Langsung ke konten utama

Unggulan

KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (25 - CHAPTER TERAKHIR)

Dua Masa Satu Pilihan   Suara burung menyelinap lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Cuitannya berkicau riang di kejauhan, seperti bisikan lembut dari dunia yang lama ku tinggalkan, memanggilku kembali dengan hangat. Aku membuka mata perlahan. Bukan halaman istana yang sunyi penuh reruntuhan dan sisa pertempuran, bukan langit kelabu Goryeo yang muram. Yang ku lihat pertama kali adalah langit-langit kamarku, terbuat dari panel kayu berwarna cokelat madu dengan ukiran tipis yang rapi, dipadu dengan cahaya lembut dari lampu tersembunyi. Pancaran cahayanya membalut ruangan dalam keheningan yang menenangkan.  Jantungku masih berdegup kencang, keringat dingin membasahi pelipis. Aku mengenakan piyama tidurku, kain lembut yang begitu asing jika dibandingkan dengan hanbok yang biasa ku pakai selama di masa lalu. Seketika aku terduduk di atas ranjang, nafasku terengah. Aku bisa merasakan luka, perih, air mata, dan kehangatan terakhir dari Xiao Yuer di pangkuanku. Tanganku gem...

KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (10)


 

  Kepingan Puzzle

            Petunjuk yang satu persatu mulai mencuat ke permukaan, bagaikan kepingan puzzle. Benarkah bayangan yang sering muncul secara tidak terduga belakangan ini, serta mimpi yang sering membuatku gelisah dan bertanya-tanya diwaktu yang bersamaan, merupakan ingatan lamaku dari kehidupan sebelumnya?

            Matahari semakin terik, tidak terasa pemotretan Hwang In di tempat pemanahan berlangsung selama 3 jam, dan kini hampir selesai. Ada hal diluar rencana terjadi hari ini, bukan sebuah hal buruk, melainkan hal baik. Siapa sangka, tim photographer dari Jinju Beauty tertarik dengan visual Dong Min. Oleh karenanya, mereka meminta Dong Min untuk melakukan pemotretan bersama dengan Hwang In. Dia akan menjadi model pendamping, dan Hwang In selaku model utamanya.

Hwang In: “Kamu keren sekali, bukan hanya memiliki bakat terpendam dalam memanah, kamu juga berbakat dalam modeling.” (Puji Hwang In, menepuk bahu Dong Min).

Dong Min: “Tadi aku benar-benar gugup, ini pertama kalinya, aku diminta menjadi model. Jika bukan karena bimbinganmu, aku pasti sudah mengacaukan semuanya. Ini juga berkatmu, kamu seorang professional.” (Mengacungkan ibu jarinya).

            Dari kejauhan, tanpa sadar aku tersenyum melihat Dong Min dan Hwang In yang bercengkrama selayaknya teman lama. Salah satu tim photographer memanggilku, lalu menunjukkan kamera padaku, memintaku melihat hasil pemotretan hari ini. Aku mengangguk dan tersenyum puas dengan hasilnya. “Mohon perhatian semuanya.”, ucapku kemudian.

Aku: “Aku sudah melihat hasil dari pemotretan tadi, dan itu sangat memuaskan, aku menyukainya. Terimakasih untuk kerja keras kalian, dan terimakasih untuk kerja sama tim yang luar biasa diproject ini. Pemotretan selesai, selamat beristirahat kalian semua.” (Bertepuk tangan).

            Dong Min, Hwang In, Ling Ling, dan semua tim photographer ikut bertepuk tangan serta menjawabku dengan sorakan penuh semangat.

Aku: “Setelah berkemas, aku akan mengajak kalian ke restaurant tidak jauh dari sini. Karena sudah jam makan siang juga, jadi aku akan mentraktir kalian.” (Tersenyum).

Ling Ling: “Mama, kemana perginya Mawang?” (Menghampiriku kemudian berbisik).

Aku: “Mungkin dia berteleportasi dan pergi diam-diam, apakah ketiga pria yang dia awasi sudah meninggalkan tempat ini?” (Berbisik).

Ling Ling: “Sudah, aku tadi melihat ketiganya berjalan ke arah pintu keluar. Apa Mawang pergi mengikuti mereka?”

Aku: “Uhum, mungkin.” (Mengangguk).

Dong Min: “Apa yang kalian bicarakan sampai berbisik-bisik seperti itu?” (Tiba-tiba berdiri di dekatku).

Aku: “Rahasia perempuan, kamu tidak boleh tau.” (Sedikit terkejut, dan mencoba bersikap santai). “Kemana Hwang In?” (Lanjutku, saat menyadari Hwang In tidak bersama Dong Min).

Dong Min: “Dia bilang mau pergi ke toilet.”

Ling Ling: “Nona Byeol, Dong Min, aku tinggal kesana sebentar ya. Ada salah satu investor kita datang kesini, aku harus menemuinya.” (Ucap Ling Ling kembali bersikap formal karena ada banyak mata memperhatikan).

Aku & Dong Min: “Uhum.” (Mengangguk bersamaan).

Dong Min: “Byeol, aku perlu isi daya.” (Berbisik).

Aku: “Handphone kamu lowbat? Kalau begitu, ayo kembali ke mobil. Kita bisa charger disana.”

Dong Min: “Bukan itu maksudku, bukan handphoneku yang kehabisan daya, tapi aku.” (Tersenyum dan bersikap manja).

            Aku mengerutkan kening mencoba mencerna apa makna dari ucapan Dong Min. Bukannya menjelaskan saat melihatku kebingungan, Dong Min justru makin tersenyum lebar. Dia mulai menoleh ke kanan dan ke kiri mengamati suasana sekitar, tampak orang-orang sedang fokus dengan kesibukan masing-masing.

Dong Min: “Charger seperti ini yang aku inginkan.” (Menggenggam tanganku erat, setelah memastikan tidak ada orang yang memperhatikan kami).

Aku: “Dasar, suka cari kesempatan dalam kesempitan.” (Tertawa kecil).

Dong Min: “Menggenggam tanganmu seperti ini, membuat lelahku terobati.” (Memasukkan tangan kami yang saling menggenggam ke dalam saku blazer yang dia kenakan).

            ♫ Naege jom deo gakkai wayo, geudaereul deo neukkil su issge, gidarineun siganjocha uimiga dwaeyo, geudaega naege deureo on sunganbuteo~ ♫. Terdengar handphone Dong Min berdering, dia menggunakan lagu berjudul Lean On You by Jung Yup sebagai ringtone. Ternyata panggilan masuk dari nomor telephone rumah Namwon. Mrs. Bomi memberitahu Dong Min, kalau tidak lama lagi akan ada mobil bak terbuka datang untuk mengantar sayur serta bahan makanan lainnya ke rumah Namwon. Hari ini adalah schedule rutin restock bahan dapur, Mrs. Bomi cemas kalau pengantar bahan makanan mengetahui fakta rumah itu kosong.

Dong Min: “Sepertinya aku harus segera pulang ke Namwon, kita melupakan sesuatu, hari ini schedule rutin restock bahan dapur. Harus ada manusia yang menerima barang, sebagai formalitas.”

Aku: “Bodohnya, aku melupakan hal ini.” (Memukul kening sendiri). “Para arwah tidak akan bisa menanganinya. Kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang dengan berteleportasi.” (Lanjutku).

Dong Min: “Lalu bagaimana denganmu? Kamu ikut pulang, atau hanya mengantarku?”

Aku: “Aku tidak bisa pulang sekarang, karena sudah berjanji akan mentraktir mereka makan siang. Kamu tidak perlu cemaskan aku, aku bisa mengemudi sendiri.”

Dong Min: “Baiklah, dimana kita akan melakukan teleportasi? Disini terlalu ramai, tidak ada ruang tertutup atau tempat yang sepi untuk kamu melakukan sihir.”

Aku: “Kita lakukan teleportasi di dalam mobil saja, ayo kembali ke sana!”

            Dengan langkah sedikit terburu-buru, aku dan Dong Min berjalan beriringan menuju pintu keluar untuk pergi ke tempat dimana mobilku terparkir. Setelah memasuki mobil, aku segera membawa Dong Min berteleportasi pulang ke Namwon.

Mrs. Bomi: “Syukurlah kalian datang tepat waktu, mereka sudah menekan bel rumah ini berkali-kali.” (Ucapnya saat melihat aku dan Dong Min tiba-tiba muncul di ruang tengah).

Dong Min: “Apa? Pengantar bahan dapur sudah tiba?” (Ikut panik saat melihat Mrs. Bomi panik).

Aku: “Dong Min, tenanglah. Atur nafasmu, kepanikanmu akan membuat mereka heran, jadi bersikap biasa saja mmm.” (Menepuk bahu Dong Min).

            Dong Min mengusap tanganku yang ada di bahunya, dia mengangguk menurutiku. Menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan, dia melakukan itu berulang, sampai dia merasa benar-benar tenang.

Dong Min: “Hufttt… aku pergi ke depan dulu untuk membuka pintu. Nona Byeol, kamu juga harus segera kembali ke Seoul. Orang-orang disana pasti akan mencarimu, jika kamu menghilang terlalu lama.” (Ucapnya setelah merasa lebih tenang).

Aku: “Uhum, aku percayakan urusan rumah ini padamu, Dong Min. Kalau begitu, aku pamit.” (Jawabku, sambil berpamitan ke Dong Min dan Mrs. Bomi).

            Dong Min memintaku menjaga diri, kemudian berlalu untuk membuka pintu. Aku dan Mrs. Bomi saling tersenyum, dia membungkuk memberi salam, sebelum akhirnya aku kembali menghilang. Aku merasa sangat lega, setibanya di dalam mobilku lagi, setelah berhasil melakukan teleportasi.

‘♫ KakaoTalk ♫’, ada pesan masuk dari Ling Ling, dia memintaku untuk langsung saja pergi ke restaurant tempat kami semua merencanakan makan siang bersama.

Ling Ling: “Mama dimana? Apa ada sesuatu yang terjadi? Mama dan Dong Min menghilang secara tiba-tiba. Aku harap semua baik-baik saja, jika mama kembali, kita bertemu di restaurant, karena aku dan tim dalam perjalanan kesana.” (Typingnya dalam pesan itu).

            Aku membalas pesan Ling Ling hanya dengan mengirim stiker kakao friends yang menggambarkan memberi jawaban “Oke”. Ku hidupkan mesin mobil, dengan perlahan melajukan mobil keluar dari area parkir. Tidak jauh dari tempat mobilku terparkir semula, aku melihat Hwang In dengan tangan bergetar, mencoba membuka pintu mobilnya sendiri, wajahnya tampak pucat seperti seseorang yang ketakutan. Jadi aku memutuskan untuk membuka salah satu jendela mobilku dan menyapanya. Melihatku berada disana, reaksinya sedikit terkejut, bersamaan dengan hal itu, pada wajahnya tersirat ekspresi penuh syukur dengan keberadaanku. Tanpa berpikir panjang, dia menghampiriku. Hwang In bertanya, apakah dia boleh menumpang mobilku, tentu saja aku memperbolehkannya.

            Hwang In terus menunduk selama di perjalanan, tangannya erat mengepal, seperti sedang menggenggam sesuatu. Jelas terlihat, tubuhnya masih belum berhenti bergetar sedari tadi. Aku menepikan mobilku.

Aku: “Hwang In, kamu baik-baik saja?” (Mencoba meraih tangan Hwang In, saat mobil sudah berhenti di tepi jalan).

            Tangan Hwang In terasa begitu dingin, membuatku semakin cemas. Untungnya Hwang In perlahan mau menatapku, aku baru menyadari pipi kanan Hwang In sedikit memar, ada luka goresan benda tajam pada lehernya juga. Meski luka di lehernya tidak begitu serius, tapi darah segar mengalir disana. Spontan aku meraih wajahnya, mengusap pipinya yang memar, Hwang In sedikit meringis menahan sakit.

Aku: “Jangan diam saja, siapa yang melakukan ini? Apa yang terjadi sebenarnya?” (Semakin cemas karena Hwang In terus saja bungkam).

            Aku menggunakan sihirku untuk menyembuhkan semua lukanya, memar pada wajahnya perlahan memudar dan menghilang, begitu juga dengan luka lehernya. Sambil menyembuhkan luka Hwang In, aku juga membaca memorinya, menerawang kejadian apa yang terjadi sebelumnya, sehingga Hwang In mengalami shock berat seperti sekarang.

            Dari hasil penerawanganku, aku melihat ada seorang pria menggunakan jacket kulit warna hitam menghadang Hwang In saat dirinya hendak keluar dari toilet. Disana Hwang In tidak terlihat takut sama sekali, Hwang In terbilang cukup berani beradu mulut dengan pria itu. Mereka sempat berkelahi, Hwang In yang memiliki kemampuan bela diri taekwondo, bisa menangkis serangan pria itu dengan baik, Hwang In juga berhasil melakukan serangan balik.

Hanya saja, saat pria berjacket kulit hitam itu semakin marah, ada kabut hitam menyelimuti tubuhnya. Muncul selaput hitam pada mata, membuat matanya berubah menjadi hitam secara menyeluruh. Bermunculan urat yang tampak menonjol dan mulai memenuhi area wajah. Ada 2 gigi taring tumbuh, tidak hanya itu, kukunya menghitam dan memanjang. Pria itu berwujud moster menyeramkan, auranya begitu gelap, ada tattoo bulgae memakan matahari di bahu kanannya.

            Bulgae sendiri adalah anjing api legendaris dari mitologi Korea yang konon menghuni kerajaan kegelapan bernama ‘Gamangnara’. Bulgae melayani Raja kegelapan dari kerajaan tersebut, Raja kegelapan berupaya menguasai matahari dan bulan untuk membawa cahaya ke kerajaannya. Namun setiap kali bulgae mencoba mengambil benda-benda langit untuk tuannya, bulgae selalu gagal karena matahari membakar mulutnya dan bulan membekukan mulutnya, sehingga mustahil baginya untuk membawa matahari dan bulan kembali ke Gamangnara. Masyarakat Korea percaya saat bulgae malahap matahari atau bulan, saat itulah terjadi gerhana.

            Setelah membaca ingatan Hwang In, aku menduga, pria yang berkelahi dengan dirinya, memiliki hubungan dengan roh jahat. Tidak mungkin manusia biasa berubah wujud seperti itu, apalagi memiliki tattoo dengan simbol kegelapan. Tapi siapa pria tadi? Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, membuatku semakin ingin mencari tau.

Aku: “Hwang In, jangan takut. Aku sudah melihat semuanya, semua lukamu… aku tau, dia melukaimu tanpa menyentuhmu. Sayatan di lehermu, terkena kuku hitam panjangnya kan?” (Menggenggam tangan Hwang In, menepuk lembut punggung tangannya).

Hwang In: “Ka… kamu, melihat moster itu?”

Aku: “Uhum aku melihatnya, aku bisa membaca ingatan seseorang melalui kontak fisik. Aku juga sudah menyembuhkan lukamu.”

            Hwang In terdiam sejenak, sambil meraba pipinya, meraba lehernya, dia tidak merasakan sakit lagi. Dengan cepat, dia berkaca pada rear-vision mirror/spion dalam di mobilku.

Hwang In: “Terimakasih sudah menyembuhkan lukaku, kamu juga memberiku tumpangan, sekarang aku sedikit malu, karena kamu mengetahui sisi lemahku. Aku bukan takut, aku hanya terkejut.”

Aku: “Ya aku percaya, kamu cukup berani melawannya. Hal yang normal kamu bergetar karena terkejut melihat moster pertama kalinya.”

Hwang In: “Bukan kali pertama aku melihat moster seperti itu, ini kedua kalinya. Moster pertama yang aku lihat, lebih besar, lebih menyeramkan, dan membunuh banyak orang yang aku sayang. Orang-orang yang sudah aku anggap seperti keluarga, mati satu persatu di hadapanku.” (Dengan tatapan nanar).

Aku: “Hwang In…” (Merasakan amarah dan kesedihan Hwang In).

Hwang In: “Maafkan aku, apa aku membuatmu takut? Aku tidak marah padamu, aku hanya marah pada diriku di masa lalu. Aku yang tidak berdaya melindungi mereka, dan malah bersembunyi di belakang punggung mereka.” (Meneteskan air mata).

Aku: “Aku masih menggenggam erat tanganmu, tapi aku tidak bisa melihat apapun tentang masa lalu yang kamu ceritakan. Hanya saja, dadaku sakit mendengar kamu menyalahkan diri sendiri.” (Ikut meneteskan air mata).

Hwang In: “Masa lalu yang aku ceritakan terlalu lama berlalu, bahkan sangaaaaaaaattttt lama sekali, sampai tidak terdeteksi oleh kekuatan supranaturalmu. Atau kekuatanmu yang terlalu lemah?” (Menghapus air mataku, mencoba menggodaku untuk menghiburku).

Aku: “Kamu meremehkan aku?!” (Memanyunkan bibir dan menghapus air mata Hwang In).

Hwang In: “Aku bercanda, aku hanya menggodamu, supaya kamu tidak menangis lagi dan tertular oleh emosi yang aku rasakan. Nona Byeol, bolehkah aku menggenggam tanganmu seperti ini lebih lama lagi? Rasanya menenangkan.” (Tersenyum).

Aku: “Genggamlah! Selama mungkin… berapa lama pun yang kamu mau.” (Mempererat genggaman).

            Jika bayangan aneh yang sering muncul itu benar, Hwang In seorang Putra Mahkota, dan jika mimpiku juga benar, aku seorang Putri Mahkota. Artinya dia suamiku di kehidupan sebelumnya? Apakah di kehidupan sebelumnya, kami hidup dengan bahagia? Sosok suami seperti apa dia dulunya, apa dia mencintaiku, dan aku juga mencintainya?

Hwang In: “Nona Byeol, kenapa menatapku seperti itu? Seperti ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan.”

Aku: “Tidak apa-apa, hanya saja… saat melihatmu, kamu mirip sekali dengan seseorang yang aku kenal, duluuu.”

Hwang In: “Benarkah? Jangan-jangan kita memang pernah bertemu di kehidupan sebelumnya. Sehingga kamu berpikir kalau aku begitu familiar, padahal belum lama saling mengenal dan bertemu.” (Tersenyum).

Aku: “Omong kosong macam apa itu? Orang sepertimu, percaya hal semacam itu?”

Hwang In: “Orang sepertiku? Memangnya bagaimana aku dimatamu?” (Menatapku dengan lekat).

Aku: “Maksudku, orang yang berpikiran modern. Memangnya apa lagi? Kepercayaan seperti itu, terkait mitos atau semacamnya, biasanya dipercaya oleh orang-orang kuno saja.” (Tiba-tiba merasa gugup, saat ditatap oleh Hwang In).

Hwang In: “Aaa, mungkin karena orang tuaku. Lebih tepatnya keluarga mamaku, mereka masih sangat kental dengan kepercayaan seperti itu. Kamu tau? Bahkan mamaku selalu membelikanku jimat keberuntungan, setiap kali aku akan mengikuti casting.” (Tertawa).

Aku: “Jimat itu cukup ampuh kalau begitu, kamu sering lolos penyeleksian saat mengikuti casting kan?”

Hwang In: “Aku hanya menerima dan menyimpannya, kemudian menunggu waktu yang tepat untuk membuangnya. Jimat itu seharusnya aku bawa ke tempat casting, tapi aku tidak pernah membawanya.”

Aku: “Kamu bilang, kamu mempercayai hal semacam itu. Tapi kamu mengabaikan jimat pemberian mama mu?”

Hwang In: “Tentunya, aku tidak mempercayai semuanya begitu saja. Aku hanya percaya beberapa diantaranya. Seperti adanya kehidupan sebelumnya, kemudian adanya reinkarnasi, dan takdir bertemu lagi dengan orang-orang yang sama dari kehidupan yang lama, setelah bereinkarnasi. Kamu percaya kalau ada orang yang mungkin mengingat kenangan dari kehidupan lama mereka?” 

Aku: “Aku memang bukan manusia, tapi aku pernah jadi manusia. Manusia mana yang ingin mengingat kenangan kelam dari kehidupan sebelumnya? Meskipun banyak kenangan indah, mereka tetap diharuskan meminum tea penghapus ingatan di akhirat. Jadi menurutku, apa yang kamu katakan, sangatlah tidak mungkin terjadi.”

Hwang In: “Kamu benar… hanya manusia gila yang menolak meminum tea penghapus ingatan. Karena rasanya begitu menyakitkan, merindukan seseorang yang bahkan tidak ingat siapa kita.” (Muram sambil menghela nafas panjang).

Aku: “Hwang In, mendengar ucapanmu tadi. Apakah kamu orangnya?” (Menatap lekat wajah Hwang In).

Hwang In: “Apa maksud dari pertanyaanmu?”

Aku: “Uhum, kamu menceritakan dirimu sendiri. Kamulah manusia gila itu? Manusia keras kepala yang menolak meminum tea penghapus ingatan? Jika benar, sebanyak apa yang kamu ingat? Siapa dirimu sebenarnya? Siapa yang begitu ingin kamu kenang, sampai melakukan hal bodoh seperti itu.” (Memandang bola matanya, aku merasa sedikit sesak).

Hwang In: “Byeol…” (Semakin menggenggam erat tanganku).

            Tanpa kami berdua sadari, ada kunang-kunang dalam mobilku, yang entah masuk dari mana. Kunang-kunang terbang mengitari kami, kemudian hinggap pada tangan kami yang masih saling menggenggam. “Mago…”, ucap kami bersamaan secara spontan, saat melihat keberadaan kunang-kunang itu. Aku menatap heran ke arah Hwang In, darimana dia tau soal Mago? Kami saling menatap tanpa kata terucap.

            Tidak lama kemudian, Hwang In dan aku tersadar adanya keanehan lain. Saat kami melihat keluar kaca mobil, orang-orang berhenti bergerak, semua mematung, begitu juga dengan kendaraan yang berlalu lalang sebelumnya. “Apa yang terjadi sebenarnya? Aku sama sekali tidak menggunakan sihirku.”, gumamku.

Hwang In: “Kamu familiar dengan situasi ini?”

Aku: “Ini sihir menghentikan waktu, aku bisa melakukannya. Tapi ini bukan sihirku, aku tidak melakukan sihir apapun.”

Hwang In: “Pasti Mago yang melakukannya.”

            Aku dan Hwang In kembali menatap kunang-kunang yang hinggap di tangan kami, cahaya yang dikeluarkan awalnya redup, semakin lama, semakin bersinar dengan terangnya. Membuat aku dan Hwang In memejamkan mata, dan menghalau sinarnya dengan telapak tangan karena silaunya.



            Saat sinar yang menyilaukan perlahan menghilang, aku membuka mata. Aku tidak menemukan Hwang In di sampingku. Aku mulai mengedarkan pandanganku ke setiap sudut ruangan yang terasa asing bagiku.

            Duduk di sebuah kasur lantai dengan meja kecil di depanku. Ada hanji, dan kuas serta tinta di atas meja. Hanji atau disebut juga goryeo-ji adalah kertas yang digunakan untuk menulis pada masa Goryeo. “Apa ini? Sebuah puisi?”, memperhatikan kertas yang ada di hadapanku. Ada bait puisi indah tertulis disana.

            Saat aku mencoba membaca puisi itu, ada suara langkah kaki mendekat, aku segera bangkit dari duduk, bersiaga menyerang siapapun yang datang. Rasa waspada yang besar menjadi tidak terkendalikan. Pintu ruangan itu terbuka perlahan, seorang gadis masuk membawa nampan dan ada semangkuk rebusan obat, aroma herbalnya sedikit menyengat. “Siapa kamu?!”, ucapku dengan tegas sambil mencekik lehernya.

            “Tuan Putri, ini aku Hye Soo. Kenapa Putri mencekik leherku?”, jawab gadis itu dengan sedikit terbatuk. Aku segera melepas cengkraman ku dari lehernya, mataku terbelalak karena wajah yang ku kenal ada disana. “Ling Ling.”, gumamku penuh rasa tidak percaya.

Aku: “Tempat apa ini?” (Menatap gadis yang berpakaian seperti seorang dayang).

Hye Soo: “Putri membuatku takut sekarang, apa efek terjatuh dari kuda kemarin, membuat Putri hilang ingatan?” (Merapikan mejaku).

            Gadis bernama Hye Soo kemudian meletakkan nampan di atas meja, dia juga meraih tanganku, memintaku untuk duduk, dengan telatennya dia menyuapiku obat herbal yang disiapkan olehnya.

Hye Soo: “Apakah kita perlu memanggil tabib? Kita sekarang sedang berada di Songdo, beberapa minggu lalu keluarga Putri memutuskan pindah kesini, karena Putri akan dijodohkan, Putri lupa?”

Aku: “Kamu bisa menjelaskannya lebih detail?” (Pintaku).

            Songdo adalah ibu kota Goryeo, kota inilah yang menjadi pusat pemerintahan dan juga pusat perdagangan pada masa itu. Hye Soo mulai menceritakan tentang keluargaku, aku seorang putri bangsawan tersohor dari bangsa Mongol pada dinasti Yuan. Putri Noguk, begitulah mereka memanggilku. Untuk keperluan politik, ayahku menjodohkan aku dengan putra mahkota dari Goryeo, Putra Mahkota Gongmin. “Jadi, aku kembali ke masa lalu? Ini kehidupanku sebelum reinkarnasi? Dan Ling Ling adalah reinkarnasi dari Hye Soo?”, bertanya dalam hati.

Hye Soo: “Kenapa melamun seperti itu, Putri kembali menyesali tentang menerima perjodohan dengan Putra Mahkota Gongmin?” (Muram karena mencemaskanku).

Aku: “Untuk apa menyesalinya? Lagi pula ini demi politik, bukankah sebagai seorang Putri, memang sudah seharusnya aku berperan untuk kebaikan negaraku? Aku juga harus menjaga nama baik ayahku.”

Hye Soo: “Sejujurnya setelah pingsan seharian karena terjatuh dari kuda, Putri tampak berbeda. Lebih bijaksana dan dewasa.” (Tersenyum).

Aku: “Memang bagaimana aku sebelumnya?”

Hye Soo: “Kalau aku mengatakan yang sebenarnya, jangan marah dan jangan hukum aku.”

Aku: “Baiklah aku berjanji padamu.” (Tertawa kecil).

Hye Soo: “Banyak dayang di rumah ini tidak kuat dengan perilaku Putri. Sikap manja Putri, temperamen Putri juga membuat para dayang kualahan. Dan kejadian berkuda kemarin, sebenarnya Putri berniat kabur karena terpaksa menerima perjodohan. Padahal putri tidak bisa naik kuda. Jangankan berkuda, Putri bahkan tidak bisa memasak, tidak bisa merajut, Putri tidak bisa melakukan apapun. Hanya satu hal yang putri suka dan ahli dalam hal ini.”

Aku: “Aku sepayah itu?! Apa satu hal yang kamu bilang, aku ahli dan aku suka?”

Hye Soo: “Menulis puisi, Putri memiliki nama pena dan memiliki buku kumpulan puisi ciptaan Putri sendiri di pasaran. Hanya aku dan putri yang tau, putri memintaku merahasiakan dari semua orang.”

Aku: “Benarkah? Kalau begitu, maukah kamu ikut aku pergi ke pasar besok? Antar aku ke toko buku dimana ada buku-buku ku terjual.”

Hye Soo: “Baik Tuan Putri, aku siap mengantar. Jadi… Putri benar-benar mengalami hilang ingatan? Aku akan membantu Putri mengingat semua, sebelum hari pernikahan tiba.” (Bertekad penuh semangat).

Betapa polosnya Hye Soo menceritakan banyak hal padaku, tanpa menyadari kalau aku bukanlah Putri Noguk yang dia kenal.

Bersambung…

Komentar

  1. Lg kerja jaga toko, dan ada notif up. Mumpung toko masih sepi langsung cus baca hehe. Serius merinding waktu play musiknya di part byeol kembali ke masa lalu, berasa bgt. Goodluck thor, sekeren ni alurnya

    BalasHapus
  2. pembaca baru hadir, langsung maraton 10 bab. tersesat kesini gegara nemu ig authornya, keren abis!

    BalasHapus
  3. yang gw tunggu2 akhirnya, lega akhirnya tau kelanjutannya. tapi lega ini hanya sementara, karena rasa penasaran yang kemarin berganti sama rasa penasaran baru wkwkw. waiting for chapter 11

    BalasHapus
  4. Kak milee yang nulis, tapi aku yang berasa keren sebagai pembaca. Waktu musiknya main di bagian itu, berkelas banget alurnya 🥰

    BalasHapus
  5. Suka banget baca sambil dengerin musik ❤️

    BalasHapus
  6. ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer