Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (5)
Dua Sisi
Terdengar suara telephone rumahku
berbunyi dengan nyaringnya, salah satu pelayan arwah berusaha mengangkatnya
tapi beberapa kali gagal karena tembus dari genggamannya.
Aku: “Kamu arwah
baru itu? Kekuatanmu terlalu lemah, coba lebih fokus lagi, kumpulkan lebih
besar tekad dan keinginanmu untuk menyentuh benda di depanmu!” (Ucapku tanpa
menoleh).
Dong Min: “Kenapa
dia terlihat paling lemah dari pelayan hantu lainnya?” (Memperhatikan pelayan
arwah yang mencoba mengangkat telephone).
Aku: “Dia hanya
belum terbiasa dengan kematiannya. Dia baru saja meninggal 1 bulan yang lalu,
karena sebuah kecelakaan lalu lintas.”
Dong Min: “Oh
begitu, dengan kata lain dia penghuni baru disini. Mmm dia harus banyak belajar
dari para senior hantu di rumah ini.” (Mengangguk-angguk mendengar jawabanku).
Aku: “Lama
kematian pelayan arwah disini tidaklah sama, ada yang sudah meninggal puluhan
tahun, ada yang baru meninggal belum lama ini, arwah paling senior disini
adalah Mr. In Pyo dan Mrs. Bomi. Lama kematian mereka 80 tahun lalu, mereka
memiliki sisa waktu 20 tahun lagi untuk naik ke akhirat.”
Dong Min: “Apa
yang membuat mereka tidak segera naik ke akhirat? Mereka berdua terlihat tenang
tanpa kegelisahan ataupun dendam, urusan dunia apa yang menahan mereka tetap
disini?”
Aku: “Akulah
alasan mereka tetap tinggal disini, urusan dunia mereka sudah lama
terselesaikan, tapi tetap saja mereka terus menunda berangkat ke akhirat,
mereka ingin tetap melayaniku dan menemaniku, sampai batas waktu mereka
benar-benar habis. Mereka selalu mengatakan padaku, kalau aku seperti putri
kecil bagi mereka.” (Membersihkan mulut dengan tisu setelah menghabiskan
sarapanku).
Dong Min: “Kamu
memang semanis itu, lihat saja Mr. In Pyo dan Mrs. Bomi pun berat berpisah
denganmu.” (Menatapku sambil tersenyum).
Aku: “Kamu sedang
merayuku dengan kalimat manismu?” (Menyeringai).
Dong Min: “Kenapa?
Apa kalimatku membuatmu berdebar?” (Menggodaku). “Nona Byeol, lihat itu!
Pelayan hantu yang baru, akhirnya bisa mengangkat telephonenya!” (Lanjutnya,
ketika kembali menoleh mengamati pelayan arwah).
Spontan aku menoleh, ikut mengamati
pelayan arwah, saat melihat Dong Min berseru. Aku menanyakan kepada pelayan
arwah, siapa yang menelpon? Pelayan arwah menyebutkan bahwa yang menelpon
adalah Ling Ling. Mendengar nama itu, aku segera meninggalkan meja makan,
menghampiri pelayan arwah untuk meminta telephonenya, serta meminta pelayan
arwah kembali bekerja.
Aku: “Halo, Ling
Ling” (Sapaku kepada seseorang diseberang telephone).
Ling Ling: “Mama,
kenapa lama sekali mengangkat telephone dariku?!” (Mengomel).
Aku: “Sekali lagi
kamu panggil aku mama, akan aku matikan telephonenya!” (Tidak kalah mengomel).
Ling Ling:
“Baiklah, temperamenmu sungguh tidak ada perubahan dalam 5 tahun ini. Masih
saja menakutkan, apakah kamu sama sekali tidak merindukan aku? Aku sudah di
Korea sekarang, aku pulang… bisakah kamu menyuruh seseorang menjemputku di
bandara?”
Aku: “Tunggu saja
dalam 5-10 menit, aku akan mengirim supir kantor untuk menjemputmu. Pulang lah
ke rumah kita yang ada di Seoul, kabari aku jika kamu sudah sampai rumah. Nanti
aku akan berteleportasi kesana.”
Ling Ling: “Tapi
aku ingin pulang ke Namwon.” (Sedikit merengek).
Aku: “Kita bisa
berteleportasi bersama untuk kembali ke Namwon, berhentilah bersikap seperti
anak kecil, kamu sudah 31 tahun sekarang!” (Mendecak).
Ling Ling: “Jadi
mama akan menjemputku? I’m so happy, love you mama.” (Ucapnya dengan nada
manja, dan dengan cepat dia mengakhiri telephone).
Aku: “Ling Ling!!!
Heiiii Ling… aaarrggghh anak ini.” (Kesal setelah tau telephone sudah
terputus).
Dong Min yang sedari tadi
memperhatikan ku, berusaha menahan tawanya, aku semakin kesal dibuatnya saat
melihat ekspresi Dong Min seperti itu. Aku menatap tajam ke arah Dong Min
sembari meletakkan kembali gagang telephone. Dong Min menyadari kalau aku semakin
kesal, dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, kemudian berpura-pura
melihat ke arah lain. Tidak mau bertambah kesal, aku berlalu meninggalkan ruang
makan menuju ruang tengah. Aku membanting tubuhku ke sofa, melihat ada remote
tv disampingku, aku mengambilnya dan mulai menekan tombolnya untuk menyalakan
tv.
Tidak lama, Dong Min menghampiriku
untuk membujukku agar tidak kesal lagi, dia berusaha menghiburku. Dia duduk
disampingku, mengatakan hal-hal manis padaku, atau sesekali dia mengatakan
lelucon yang membuatku hampir tertawa, tapi tentu saja aku menahannya, aku
ingin tunjukkan kalau tidaklah mudah membujukku. Sampai pada saat dia mencubit
kedua pipiku, dan memberiku kecupan di pipi, membuatku harus mengaku kalah. Aku
tidak bisa menahan senyumku, aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi tersipuku.
Dong Min:
“Akhirnya… nona Byeol yang manis kembali tersenyum.” (Masih memegang pipiku
dengan kedua tangannya).
Aku: “Bukankah itu
curang? Siapa yang mengizinkan kamu mengecup pipiku?” (Menggenggam tangan Dong
Min).
Dong Min: “Aku
tidak memiliki pilihan lain, aku tidak suka kamu membisu karena kesal padaku.
Saat marah atau kesal padaku, lebih baik kamu mengomeliku, kamu membentakku,
jangan diamkan aku.” (Memeluk pinggangku, membawaku untuk bersandar padanya).
Sejak hadirnya Dong Min di sisiku,
aku menyadari ada yang berubah pada diriku sendiri, aku tidak pernah merasa
senyaman ini dengan manusia manapun. Tapi Dong Min berbeda, bersamanya aku
merasakan kenyamanan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, bersamanya aku
merasakan hangatnya kasih sayang yang sudah lama tidak pernah aku dapatkan.
Berada dalam pelukannya, rasanya seperti tidak pernah ingin ku melepaskannya.
Dong Min: “Nona
Byeol, apakah kamu tertidur?” (Mengusap kepalaku).
Aku: “Mmm tidak,
aku sedang fokus menikmati acara tvnya.” (Membalas pelukannya, masih nyaman
bersandar pada dada Dong Min).
Dong Min: “Kamu
terdiam begitu lama, aku pikir kamu tertidur karena terlalu nyaman dalam
pelukanku.” (Mencoba menggodaku).
Aku: “Memang
nyaman dalam pelukanmu, jadi jangan berani coba-coba beranjak dari tempat
dudukmu atau meninggalkan aku! Meski tanganmu atau tubuhmu kram, tetaplah pada
posisimu, ini perintah.” (Mendongakkan kepala, menatap Dong Min).
Dong Min:
“Perintahmu diterima, dan akan aku laksanakan. Lagipula posisi ini juga sangat
nyaman untukku, aku suka dipeluk olehmu seperti sekarang, jadi berapa lama pun
yang nona Byeol inginkan, aku tidak keberatan.” (Menunduk membalas menatapku).
Bola mata indah Dong Min selalu
memancarkan ketulusan, memberiku keteduhan, saling beradu mata seperti ini
dengannya membuatku teringat moment tadi, saat kami berdua berciuman mesra
terbawa suasana.
Dong Min: “Nona
Byeol, kamu merasa tidak enak badan lagi? Wajahmu memerah, apa kamu demam lagi
seperti semalam?” (Memeriksa suhu di keningku).
Aku: “Aku… aku
baik-baik saja.” (Sedikit gelagapan saat Dong Min menyadari wajahku tersipu
karena membayangkan moment kami berciuman).
Dong Min:
“Syukurlah kalau begitu. Aaa nona Byeol, sebenarnya siapa wanita yang
menelponmu tadi? Aku mendengar kamu memanggil dia Ling Ling, dan kenapa dia
memanggilmu mama?”
Aku: “Dia adalah
manusia yang aku besarkan, aku menemukan dia saat masih bayi, karena itu dia
memanggilku mama. Tapi aku sungguh tidak menyukai panggilan itu, aku masih
tampak muda untuk jadi mama kan?” (Bertanya dengan nada manja).
Dong Min: “Uhum
kamu lebih cocok dipanggil dedek.” (Tertawa sambil mencubit pipiku lagi).
“Dimana kamu menemukan dia? Dimana orang tuanya? Kenapa kamu yang
membesarkannya?” (Kembali bertanya penuh rasa penasaran).
Aku terdiam sejenak, mencoba
mengingat-ingat kejadiaan malam itu. Aku mulai menjawab pertanyaan Dong Min
satu persatu dan menceritakan semua hal tentang Ling Ling padanya. Beberapa
puluh tahun yang lalu, di malam bulan purnama, aku berjalan seorang diri mencari
udara segar sambil membawa buku untuk ku baca. Ladang bunga soba adalah tempat
favoritku menikmati kesendirian, ditengah keasikanku membaca, angin seolah
memberi tau ku, ada kejadian apa di kejauhan sana. Terdengar jelas suara bayi
menangis di telingaku, aku memiliki kemampuan mendengar dan melihat sesuatu
meski jaraknya berpuluh-puluh mil dari tempatku berada.
Ku pejamkan mataku, ku mencoba
menerawang darimana suara itu berasal, aku melihat seorang wanita berjalan
tergopoh-gopoh memasuki hutan, tanpa menggunakan alas kaki. Ada darah segar
mengalir di kakinya, ada bayi perempuan di gendongannya, rambut wanita itu
tergerai sedikit berantakan, dia semakin jauh memasuki hutan. Disisi lain aku
juga melihat 2 pria menggunakan setelan jas lengkap layaknya seorang bodyguard.
“Hei wanita jalang mau lari kemana kamu?!”, ucap salah satu dari 2 pria itu.
Mereka berdua sedang mengejar wanita lemah yang aku lihat sebelumnya.
“Dewaaa, ku mohon selamatkan
putriku. Tolong selamatkan bayiku.”, wanita itu berdoa disela tangisnya, dia
berusaha berlari menghindari 2 pria yang mengejarnya. Awalnya aku tidak terlalu
peduli, aku memutuskan untuk tidak ikut campur ke dalam urusan mereka. Ku
menghela nafas, perlahan membuka mataku, ku kembali fokus membaca buku di
hadapanku. Meski aku sudah mencoba untuk fokus tetap saja suara bayi itu cukup
mengganggu. “Kenapa harus aku? Apakah hanya aku dewa di dekat sini? Pasti akan
ada dewa lain yang menolong mereka kan? Byeol tenang lah, kamu tidak perlu
kesana berurusan dengan manusia-manusia itu.”, aku bergumam berdebat dengan
diri sendiri.
Sampai akhirnya terdengar suara
tembakan, membuatku tidak tahan lagi, aku berteleportasi ke tempat dimana
wanita itu bersama dengan bayinya berada. Sesampainya disana aku melihat wanita
itu terjatuh dan memiliki luka tembak di perutnya, dengan perut yang terluka,
dia tetap berusaha menopang badannya, posisinya terduduk lemah, merintih
kesakitan tapi masih menenangkan bayinya yang menangis dipelukannya. Seperti
tidak puas setelah menembak satu kali, 2 pria itu berniat menembaknya untuk
kedua kalinya, dengan gerakan cepat aku berdiri menghadang, melindungi wanita
itu.
Bodyguard A:
“Siapa kamu?! Kamu cari mati dengan berdiri disana? Cepat minggir atau aku akan
menembakmu juga!!!” (Mengancamku).
Aku: “Siapa aku?
Apakah itu penting? Jika kalian berdua mau menembak wanita ini, tembak dulu
aku! Pistol mainan seperti itu, tidak akan bisa melukai ku.” (Menyeringai).
Bodyguard A: “Kamu
tidak kalah jalangnya dengan wanita yang kamu lindungi, jadi rasakan ini!”
(Menarik pelatuk pistol miliknya).
Aku tertawa terbahak melihat
ekspresi kedua bodyguard itu kebingungan, aku mengubah pistol di tangannya
menjadi pistol air mainan.
Bodyguard B:
“Siapa kamu sebenarnya?!” (Mulai ketakutan).
Bodyguard A: “Kami
hanya menjalankan perintah boss kami, kenapa kamu mengganggu kami menjalankan
misi? Kami tidak pernah memiliki urusan denganmu.”
Aku: “Aku juga
tidak tau kenapa aku ingin sekali terlibat dalam permasalahan ini, sepertinya
karena aku bosan, jadi ingin bermain-main dengan kalian.” (Tersenyum).
“Nona Byeol, apa yang kamu lakukan
disini?”, terdengar suara memanggilku. Saat aku menoleh ke kanan, dimana suara
itu berasal, ternyata ada Jeoseung Saja duduk bersantai sambil memainkan pena
di tangannya.
Aku: “Sudah berapa
lama kamu disana?” (Mengerutkan kening).
Jeoseung Saja:
“Daritadi aku disini, kamu tidak melihatku karena terlalu asik bermain dengan 2
brengsek ini.” (Menunjuk ke arah 2 bodyguard di depanku).
Aku: “Apa yang
kamu lakukan disana? Kamu diam saja tidak melakukan apapun, saat melihat wanita
ini ditindas oleh mereka?!”
Jeoseung Saja:
“Astagaaa… siapa yang sedang bicara sekarang? Sejak kapan kamu memiliki hati
nurani terhadap manusia? Lagipula aku bukan malaikat pelindung. Nona Byeol, aku
malaikat maut, kamu sudah tau dengan jelas apa tugasku kan? Aku hanya bertugas
membimbing arwah ke akhirat, bukan menyelamatkan manusia.” (Mendecak dan
tersenyum masam).
Aku: “Tunggu dulu!
Maksudmu, kamu disini untuk bertugas? Apakah arwah yang tercatat dalam buku
kematianmu adalah wanita ini dan bayinya?”
Jeoseung Saja hanya mengangguk
sambil tersenyum, dia menunjukkan nama yang tertulis pada buku catatan kematian
miliknya.
Aku: “Aaarrggghh,
ini artinya aku sia-sia berada disini?! Seharusnya aku tidak terpancing dan
menikmati me time dengan novel kesayanganku.” (Kesal).
Bodyguard A: “Hei
wanita jalang dan aneh, apa kamu mulai gila? Kamu bicara dengan siapa?!”
(Kebingungan).
Tentu saja mereka bingung, karena
hanya aku yang bisa melihat keberadaan Jeoseung Saja disana.
Jeoseung Saja:
“Lihatlah calon korbanmu memanggilmu jalang, dia sungguh cari mati bukan?!”
(Tertawa).
Aku: “Kamu
menertawakanku? Mari kita bernegosiasi, aku tidak suka waktuku terbuang
sia-sia, jadi akan aku buat kedatanganku, membuahkan hasil. Aku ingin
menukarkan jiwa, bawalah 2 manusia brengsek ini ke neraka, beraninya memanggil
seorang dewa dengan sebutan jalang!” (Menatap tajam ke arah 2 bodyguard).
Jeoseung Saja:
“Bertemu denganmu saat bertugas seperti sebuah kesialan abadi, aku harus
begadang membuat laporan tentang perubahan catatan kematian. Tapi aku mulai
menyukai ini, selalu ada pertunjukan menarik untuk ku lihat, jadi ini sepadan.
Kamu akan membunuh 2 brengsek itu? Untuk menyelamatkan ibu dan anak?”
“Bawa lah aku juga pergi ke akhirat,
tuan Jeoseung Saja. Tapi selamatkan bayiku, nona muda bisakah aku menitipkan
anakku padamu? Aku takut anakku malu saat besar nanti, memiliki ibu seorang
wanita simpanan sepertiku. Ketakutanku tidak diterima putriku sendiri, rasanya
lebih baik aku mati, mereka berdua yang mengejarku dan ingin membunuhku adalah
bodyguard dari ayah anakku. Laki-laki yang aku cintai menginginkan aku dan anak
kami dilenyapkan, lalu apa artinya aku terus hidup? Aku sudah tidak tahan lagi
dengan kehidupan yang kejam ini. Dia lebih memilih uang dan kekuasaan, karena
jika dia memilihku, dia akan kehilangan semua, karena itu dia memilih untuk
melenyapkan aku.”, ucap wanita itu sambil merintih kesakitan.
Aku terdiam mendengarkan kisah
wanita yang ingin ku selamatkan, ternyata dia justru ingin meninggalkan dunia
ini. Manusia sungguh sulit ditebak apa maunya.
Jeoseung Saja:
“Kamu dengar itu nona Byeol? Dia tidak bisa melihatku, tapi minta dibawa
olehku. Aku penasaran bagaimana keputusanmu?” (Tertawa).
Aku: “Ini lebih
merepotkan dari dugaanku, dia memintaku merawat anaknya? Manusia cenderung
besar kepala dan tamak saat diberi kesempatan, dia pikir dia siapa?! Tapi aku
lebih kesal dengan 2 brengsek di depanku, mereka menyebutku jalang, anggap saja
aku berbaik hati malam ini. Aku akan tetap membunuh keduanya, satu jiwa aku
tukar dengan jiwa bayi itu, dan satu jiwa lainnya untuk membayar hutangku. Aku
berhutang satu jiwa seorang pemuda kan? Actor yang aku selamatkan karena hampir
terbunuh oleh sasaengnya. Dia koma hampir 4 bulan, setelah ku bayar hutangku,
jangan tahan jiwanya lagi, kembalikan pada raganya! Mengerti?!”
Jeoseung Saja:
“Tenang saja, jiwa pemuda itu ada di tempat yang indah. Dia hanya akan merasa
bermimpi panjang setelah terbangun dari komanya. Oke deal, jiwa dua brengsek
itu ditukar dengan jiwa bayi ini dan actor yang kamu selamatkan, sedangkan aku
akan tetap membawa jiwa wanita ini bersamaku.” (Mengangguk setuju).
Aku hanya ikut mengangguk, memberi
tanda aku pun setuju dengan negosiasi kami malam ini. Aku meminta bayi
perempuan yang semula ada dalam pelukan ibunya, aku mulai menggendongnya. Tidak
lama setelah bayi perempuan itu berpindah ke pelukan ku, Jeoseung Saja
memanggil nama wanita itu 3 kali, membuat jiwanya keluar dari raganya.
Sedangkan aku mengeluarkan sihirku, untuk membunuh kedua bodyguard dengan cara
mencekik leher tanpa menyentuh, tubuh keduanya terbang ke udara, bahkan tulang
leher mereka patah, dan mereka merasakan sakit luar biasa.
Aku: “Ini rasa
sakit yang dirasakan oleh korban-korban kalian sebelumnya, yang kalian bunuh
dan renggut paksa nyawanya. Bagaimana rasanya seorang pembunuh berdarah dingin,
mati mengenaskan karena dibunuh?! (Berteriak membentak).
Aku hempaskan raga mereka berdua ke
tanah. Jeoseung Saja memperhatikan buku catatan kematian miliknya, nama dalam
buku itu berubah dengan sendirinya, bahkan jiwa yang harus dibawa olehnya
bertambah satu. Nama kedua bodyguard itu ada di sana, bersama dengan nama
wanita yang ingin ku selamatkan sebelumnya, sedangkan jiwa bayi terhapus dari
catatan buku kematian.
Dong Min yang mendengarkan kisahku
menunjukkan ekspresi yang sulit diartikan, tapi dia mendengarkan dengan seksama
dari awal sampai aku selesai bercerita.
Aku: “Kenapa
ekspresimu seperti itu?” (Mencubit perut Dong Min).
Dong Min: “Kamu
membuatku merinding, aku bisa membayangkan betapa menyeramkannya kamu saat
itu.”
Aku: “Menyeramkan?
Kamu takut padaku sekarang?”
Dong Min: “Tidak,
aku tidak takut padamu. Justru aku lebih ingin melindungimu, kamu sering
menantang bahaya seperti itu selama ini? Bagaimana kalau jumlah mereka lebih
banyak? Membawa pasukan puluhan orang? Bagaimana kalau mereka melukaimu? Itu
yang ada dalam kepalaku, jadi aku akan lebih menjagamu dan selalu ada
disisimu.” (Mengecup keningku).
Aku: “Benarkah?
Baiklah aku akan mengingat janjimu dan menagihnya saat kamu mulai ingkar.”
(Kembali memeluk Dong Min erat).
Dong Min: “Ini
yang hatiku inginkan, aku sudah mengetahui dua sisi dalam dirimu, Byeol yang
manis dan Byeol yang mungkin sedikit menakutkan bagi orang lain, tapi tidak
untukku, aku tetap ingin disamping kamu, bagaimanapun kamu. Mmm… dan soal bayi
itu, jadi bayi perempuan yang kamu selamatkan malam itu adalah Ling Ling?”
Aku: “Uhum bayi
itu Ling Ling, aku membesarkannya dan sekarang dia tumbuh menjadi wanita cantik
yang bisa aku andalkan. Aku menjadikan dia manager di perusahaanku.” (Penuh
rasa bangga).
Dong Min: “Kamu
menunjukkan sisi keibuanmu sekarang, kamu seperti membanggakan anakmu sendiri.”
(Tertawa kecil). “Tapi sejak kapan kamu memiliki perusahaan? Perusahaan apa,
kenapa baru memberi tauku?” (Lanjutnya).
Aku: “Aku memiliki
perusahaan cukup bergengsi di Seoul, jika waktunya sudah tepat, aku akan
membawa kamu melihatnya. Kita akan pergi ke Seoul Bersama.” (Tersenyum).
Terdengar suara telephone rumah
kembali berdering, Ling Ling kembali menelpon mengabarkan dia sudah sampai di
rumah Seoul. Tidak lama setelah panggilan telephone berakhir, aku berpamitan
pada Dong Min untuk pergi sebentar ke Seoul dan akan segera pulang nanti. Untuk
kali pertama Dong Min melihatku berteleportasi, aku menghilang dari
pandangannya begitu saja.
Bersambung…
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Postingan Populer
KENANGAN RASI BINTANG BIDUK (2)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Tau novel ini dari temen, dan waktu temen kirim link blogger kak milee, ku langsung otw. Baca marathon bab 1-5 seru bangettt, ngga berasa aja tau2 habis, ditunggu bab 6 nya, serius ini bikin penasaran parah (●'◡'●)ノ♥
BalasHapusawal ketemu akun ka milee di ig, berakhir dengan candu novel ini. semangat ka, terus berkarya, i love it(^∀^)
BalasHapushelp merinding gila di part byeol nolong si bayik, badas woaaahhhhh ❤️🔥
BalasHapusmakin makiiiiinn jadi aja ini kelanjutannya, gue like alurnya thor
BalasHapusJust wanna say, gokil ini novel seru. Love you author, lanjutkan karya lo
BalasHapusWaaa kerenn kk milee😍
BalasHapusDi chapter ini, ada rasa salting, ada rasa seruu jugaa. Pokoknya kerennn. Semangat kk❤️
damage byeol no kaleng2, badaaasssss 🔥🔥🔥
BalasHapusManisnya byeol hanya untuk dong min, karena dong min pawangnya acie cieee
BalasHapus