Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
KENANGAN RASI BINTANG BIDUK
Namwon,
22 Maret 2024
Cuaca
hari ini tampak cerah, aku berjalan seorang diri menyusuri pavilion favoritku
di kota ini, angin musim semi berhembus lembut seakan membelai wajahku, terasa
sejuk. Aku menghentikan langkahku, menengadahkan kepalaku, sinar matahari
terasa hangat menyentuh kulitku, perlahan aku memejamkan mata. Suara gemerisik
pepohonan, suara kicauan burung, dan aroma bunga bermekaran di setiap sudut
pavilion Gwanghallu, aku bisa menciumnya. “Hari ini aku bertambah tua”, gumamku
dengan senyuman tipis di bibir.
“Kamu masih tetap cantik, nona
Byeol. Kamu mencemaskan kecantikanmu akan memudar sebab pertambahan usia?”,
terdengar suara seseorang menyahut. Suara itu tidak asing untukku, aku
mengerutkan kening, dan perlahan membuka mata. Saat aku menoleh ke arah suara
itu berasal, itu memang dia, seseorang yang sudah aku kenal sangat lama. Dia
seorang pria tampan dengan rambut panjang setengah terikat, warna rambutnya
cyan blue, dia menggunakan style durumagi, baji, beoseon, dan kkotsin. Dia
terlihat seperti pria yang memiliki kemampuan lintas waktu, atau terlihat
seperti karakter pemuda dari dinasti goryeo yang keluar dari komik, Ha Baek
itulah namanya. “Lama tidak bertemu denganmu, nona Byeol. Bagaimana kabarmu?”,
dia kembali menyapaku saat berdiri tepat di sampingku.
Byeol, begitulah semua orang
memanggilku. Sebenarnya namaku Kim Min Ji, tapi sejak hari itu, hari dimana aku
dan orang tuaku mengalami kecelakaan di malam hujan lebat, kejadian mistis
menghampiriku. Dulu aku manusia biasa, aku anak tunggal dari seorang pengusaha
ternama di Seoul. Aku dan keluargaku hidup mewah, meski terlahir dari keluarga
yang berada, orang tuaku selalu mengajarkanku tentang rendah hati, mereka juga
mengajariku berbagi. Setiap bulan sekali, orang tuaku mengadakan kegiatan bakti
social rutin untuk orang-orang yang membutuhkan. Kecelakaan malam itu hampir
saja merenggut nyawa kedua orang tuaku, kecelakaan tunggal yang membuat mobil
kami sampai terbalik, itu semua karena ayahku terlalu lelah melakukan
perjalanan panjang, ayah mengantuk dan mulai hilang kendali saat menyetir.
Aku dengan jelas melihat ayah dan
ibuku berlumuran darah, mereka sudah tidak sadarkan diri, sedangkan aku
menangis kesakitan, penuh ketakutan. Aku yang masih berusia 12 tahun, bingung
harus melakukan apa, aku berharap ada seseorang yang melintasi jalan itu dan
menolong kami, tapi jalan terlalu sepi, aku semakin diselimuti keputusasaan.
Aku hanya bisa berdoa dalam hati, berdoa disela isak tangisku. Tiba-tiba aku
melihat cahaya dari kejauhan, cahaya itu tampak samar dan redup, cahaya itu
seperti terbang mendekat ke arahku, ternyata cahaya itu berasal dari
kunang-kunang. Tidak lama kemudian, kunang-kunang itu berubah menjadi sosok
pria paruh baya dengan pakaian serba putih, tubuhnya masih bersinar, aku sempat
berpikir apakah dia dewa? “Kakek… tolong kami kek, jika aku besar nanti, aku
akan selalu ingat kebaikanmu, dan membayar semuanya. Tolong selamatkan orang
tuaku, aku sangat menyayangi mereka.”, aku mengatakan itu padanya, sebelum
akhirnya aku pingsan.
Saat aku terbangun dari pingsan,
ternyata aku sudah berada di rumah sakit, ada dokter dan suster disampingku,
memeriksa keadaanku. Dokter tersenyum saat melihat aku tersadar, dokter
menanyakan tentang apa yang aku rasakan? Dokter bilang, tulang tengkorak
kepalaku sedikit retak akibat dari benturan cukup keras. Aku menjawab, aku
baik-baik saja, hanya sedikit pusing, ingatanku kembali pada kecelakaan itu,
aku mencemaskan keadaan orang tuaku. Dokter menenangkanku, dokter bilang orang
tuaku masih di ruang ICU tapi kondisi mereka mulai stabil, mereka sudah
melewati masa koma, aku bernafas lega mendengarnya.
2 minggu kemudian, setelah keadaanku
dan orang tuaku membaik, dokter mengizinkan kami pulang. Ayah sempat menanyakan
siapa yang membawa kami ke rumah sakit, suster menjawab seorang kakek. Tapi
saat ayah menanyakan bagaimana ciri-ciri kakek itu, kami ingin mencarinya, kami
ingin mengucapkan terimakasih, hanya saja suster terdiam seperti
mengingat-ingat sesuatu. Suster bilang, entah kenapa dia tidak bisa mengingat
wajah kakek itu sekarang, ingatannya samar-samar. Mendengar ucapan suster, aku
menyadari kalau aku mengalami hal yang sama, aku sempat melihat dengan jelas
wajah kakek kunang-kunang, hari itu aku bahkan tidak bisa mengingatnya lagi.
Setelah pulang ke rumah, kehidupan
lamaku kembali, semua terasa kembali normal, kecelakaan malam itu seperti mimpi
burukku yang cepat berlalu. Waktu benar-benar berjalan begitu cepatnya. Hari,
bulan, tahun berganti, saat usiaku 25 tahun, aku mengalami mimpi yang berulang,
ingatan lama yang berusaha aku kubur dalam-dalam, kembali menghantui. Setiap
malam aku tidak bisa tidur dengan tenang, karena memimpikan moment kecelakaan
di masa lalu. Wajah kakek kunang-kunang yang dulu sempat aku lupakan, kini aku
kembali mengingatnya. Dalam mimpiku, aku melihat kakek kunang-kunang itu
memberiku pil kehidupan abadi, pil dengan ukuran sebesar kelereng disuapkannya
dalam mulutku, rasanya dingin seperti memakan pecahan ice cube. “Saat kamu
dewasa nanti, pil itu akan bereaksi dalam tubuhmu. Sesekali dia akan
mengeluarkan cahaya yang tidak bisa dilihat oleh manusia biasa, tapi kamu bisa
melihatnya. Cahayanya berwarna keemasan, kalau pil itu sudah bercahaya artinya
sudah mulai menyatu dengan tubuhmu, di masa itulah kamu akan mengalami
berhentinya penuaan dan hidup abadi.”, kalimat kakek kunang-kunang yang
dikatakan padaku, aku perlahan mengingat semuanya.
Ha Baek: “Byeol…
byeeeoooolll.” (Memanggilku berulang, berusaha menyadarkan aku dari lamunan).
Aku: “Maaf aku
mengabaikanmu, Ha Baek. Aku terlalu asik dengan isi kepalaku.”
Ha Baek: “Apa yang
sedang kamu pikirkan?”
Aku: “Entahlah,
aku mulai bosan dengan kehidupan ini. Kamu tau? Aku bahkan sudah tidak bisa
merasakan emosi apapun. Aku lupa bagaimana rasanya sedih, senang, marah,
kecewa, dan perasaan manusia lainnya. Dalam hidupku rasanya hanya ada
kehampaan, apa ini karena aku menghabiskan emosiku di masa lalu? Benar… aku
hidup terlalu lama.” (Menghela nafas panjang).
Mendengar keluhanku, Ha Baek hanya
memandangku sambil tersenyum. Ha Baek menggenggam tanganku, dan mengajakku
beranjak dari tempat kami berdiri, dia membawaku duduk di pavilion.
Ha Baek:
“Duduklah, mau minum makgeolli? Aku sudah menyiapkan arak terbaik untuk nona
Byeol, aku membuatnya benar-benar khusus untuk merayakan hari ulang tahunmu.”
(Ucapnya sambil tersenyum).
Ha Baek mulai
menunjukkan sihirnya, kedua tangannya yang semula kosong tidak membawa apapun,
hanya dengan hitungan detik sambil menjentikkan jari, sebotol makgeolli berada
di genggamannya. Bukan hanya sebotol makgeolli, Ha Baek juga menyiapkan
sepiring hwajeon, dan sepiring yukjeon, untuk dinikmati bersama arak. Tidak
berhenti disana, Ha Baek kembali menjentikkan jarinya, sebuah gayageum muncul
di pangkuannya.
Makgeolli adalah arak beras
tradisional Korea, rasanya seperti susu, manis, dan sedikit bersoda. Sedangkan
hwajeon adalah kue beras tradisional Korea, yang dihiasi kelopak bunga yang
bisa dimakan, kue ini terbuat dari tepung beras ketan, serta madu. Dan yukjeon
adalah hidangan tradisional Korea berupa daging sapi goreng tepung, atau lebih
familiar disebut penekuk daging. Gayageum sendiri adalah kecapi Korea, yang
memiliki 12 senar.
Aku: “Ha Baek, ini
diluar dugaanku. Kamu benar-benar menjamuku di hari ulang tahunku.” (Tersenyum
takjub).
Ha Baek: “Kita
sudah bersahabat lama, berkat hadirnya dirimu di kota ini, aku tidak kesepian.
Hanya kamu teman yang aku miliki.” (Jawabnya sambil tersenyum).
Aku: “Kamu benar,
sejak 400 tahun yang lalu, saat aku memutuskan pindah ke Namwon. Aku juga
sedikit kesepian, setelah secara tidak sengaja mengunjungi pavilion Gwanghallu,
aku mengenalmu. Ada seorang dewa air setampan kamu di kota kecil ini.”
(Mengangguk-angguk dan mulai bernostalgia).
Ha Baek: “Nona
Byeol sangat pandai menyenangkan hati. Saat pertama kali bertemu denganmu, kamu
ingat? Kita beradu mata, aku pikir kamu manusia biasa, aku sedikit terkejut ada
manusia bisa melihatku. Ternyata ada pil kehidupan abadi di perutmu, aku melihatnya
bersinar. Setelah menghampirimu lebih dekat dan memperhatikan bola matamu, ada
rasi bintang biduk disana. Aku pun menyadari, kalau kamu manusia pilihan, yang
dipilih langsung oleh dewa untuk melakukan misi kebajikan tentunya.” (Ikut
bernostalgia).
Aku: “Misi apa
yang sebenarnya disiapkan untukku? Aku sendiri belum memahaminya dengan pasti.
Selama ini, aku hanya melakukan apapun yang bisa aku lakukan. Kehidupan
panjangku mungkin hukumanku? Aku pernah berpikir seperti itu. Byeol di
kehidupan sebelumnya, mungkin seorang pendosa.”
Ha Baek:
“Kesempatan bertaubat dan penebusan dosa bagi para pendosa, adalah anugerah.
Meski semua masih menyimpan misteri, cukup lakukan yang terbaik untuk
kehidupanmu kali ini, nona Byeol. Silahkan mencicipi arak dan hidangan yang
sudah aku siapkan. Di hari bahagiamu jangan larut dengan renungan kesedihanmu.”
(Tersenyum).
Aku menuang makgeolli di gelas kecil
milik Ha Baek, dan aku menuang juga di gelas kecil milikku. Kami mengangkat
gelas masing-masing, kami berdua bersulang. Aku dan Ha Baek menikmati hidangan
di depan kami, sambil mengobrol santai. Setelah makan, Ha Baek memainkan sebuah
musik menggunakan gayageum miliknya. Saat Ha Baek memainkannya, alam seolah
ikut menari mengiringi setiap petikan gayageum, langit yang semula cerah
perlahan menjadi gelap berawan, butiran-butiran air mulai berjatuhan membasahi
bumi. Alunan melodi yang indah namun sendu, mengalun lembut ditengah rintikan
hujan.
Bersambung...
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Postingan Populer
KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (2)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Pertama kali baca dan langsung suka, penasaran sama kelanjutan ceritanya. Semangat writernim :D
BalasHapusKerennn, semangat writernim😍
BalasHapusI fall in love with this story. Your genre also my favorite genre -`♡´-
BalasHapusFive stars for this story, makes me curious about the continuation ⭐⭐⭐⭐⭐
BalasHapusakhirnya terbit juga cerita yang dinanti wkwkw
BalasHapus