Langsung ke konten utama

Unggulan

KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (25 - CHAPTER TERAKHIR)

Dua Masa Satu Pilihan   Suara burung menyelinap lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Cuitannya berkicau riang di kejauhan, seperti bisikan lembut dari dunia yang lama ku tinggalkan, memanggilku kembali dengan hangat. Aku membuka mata perlahan. Bukan halaman istana yang sunyi penuh reruntuhan dan sisa pertempuran, bukan langit kelabu Goryeo yang muram. Yang ku lihat pertama kali adalah langit-langit kamarku, terbuat dari panel kayu berwarna cokelat madu dengan ukiran tipis yang rapi, dipadu dengan cahaya lembut dari lampu tersembunyi. Pancaran cahayanya membalut ruangan dalam keheningan yang menenangkan.  Jantungku masih berdegup kencang, keringat dingin membasahi pelipis. Aku mengenakan piyama tidurku, kain lembut yang begitu asing jika dibandingkan dengan hanbok yang biasa ku pakai selama di masa lalu. Seketika aku terduduk di atas ranjang, nafasku terengah. Aku bisa merasakan luka, perih, air mata, dan kehangatan terakhir dari Xiao Yuer di pangkuanku. Tanganku gem...

KENANGAN RASI BINTANG BIDUK



Namwon, 22 Maret 2024

Cuaca hari ini tampak cerah, aku berjalan seorang diri menyusuri pavilion favoritku di kota ini, angin musim semi berhembus lembut seakan membelai wajahku, terasa sejuk. Aku menghentikan langkahku, menengadahkan kepalaku, sinar matahari terasa hangat menyentuh kulitku, perlahan aku memejamkan mata. Suara gemerisik pepohonan, suara kicauan burung, dan aroma bunga bermekaran di setiap sudut pavilion Gwanghallu, aku bisa menciumnya. “Hari ini aku bertambah tua”, gumamku dengan senyuman tipis di bibir.

            “Kamu masih tetap cantik, nona Byeol. Kamu mencemaskan kecantikanmu akan memudar sebab pertambahan usia?”, terdengar suara seseorang menyahut. Suara itu tidak asing untukku, aku mengerutkan kening, dan perlahan membuka mata. Saat aku menoleh ke arah suara itu berasal, itu memang dia, seseorang yang sudah aku kenal sangat lama. Dia seorang pria tampan dengan rambut panjang setengah terikat, warna rambutnya cyan blue, dia menggunakan style durumagi, baji, beoseon, dan kkotsin. Dia terlihat seperti pria yang memiliki kemampuan lintas waktu, atau terlihat seperti karakter pemuda dari dinasti goryeo yang keluar dari komik, Ha Baek itulah namanya. “Lama tidak bertemu denganmu, nona Byeol. Bagaimana kabarmu?”, dia kembali menyapaku saat berdiri tepat di sampingku.

            Byeol, begitulah semua orang memanggilku. Sebenarnya namaku Kim Min Ji, tapi sejak hari itu, hari dimana aku dan orang tuaku mengalami kecelakaan di malam hujan lebat, kejadian mistis menghampiriku. Dulu aku manusia biasa, aku anak tunggal dari seorang pengusaha ternama di Seoul. Aku dan keluargaku hidup mewah, meski terlahir dari keluarga yang berada, orang tuaku selalu mengajarkanku tentang rendah hati, mereka juga mengajariku berbagi. Setiap bulan sekali, orang tuaku mengadakan kegiatan bakti social rutin untuk orang-orang yang membutuhkan. Kecelakaan malam itu hampir saja merenggut nyawa kedua orang tuaku, kecelakaan tunggal yang membuat mobil kami sampai terbalik, itu semua karena ayahku terlalu lelah melakukan perjalanan panjang, ayah mengantuk dan mulai hilang kendali saat menyetir.

            Aku dengan jelas melihat ayah dan ibuku berlumuran darah, mereka sudah tidak sadarkan diri, sedangkan aku menangis kesakitan, penuh ketakutan. Aku yang masih berusia 12 tahun, bingung harus melakukan apa, aku berharap ada seseorang yang melintasi jalan itu dan menolong kami, tapi jalan terlalu sepi, aku semakin diselimuti keputusasaan. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, berdoa disela isak tangisku. Tiba-tiba aku melihat cahaya dari kejauhan, cahaya itu tampak samar dan redup, cahaya itu seperti terbang mendekat ke arahku, ternyata cahaya itu berasal dari kunang-kunang. Tidak lama kemudian, kunang-kunang itu berubah menjadi sosok pria paruh baya dengan pakaian serba putih, tubuhnya masih bersinar, aku sempat berpikir apakah dia dewa? “Kakek… tolong kami kek, jika aku besar nanti, aku akan selalu ingat kebaikanmu, dan membayar semuanya. Tolong selamatkan orang tuaku, aku sangat menyayangi mereka.”, aku mengatakan itu padanya, sebelum akhirnya aku pingsan.

            Saat aku terbangun dari pingsan, ternyata aku sudah berada di rumah sakit, ada dokter dan suster disampingku, memeriksa keadaanku. Dokter tersenyum saat melihat aku tersadar, dokter menanyakan tentang apa yang aku rasakan? Dokter bilang, tulang tengkorak kepalaku sedikit retak akibat dari benturan cukup keras. Aku menjawab, aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing, ingatanku kembali pada kecelakaan itu, aku mencemaskan keadaan orang tuaku. Dokter menenangkanku, dokter bilang orang tuaku masih di ruang ICU tapi kondisi mereka mulai stabil, mereka sudah melewati masa koma, aku bernafas lega mendengarnya.

            2 minggu kemudian, setelah keadaanku dan orang tuaku membaik, dokter mengizinkan kami pulang. Ayah sempat menanyakan siapa yang membawa kami ke rumah sakit, suster menjawab seorang kakek. Tapi saat ayah menanyakan bagaimana ciri-ciri kakek itu, kami ingin mencarinya, kami ingin mengucapkan terimakasih, hanya saja suster terdiam seperti mengingat-ingat sesuatu. Suster bilang, entah kenapa dia tidak bisa mengingat wajah kakek itu sekarang, ingatannya samar-samar. Mendengar ucapan suster, aku menyadari kalau aku mengalami hal yang sama, aku sempat melihat dengan jelas wajah kakek kunang-kunang, hari itu aku bahkan tidak bisa mengingatnya lagi.

            Setelah pulang ke rumah, kehidupan lamaku kembali, semua terasa kembali normal, kecelakaan malam itu seperti mimpi burukku yang cepat berlalu. Waktu benar-benar berjalan begitu cepatnya. Hari, bulan, tahun berganti, saat usiaku 25 tahun, aku mengalami mimpi yang berulang, ingatan lama yang berusaha aku kubur dalam-dalam, kembali menghantui. Setiap malam aku tidak bisa tidur dengan tenang, karena memimpikan moment kecelakaan di masa lalu. Wajah kakek kunang-kunang yang dulu sempat aku lupakan, kini aku kembali mengingatnya. Dalam mimpiku, aku melihat kakek kunang-kunang itu memberiku pil kehidupan abadi, pil dengan ukuran sebesar kelereng disuapkannya dalam mulutku, rasanya dingin seperti memakan pecahan ice cube. “Saat kamu dewasa nanti, pil itu akan bereaksi dalam tubuhmu. Sesekali dia akan mengeluarkan cahaya yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa, tapi kamu bisa melihatnya. Cahayanya berwarna keemasan, kalau pil itu sudah bercahaya artinya sudah mulai menyatu dengan tubuhmu, di masa itulah kamu akan mengalami berhentinya penuaan dan hidup abadi.”, kalimat kakek kunang-kunang yang dikatakan padaku, aku perlahan mengingat semuanya.

Ha Baek: “Byeol… byeeeoooolll.” (Memanggilku berulang, berusaha menyadarkan aku dari lamunan).

Aku: “Maaf aku mengabaikanmu, Ha Baek. Aku terlalu asik dengan isi kepalaku.”

Ha Baek: “Apa yang sedang kamu pikirkan?”

Aku: “Entahlah, aku mulai bosan dengan kehidupan ini. Kamu tau? Aku bahkan sudah tidak bisa merasakan emosi apapun. Aku lupa bagaimana rasanya sedih, senang, marah, kecewa, dan perasaan manusia lainnya. Dalam hidupku rasanya hanya ada kehampaan, apa ini karena aku menghabiskan emosiku di masa lalu? Benar… aku hidup terlalu lama.” (Menghela nafas panjang).

            Mendengar keluhanku, Ha Baek hanya memandangku sambil tersenyum. Ha Baek menggenggam tanganku, dan mengajakku beranjak dari tempat kami berdiri, dia membawaku duduk di pavilion.

Ha Baek: “Duduklah, mau minum makgeolli? Aku sudah menyiapkan arak terbaik untuk nona Byeol, aku membuatnya benar-benar khusus untuk merayakan hari ulang tahunmu.” (Ucapnya sambil tersenyum).

Ha Baek mulai menunjukkan sihirnya, kedua tangannya yang semula kosong tidak membawa apapun, hanya dengan hitungan detik sambil menjentikkan jari, sebotol makgeolli berada di genggamannya. Bukan hanya sebotol makgeolli, Ha Baek juga menyiapkan sepiring hwajeon, dan sepiring yukjeon, untuk dinikmati bersama arak. Tidak berhenti disana, Ha Baek kembali menjentikkan jarinya, sebuah gayageum muncul di pangkuannya.

            Makgeolli adalah arak beras tradisional Korea, rasanya seperti susu, manis, dan sedikit bersoda. Sedangkan hwajeon adalah kue beras tradisional Korea, yang dihiasi kelopak bunga yang bisa dimakan, kue ini terbuat dari tepung beras ketan, serta madu. Dan yukjeon adalah hidangan tradisional Korea berupa daging sapi goreng tepung, atau lebih familiar disebut penekuk daging. Gayageum sendiri adalah kecapi Korea, yang memiliki 12 senar.

Aku: “Ha Baek, ini diluar dugaanku. Kamu benar-benar menjamuku di hari ulang tahunku.” (Tersenyum takjub).

Ha Baek: “Kita sudah bersahabat lama, berkat hadirnya dirimu di kota ini, aku tidak kesepian. Hanya kamu teman yang aku miliki.” (Jawabnya sambil tersenyum).

Aku: “Kamu benar, sejak 400 tahun yang lalu, saat aku memutuskan pindah ke Namwon. Aku juga sedikit kesepian, setelah secara tidak sengaja mengunjungi pavilion Gwanghallu, aku mengenalmu. Ada seorang dewa air setampan kamu di kota kecil ini.” (Mengangguk-angguk dan mulai bernostalgia).

Ha Baek: “Nona Byeol sangat pandai menyenangkan hati. Saat pertama kali bertemu denganmu, kamu ingat? Kita beradu mata, aku pikir kamu manusia biasa, aku sedikit terkejut ada manusia bisa melihatku. Ternyata ada pil kehidupan abadi di perutmu, aku melihatnya bersinar. Setelah menghampirimu lebih dekat dan memperhatikan bola matamu, ada rasi bintang biduk disana. Aku pun menyadari, kalau kamu manusia pilihan, yang dipilih langsung oleh dewa untuk melakukan misi kebajikan tentunya.” (Ikut bernostalgia).

Aku: “Misi apa yang sebenarnya disiapkan untukku? Aku sendiri belum memahaminya dengan pasti. Selama ini, aku hanya melakukan apapun yang bisa aku lakukan. Kehidupan panjangku mungkin hukumanku? Aku pernah berpikir seperti itu. Byeol di kehidupan sebelumnya, mungkin seorang pendosa.”

Ha Baek: “Kesempatan bertaubat dan penebusan dosa bagi para pendosa, adalah anugerah. Meski semua masih menyimpan misteri, cukup lakukan yang terbaik untuk kehidupanmu kali ini, nona Byeol. Silahkan mencicipi arak dan hidangan yang sudah aku siapkan. Di hari bahagiamu jangan larut dengan renungan kesedihanmu.” (Tersenyum). 

            Aku menuang makgeolli di gelas kecil milik Ha Baek, dan aku menuang juga di gelas kecil milikku. Kami mengangkat gelas masing-masing, kami berdua bersulang. Aku dan Ha Baek menikmati hidangan di depan kami, sambil mengobrol santai. Setelah makan, Ha Baek memainkan sebuah musik menggunakan gayageum miliknya. Saat Ha Baek memainkannya, alam seolah ikut menari mengiringi setiap petikan gayageum, langit yang semula cerah perlahan menjadi gelap berawan, butiran-butiran air mulai berjatuhan membasahi bumi. Alunan melodi yang indah namun sendu, mengalun lembut ditengah rintikan hujan. 

Bersambung...

Komentar

  1. Pertama kali baca dan langsung suka, penasaran sama kelanjutan ceritanya. Semangat writernim :D

    BalasHapus
  2. Kerennn, semangat writernim😍

    BalasHapus
  3. I fall in love with this story. Your genre also my favorite genre -`♡´-

    BalasHapus
  4. Five stars for this story, makes me curious about the continuation ⭐⭐⭐⭐⭐

    BalasHapus
  5. akhirnya terbit juga cerita yang dinanti wkwkw

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer