banyak lagi. Jaga diri kalian!”

            Aku dan Bada hanya mengangguk, kami segera kembali menaiki kuda masing-masing. “Yihaaaaa!!!”, kuda kami melaju dengan kecepatan maksimal menuju penginapan Tulip.

Sesampainya di penginapan Tulip, tampak beberapa prajurit kerajaan tergeletak berlumuran darah, jasad mereka mengeluarkan busa di mulut. Suara pedang saling menangkis terdengar di setiap sudut penginapan. Nuansa tenang penginapan hilang, berubah menjadi mencekam layaknya medan perang.

Bada: “Nona, aku akan menjagamu!” (Mulai menarik pedangnya keluar). 

Aku: “Uhum, mari kita mulai pertempuran meski terlambat datang.” (Menatap ke depan dengan tajam, menyiapkan busur panah dan mulai membidik).

            Bada maju lebih dulu dengan menaiki kudanya, siap menebas siapa saja musuh di hadapannya. Aku masih di tempat semula, dari kejauhan aku membidik beberapa anggota sekte kalajengking tepat menembus dada dan jantung mereka. Bukan hanya aku dan Bada disana, aku juga melihat 5 pendekar tulip kuning lainnya sedang mengayunkan pedang mereka, nyonya Nara berada disana ikut bertarung bersama mereka.

Aku: “Yueeeeerr! Perhatikan belakangmu!” (Teriakku, saat melihat Yuer hampir ditikam dari belakang).

            Aku kembali meluncurkan anak panahku, aku berhasil melumpuhkan musuh yang hampir menikam abangku.

Xiao Yuer: “Noguk! Kamu benar-benar keras kepala, siapa yang mengizinkan kamu kembali kesini?!”

Aku: “Berhentilah mengomeliku! Kita bahas nanti, fokus pada musuhmu!”

            Aku melihat Xiao Yuer kembali fokus pada pertarungannya, dia juga terlihat mampu menangani beberapa musuh di dekatnya. Aku mulai maju, mendekat ke arah Bada yang mulai kualahan. Kali ini aku menyerang menggunakan belati, menyerang pada titik jantung adalah favoritku. “Aku Byeol, membunuh manusia keji sepertimu ialah hobi lamaku!”, ucapku berbisik kepada musuh sambil menusukkan belati di dadanya, lalu mencabutnya dengan kasar. Percikan darah segar membasahi pakaianku.

Bada: “Aku tidak menyangka, nona petarung cukup tangguh. Terimakasih telah menolongku.” (Tersenyum).

Aku: “Sama-sama, tetaplah fokus karena pertarungan belum berakhir!” (Tersenyum).

            “Putra Mahkota berlari meninggalkan penginapan menuju hutan bersama pengawalnyaaaaa! Kejarrrrr!!!”, salah satu anggota sekte kalajengking berseru memberi tau anggotanya yang lain.

Bada: “Biar aku yang menyusul Putra Mahkota.”

Aku: “Tunggu! Tetaplah disini, formasi 7 pendekar tulip kuning tidak akan lengkap tanpamu. Aku yang akan menyusul Putra Mahkota dan Choe Yeong ke dalam hutan.”

Bada: “Nona yakin?”

Aku: “Sangat yakin, jaga mereka untukku! Terutama Xiao Yuer.”

Bada: “Baiklah, aku akan tetap disini menjaga yang lain. Dan akan lebih memperhatikan abangmu, nona tenang saja.”

            “Yihaaaaa!!!”, melajukan kuda untuk menyusul Putra Mahkota yang dikejar beberapa pasukan musuh ke dalam hutan. Aku kembali menusuk beberapa anggota sekte kalajengking yang mencoba menghalangiku dengan belati, aroma darah membuatku makin bergairah. “Byeol memang seorang moster! Mau di tubuh siapapun, jiwaku berada. Naluri membunuhku tidak memudar.”, bergumam dengan senyum menyeringai.

Bersambung…

Komentar

  1. Aiman R 🇲🇾1 Maret 2025 pukul 20.06

    The story is getting more exciting
    ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  2. Kama Nur Hakim 🇲🇾1 Maret 2025 pukul 20.10

    ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  3. pulang tarawih langsung disuguhi byeol yg badas ❤️‍🔥
    ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  4. dibuat merinding, suka scene action gini. kebayang banget selama ngebaca, ditambah backsoundnya, buat gw makin masuk dalam imagination writernimnya, kereeen sih ini!!!!!
    ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  5. ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  6. gue berasa ikutan perang 😌
    be like bonceng byeol naik kuda, kerasa tegang bacanya 🤺

    BalasHapus
  7. sepanjang baca, meringis ngeri dibagian perangnya. karakter byeol kuat banget auranya disini ❤🔥

    BalasHapus
  8. Byeol mode badas nggak pernah gagal ngebuat merinding, sekeren itu 🔥

    BalasHapus
  9. byeol kerasukan maung 😭❤

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer